Menuju konten utama

Pengaturan Kratom & Ganja Medis jadi Pekerjaan Rumah Kepala BNN

Pemerintah perlu meninjau ulang tanaman yang dikategorikan narkotika demi kepentingan publik, salah satunya ganja untuk medis.

Pengaturan Kratom & Ganja Medis jadi Pekerjaan Rumah Kepala BNN
Calon Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen Pol Marthinus Hukom melambaikan tangan sebelum dilantik sebagai Kepala BNN di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/12/2023). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/Spt.

tirto.id - Permasalahan penggunaan ganja sebagai obat dan manfaat ekonomi kratom kembali menjadi perbincangan. Hal ini tidak lepas dari pergantian pucuk pimpinan Badan Narkotika Nasional (BNN). Presiden Joko Widodo resmi melantik Irjen Pol Martinus Hukom sebagai Kepala BNN di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (8/12/2023).

Usai pelantikan, Hukom belum mau berkomentar soal perkara speksifik seperti keberadaan tanaman kratom maupun masalah penggunaan ganja untuk kepentingan pengobatan. Dua perkara ini sempat ramai selama beberapa tahun terakhir. Apalagi Petrus Reinhard Golose, kepala BNN sebelum Hukom sempat menegaskan tidak akan pernah setuju soal ganja medis.

“Ya saya lihat kepada undang-undang saja. Kalau undang-undang melarang, ya kita larang,” kata Hukom usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (8/12/2023).

Hukom menuturkan, dirinya tidak berani berkomentar lebih jauh soal kratom karena belum memahami substansi dan manfaat kesehatan tanaman tersebut. Ia mengaku perlu koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan pejabat terkait.

Di sisi lain, mantan Kadensus 88 ini juga perlu melihat dari sisi keselamatan dan kemanfaatan.

“Kalau memang lebih banyak manfaatnya, itu pertimbangan hukumnya apa, pertimbangan etisnya apa, tapi kalau lebih banyak mudaratnya atau daya rusaknya, untuk apa kita lakukan?” kata Hukom balik mempertanyakan.

Permasalahan kratom dan ganja memang sudah lama menjadi pro kontra di Indonesia. Misalnya, ganja untuk kepentingan medis. Salah satu momen penting adalah penolakan pemerintah menerima rekomendasi WHO tentang penggunaan ganja demi kepentingan kesehatan.

Kala itu, Polri, BNN dan Kemenkes tetap menolak dengan sejumlah alasan. Salah satu alasan mereka adalah perbedaan kandungan ganja yang beredar di Indonesia berbeda dengan di luar negeri. Hal itu lantas memicu kritik dari koalisi masyarakat sipil yang terdiri atas LBH Masyarakat, ICJR, Rumah Cemara, LGN, IJRS, EJA, dan Yakeba.

Pro kontra penggunaan ganja sebagai pengobatan kembali menguat dalam kasus gagal ginjal pada anak atau cerebral palsy. Sejumlah warga mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam rangka penggunaan ganja demi kepentingan pengobatan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 106/PUU-XVIII/2020.

Salah seorang pemohon, Santi Warastuti sempat melakukan aksi damai dan berharap Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan penggunaan ganja demi kepentingan medis tersebut.

Pada perkara yang diputus pada 30 Juni 2022, MK menolak pengujian para pemohon. Mahkamah dalam putusannya masih khawatir dengan manfaat ganja untuk kepentingan medis.

Akan tetapi, MK berharap hasil penelitian bisa digunakan untuk pertimbangan pembuat undang-undang dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan tentang pemanfaatan narkotika golongan I, salah satunya adalah ganja. Mahkamah juga berharap agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan tentang penggunaan narkotika golongan I tersebut (hlm 178).

Di sisi lain, keberadaan tanaman kratom juga menjadi perdebatan sejak lama. Mengutip artikel BNN pada 2020, tanaman yang beredar di Kalimantan Barat ini dikenal dengan nama purik. Tanaman ini tumbuh di dalam hutan, terutama jalur Sungai Kapuas. Umumnya, tanaman ini digunakan untuk mengatasi kelelahan dan meredakan rasa sakit.

Tanaman ini pun dijual dengan harga Rp50 ribu pada 2020. Kala itu, sudah ada 18.120 petani kratom dengan luas 11.225 hektar yang hidup dari kratom. Beberapa petani juga bergeser dari tanaman tertentu, seperti karet ke budidaya kratom. Namun, pemerintah berupaya mengatur kembali kratom dan memasukkan kratom dalam narkotika golongan I. Pemerintah pun memasang target tenggat waktu pengaturan pada 2024.

Terkini, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, berupaya mengatur keberadaan tanaman kratom. Ia menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2023). Ia juga mendorong agar kratom bisa ditata.

“Itu kan menguntungkan petani di Kalimantan Barat, jadi untuk ditata perdagangannya,” kata Zulhas saat ditemui di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (27/11/2023).

TANAMAN KRATOM UNGGULAN KAPUAS HULU

Seorang petani memetik kratom atau daun purik di kebunnya di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Minggu (13/9/2020). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/aww.

Perlu Pendekatan Berbeda

Direktur LBH Masyarakat, Muhammad Afif, berharap agar Kepala BNN baru, Martinus Hukom, mau menggunakan pendekatan berbeda dalam penanganan narkotika, terutama mulai melihat penggunaan tanaman seperti Ganja maupun kratom untuk kepentingan kesehatan. Ia berharap, Hukom menggunakan pendekatan punitif dalam penggunaan narkotika meski sama-sama berlatar belakang kepolisian.

“Kalau tidak mengubah cara pendekatannya, ya sama saja, sementara kalau misalnya dari pernyataan kepala BNN baru bahwa BNN lebih berbahaya daripada teroris, justru pakai pendekatan penegakan hukum, ya tidak akan menyelesaikan masalah,” kata Afif.

Afif menambahkan, “Berarti dalam konteks teroris perlu ada perubahan pendekatan dong. Begitu juga narkotika. Perlu ada mengubah pendekatan dalam konteks saat ini kebijakan narkotika punitif. Kalau mau ubah, ubah pendekatannya,” tegas Afif.

Hukom memang sempat melihat kesamaan dalam penanganan terorisme dengan penanganan narkoba. Hukom yang malang-melintang dalam penanganan terorisme dan pernah menjabat Kepala Densus 88 antiteror, mengatakan bahwa ada 3 kesamaan pendekatan, yakni penegakan hukum, pencegahan, dan rehabilitasi. Ia menilai rehabilitasi hampir sama dengan upaya deradikalisasi dalam kasus terorisme.

Namun, Hukom mengatakan perbedaan antara terorisme dengan narkotika adalah bentuk serangan. Terorisme menyerang pikiran, sementara narkotika adalah kehendak. Akan tetapi, ia menilai narkotika lebih sulit dan berbahaya karena memiliki dampak ke tubuh manusia.

“Kita tahu sendiri narkotik adalah menyerang manusia, bahkan kalau saya bilang membunuh manusia lebih dahsyat dari teroris. Teroris berapa orang mungkin, tapi narkotik siapa pun juga, sama dengan teroris, tapi narkotik dia menyerang sampai ke saraf-saraf, merusak manusia dan ini berbahaya dan bisa terancam generasi muda, bahkan mengancam keberlanjutan negara,” kata Hukom usai pelantikan.

Afif berharap, Hukom mau mengubah pendekatan dalam penanganan narkotika, apalagi ada masalah dan dampak dari pendekatan penanganan narkotika secara represif. Ia mencontohkan bagaimana aparat tidak menggunakan asesmen secara tepat dan lebih menggunakan infrastruktur untuk penindakan.

Sementara itu, kata Afif, posisi BNN tidak memiliki infrastruktur semasif dan sekuat Polri dalam penindakan. Di sisi lain, KUHP baru tetap akan menjerat pelaku pengguna narkotika dengan kriteria saat ini meski UU Narkotika direvisi.

Di sisi lain, penindakan aparat berdampak pada overcrowding pada rutan dan lapas. Mengacu data warga binaan yang dikeluarkan Ditjen Pemasyarakatan, mayoritas napi maupun tahanan adalah pengguna dan pengedar narkotika. Ia berharap, Hukom mau mengatur lebih jauh tentang pengaturan narkotika demi kepentingan publik.

“Jadi kalau kasus penggunaan narkotikanya bisa diselesaikan, minimal sepertiga urusan hukum, urusan pidana di Indonesia bisa diselesaikan melalui tangan Kepala BNN,” kata Afif.

Afif berharap, Hukom sebagai Kepala BNN bisa menjadi leading sector dalam pengaturan tata kelola penggunaan narkotika. Ia mengatakan, pemerintah perlu merevisi UU Narkotika karena sudah 13 tahun lebih berlaku.

Menurut dia, pemerintah perlu meninjau kembali penggunaan tanaman yang berkaitan narkotika demi kepentingan publik, salah satunya penggunaan ganja untuk kepentingan medis. Hal serupa juga penting untuk tanaman kratom yang notabene memiliki manfaat objektif bagi publik.

“Jadi manfaat medis harus diakui, persoalan mengenai bagaimana nanti peredarannya dan sebagainya, itu harus diatur. Jangan sampai karena kita enggak mampu mengaturnya, tidak mau mengakui manfaat medisnya. Itu yang paling berbahaya dalam masalah pokok narkotika,” kata Afif.

Ganja Medis

Pemohon uji materi UU Narkotika, Santi Warastuti melakukan aksi berjalan kaki dari bundaran HI ke depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Minggu (26/6/2022). tirto/Riyan Setiawan

Direktur Eksekutif Institute Criminal and Justice Reform (ICJR), Erasmus A. Napitupulu, menilai ada beberapa hal yang perlu menjadi penekanan dalam permasalahan kratom dan ganja medis dengan pelantikan kepala BNN dan arah lembaga yang menangani masalah narkotika ke depan.

Pertama, Erasmus meminta agar mengkaji ulang pendekatan penanganan narkotika. Ia mengingatkan, dunia sudah tidak lagi menggunakan pendekatan perang dalam penanganan narkotika. Berbagai negara yang berhasil menangani masalah narkotika menggunakan pendekatan kesehatan daripada perang.

“Kondisi narkotika kita enggak membaik selama ini ketika penanganan itu disandarkan pada pendekatan pidana dan di seluruh dunia yang berhasil menyelesaikan masalah narkotika setidaknya mengontrol, mengontrol peredaran narkotika, mayoritas tidak ada lagi yang menggunakan murni pendekatan hukum pidana. Mayoritas itu pasti sudah bergeser pendekatan kesehatan dan itu tuntutan dunia,” kata Erasmus kepada Tirto, Sabtu (9/12/2023) malam.

Erasmus mengatakan, BNN adalah lembaga yang bertugas dalam pengaturan narkotika meski bisa menindak secara mandiri. Ia mengingatkan bahwa keberadaan Undang-Undang Narkotika adalah memastikan keberadaan narkotika untuk kepentingan pelayanan masyarakat. Selain itu, UU Narkotika juga memberi ruang agar narkotika diteliti dan digunakan sesuai kepentingan publik.

Sebagai catatan, Pasal 4 UU Narkotika membuat 4 tujuan, yakni menjamin ketersediaan narkotika demi pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika; memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.

Namun, pendekatan penindakan di tubuh BNN bukanlah solusi, karena polisi dan jaksa yang ada sudah mampu menindak secara hukum pelanggaran penggunaan narkotika.

Erasmus juga mengingatkan, pendekatan pidana berbasis perang pada narkotika sudah tidak digunakan sejak 20 tahun lalu. Jika pendekatan ini kembali dilakukan, ia pesimistis permasalahan ganja untuk medis hingga soal legalisasi kratom akan disepakati BNN.

“Kalau misalnya masih dipertahankan pendekatan pidana, tidak akan membaik dan itu artinya mereka tidak akan membuka ruang ganja medis atau pun kratom untuk ditetapkan dalam konteks medis maupun ekonomi,” kata Erasmus.

Erasmus menekankan ancaman Indonesia di masa depan akibat narkotika, terutama ganja medis. Beberapa negara mulai melegalisasi penggunaan ganja seperti Thailand, Australia hingga Malaysia. Ia khawatir, Indonesia akan semakin menjadi pusat perdagangan pasar gelap karena pelaku bisa legal menanam di daerah yang melegalisasi dan menyelundupkan ke Indonesia.

Di sisi lain, angka kasus narkotika Indonesia tidak kunjung turun, melainkan naik. Ia juga menyinggung bagaimana hampir 2/3 lapas dan napi diisi oleh penguna narkotika. Oleh karena itu, Erasmus mendorong perubahan pendekatan penanganan narkotika dan mendorong perubahan paradigma BNN dalam bertindak atau sebaiknya dibubarkan.

Baca juga artikel terkait GANJA MEDIS atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz