Menuju konten utama

Komnas HAM Desak PP Pengupahan Dicabut

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan karena merugikan para buruh.

Komnas HAM Desak PP Pengupahan Dicabut
(Ilustrasi) Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai (tengah) bersama Staf Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Agus Suntoro (kiri) dan Andre Wahyudi (kanan) memberi keterangan pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta (24/2/2017). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean.

tirto.id - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan.

Menurut Pigai, akibat PP tersebut, selama ini buruh dan serikat pekerja tidak pernah benar-benar dilibatkan secara partisipatif dalam perumusan ketentuan terkait upah. Selain itu, menurut dia, PP 78 membuat penentuan upah minimum hanya berbasis pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi sehingga kerap tidak sesuai realitas.

“Dengan PP 78 tersebut, (penentuan upah minimum) hanya berbasis pada skala inflasi dan pertumbuhan ekonomi, ini mereduksi dan menafikan perhitungan konkret kondisi real di masyarakat,” kata dia dalam diskusi “Hari Buruh Jangan Dijadikan Komoditi Politik” yang digelar DPP SBS 1992 di Gedung Joeang, Menteng Jakarta Pusat, Minggu (30/4/2017).

Pigai mengeluhkan upah pekerja di Indonesia kini merupakan salah satu yang termurah di Asia, yakni dengan rata-rata upah nasional Rp2 juta perbulan. Sementara upah rata-rata nasional di Cina sudah Rp3,9 juta perbulan, Thailand Rp3,5 juta perbulan, dan Filipina Rp4,2 juta perbulan.

“Perhitungan upah hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi itu sangat berbahaya karena tidak berdasarkan real kondisi hidup di lapangan,” kata Pigai.

Sementara itu, Humas DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 1992 Baiq Ani mengkritik pemanfaatan isu buruh untuk komoditas politik. Sementara pemenuhan hak-hak buruh terus terabaikan.

Baiq mengeluhkan maraknya kampanye isu buruh yang sekedar demi untuk mendulang suara di saat pemilihan tanpa realisasi pemenuhan hak-hak kaum pekerja. Padahal, di tengah upah murah, biaya hidup buruh terus meningkat dan ancaman pemutusan hubungan kerja juga tinggi.

“Hingga saat ini masih banyak persoalan buruh yang belum terselesaikan baik di dalam negeri maupun di luar negeri (TKI) yang belum terakomodir dengan baik oleh pemerintah. Tapi, suara buruh terus menjadi rebutan partai politik,” kata dia.

Baca juga artikel terkait HARI BURUH atau tulisan lainnya dari Chusnul Chotimah

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Chusnul Chotimah
Penulis: Chusnul Chotimah
Editor: Addi M Idhom