Menuju konten utama
Mozaik

Penangkapan dan Eksekusi Dipati Ukur Versi Sajarah Sukapura

Dalam versi ini, Dipati Ukur dan para pengikutnya yang dianggap memberontak terhadap Mataram, dihukum mati oleh Sultan Agung dengan cara yang sangat sadis. 

Penangkapan dan Eksekusi Dipati Ukur Versi Sajarah Sukapura
Pengepungan Batavia oleh Sultan Mataram. Pada tahun 1628 kota VOC di Batavia menjadi korban Sultan Agoeng dari ambisi Mataram untuk menaklukkan. Dengan menaklukan Batavia, sultan akan memperoleh hampir seluruh pulau Jawa. Akibatnya masa depan VOC di Jawa tergantung pada keseimbangan. Tetapi tembok-tembok benteng Batavia yang baru saja selesai terbukti cukup kuat untuk menahan serangkaian serangan dari pedalaman oleh tentara Sultan Agoeng dari Mataram. Karena kekurangan makanan untuk pasukan, Sultan terpaksa mengundurkan diri. FOTO/Wikipedia

tirto.id - Di daerah Pasundan, khususnya Bandung, kisah Dipati Ukur kiranya bukan sesuatu yang asing. Di Kota Bandung, namanya diabadikan sebagai nama jalan yang melewati kampus Universitas Padjadjaran dan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Di Kabupaten Bandung juga menjadi nama jalan yang letaknya tak jauh dari RSUD Welas Asih yang dulu bernama RSUD Al Ihsan.

Salah satu karya tentang dirinya yang sering dijadikan rujukan penulisan sejarah adalah Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sunda (1979) yang merupakan disertasi doktoral Edi S. Ekadjati.

Sementara dalam teks-teks Sunda klasik, utamanya di zaman para menak (abad ke-17 sampai 20 M), namanya disebut-sebut dalam teks dari Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, dan bahkan Betawi. Nama Dipati Ukur juga lekat dengan eksistensi situs-situs arkeologi di sekitar Bandung yang dipercaya oleh warga sekitar sebagai petilasannya.

Menurut Lasmiyati dalam “Dipati Ukur dan Jejak Peninggalannya di Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung” (2016), Dipati Ukur memiliki nama asli Wangsanata. Ayahnya bernama Cahya Luhur, seorang penguasa lokal di Kerajaan Jambu Karang di Banyumas.

Saat Sutawijaya atau Panembahan Senopati (1537-1601) dari Mataram berhasil menaklukan Kerajaan Jambu Karang, Cahya Luhur tidak dilengserkan. Namun demikian, Wangsanata putranya diasingkan ke wilayah Ukur (sekitar Bandung dan sebagian Garut modern). Kelak dia dinikahkan dengan putri Kadipaten Ukur, hingga akhirnya Wangsanata naik takhta sebagai Dipati Ukur menggantikan ayah mertuanya.

Lasmiyati menambahkan, masa pemerintahan Dipati Ukur berbarengan dengan rezim Sultan Agung. Awalnya, Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati wedana (bupati koordinator) dari seluruh wilayah Priangan, menggantikan Adipati Rangga Gede dari Sumedang.

Jabatan itu rupanya harus dibayar mahal oleh Dipati Ukur, karena ia diwajibkan oleh Sultan Agung menjadi garda terdepan Kerajaan Mataram Islam dalam menghadapi VOC. Dia ditugaskan untuk mendampingi panglima Mataram, Tumenggung Bahureksa, saat menggempur Batavia.

Ketika pengepungan Batavia berlangsung, Dipati Ukur tidak menunggu rombongan pasukan Mataram di Karawang dan langsung menyerang kota itu pada 11 September 1628. Akibatnya, Dipati Ukur kalah dan menarik mundur pasukannya.

Tindakannya tentu melemahkan posisi Mataram. Pasukan yang tiba belakangan di Batavia juga kalah dalam menghadapi VOC. Sultan Agung menganggap Dipati Ukur telah disersi dan akhirnya dianggap memberontak terhadap Mataram.

Seperti dikisahkan Lasmiyati, Tumenggung Bahureksa kemudian diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menangkap Dipati Ukur. Dalam upaya penangkapannya, terdapat berbagai versi tentang akhir hidup Dipati Ukur.

Ada yang percaya bahwa Dipati Ukur memilih menjadi rakyat biasa dan memalsukan kematiannya. Ada pula yang meyakini bahwa Dipati Ukur mencari suaka kepada Sultan Banten yang merupakan musuh besar Sultan Agung selain VOC.

Ada satu versi yang cukup mendetail soal akhir hidup Dipati Ukur. Versi ini mungkin kesannya lebih berdarah dibanding versi-versi lain, karena lebih berterus terang dalam menggambarkan ketragisan dari akhir hidup Dipati Ukur.

Sumber ini bukan datang dari versi Jawa, melainkan dari teks Sunda, yakni Sajarah Sukapura. Isinya sangat detail menggambarkan hal-hal paling kecil dari eksekusi Dipati Ukur beserta pasukannya oleh Sultan Agung.

Direbus hingga Ditusuk Beramai-ramai

Cerita Dipati Ukur juga disebut dalam disertasi Emuch Hermansoemantri berjudul Sajarah Sukapura: Sebuah Telaah Filologis (1979). Naskah yang digunakan Hermansoemantri dalam disertasinya berasal dari tahun 1886 karya Raden Kartinagara alias Haji Abdullah Saleh. Namun ia menduga teks asli Sajarah Sukapura berasal dari abad ke-18.

Menurut edisi Hermansoemantri, uraian cerita Dipati Ukur dalam naskah yang berisi silsilah bupati-bupati Sukapura (Tasikmalaya) dan sejarah pendiriannya itu dimulai dari pupuh ke-3.

Dikisahkan bahwa Dipati Ukur telah ditinggalkan oleh empat penguasa umbul (satuan daerah di bawah kabupaten) bawahannya, yakni Cihaurbeuti, Sukakarta, Indihiang, dan Sindangkasih. Keempat umbul ini menghadap Sultan Agung dan diminta untuk membantu Bahureksa dalam menangkap Dipati Ukur.

Ketika Bahureksa mendatangi Dipati Ukur di markasnya di Kampung Bungbang, ia gagal menangkapnya dan bahkan mundur dari medan peperangan. Namun tak disangka, Dipati Ukur akhirnya memilih untuk menyerahkan diri pada Bahureksa. Lalu Dipati Ukur beserta umbul-umbul setianya yang berjumlah delapan dibawa ke hadapan Sultan Agung.

Sesampainya di Mataram, Dipati Ukur beserta para pengikutnya didudukkan dengan rapi di hadapan Sultan Agung. Orang-orang “pembelot” ini satu persatu diperiksa oleh Sang Sultan dengan saksama. Sultan Agung kemudian memberikan wejangan yang diuraikan secara panjang lebar oleh penulis Sajarah Sukapura.

Sultan Agung mengatakan bahwa yang dilakukan oleh Dipati Ukur adalah dosa besar, yakni melawan kehendak para leluhur atas prinsip-prinsip hidup. Atas perbuatannya itu, Sultan Agung menganggap satu-satunya hukuman yang pantas diterima oleh Dipati Ukur beserta rombongannya adalah kematian.

Lalu eksekusi pun dilakukan. Dipati Ukur sebagai pucuk pimpinan dipenggal kepalanya. Demang Saunggatang dibungkus dengan ijuk yang rapat lalu dibakar. Sementara Ngabehi Yudakarti (Umbul Taraju) diikat kedua tangannya dan digantung di gerbang keraton. Semua laki-laki ataupun perempuan yang lewat, harus mengirisnya bersama-sama sampai ia mati. Tumenggung Batulayang direbus sampai mati. Lima pemimpin umbul lainnya, yaitu Umbul Malangbong, Cihaur Mananggel, Sagaraherang, Kahuripan, dan Medangsasigar ditikam beramai-ramai dengan keris.

Setelah kematian Dipati Ukur beserta seluruh pengikutnya, Sultan Agung memberikan anugerah jabatan pada empat orang penguasa umbul yang membantu meringkus Dipati Ukur. Mereka diangkat menjadi bupati dari kabupaten-kabupaten baru yang didirikan oleh Sultan Agung, yakni Kabupaten Bandung, Sukapura (Tasikmalaya), dan Parakanmuncang (Rancaekek-Jatinangor).

Pengangkatan bupati-bupati itu tercatat dalam prasasti logam berangka tahun 1641 M yang dikeluarkan oleh Sultan Agung dan tanggal penerbitannya menjadi Hari Jadi Kabupaten Bandung: 20 April.

Baca juga artikel terkait KESULTANAN MATARAM ISLAM atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Mozaik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi