tirto.id - Nama eks Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil atau RK beberapa hari terakhir menjadi perhatian publik. Hal ini tidak lepas dari pernyataan Sekjen DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto yang menyebut bakal cawapres Ganjar Pranowo sudah mengerucut menjadi lima nama, yaitu: Sandiaga Uno, Mahfud MD, Ridwan Kamil, Erick Thohir, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Sehingga nama-nama yang dipersepsikan positif oleh rakyat tentu saja PDI Perjuangan melakukan proaktif melakukan kajian secara mendalam terhadap nama-nama tersebut,” ungkap Hasto di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (9/9/2023).
Penyebutan nama RK kemudian memicu kontroversi lantaran ia saat ini sudah menjadi kader Partai Golkar. Parpol berlambang pohon beringin ini bersama Partai Gerindra, PAN, PBB, Partai Gelora, dan Partai Garuda tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju mengusung Prabowo pada Pilpres 2024.
Omongan Hasto lalu dikaitkan dengan pernyataan Ridwan Kamil sebelumnya soal breaking news usai ia resmi tidak menjabat sebagai gubernur Jabar.
“Kami mohon doa takdir kami ke mana, kami tidak tahu, tapi insyaallah Tuhan memberikan yang terbaik; tapi kalau minggu depan ada breaking news, ya, mohon dimaklumi. Kodenya itu saja,” kata RK Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat seperti dikutip Antara pada 5 September 2023.
Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto pun merespons soal pernyataan breaking news yang diungkap Ridwan Kamil. Airlangga memastikan Partai Golkar belum membahas soal kemungkinan pria yang akrab disapa Kang Emil itu menjadi bakal cawapres.
“Itu belum dibahas [soal Ridwan Kamil bakal jadi cawapres]” kata Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (8/9/2023).
Airlangga memastikan, breaking news yang dimaksud RK bukan soal eks wali kota Bandung itu sebagai pendamping Ganjar.
RK lantas mengklarifikasi pernyataan breaking news yang ia dimaksud. Mantan wali kota Bandung itu mengaku ingin keliling dunia setelah tidak menjadi gubernur.
“Saya mau ‘me time.’ Saya teh mau pergi jauh keliling dunia mulai pekan depan. 10 tahun tidak ada ‘me time’ kecuali curi-curi waktu sedikit saat kedinasan ke luar wilayah. Mau recharge badan dan pikiran," kata Kang Emil dalam instagram @ridwankami.
Golkar Bermain Politik Dua Kaki?
Meski RK dan Airlangga memberikan klarifikasi terkait breaking news yang dimaksud, tapi publik tak sepenuhnya yakin. Apalagi, sejumlah politikus Golkar memberikan pernyataan bersayap. Misalnya Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, Agung Laksono yang menilai wacana RK sebagai bakal cawapres Ganjar adalah kehormatan bagi Golkar.
“Kalau diminta berpasangan dengan Pak Ganjar, saya kira itu sebuah kehormatan dan bagi Golkar, tentu tidak ada alasan untuk melarang karena saya yakin bahwa dia tetap sebagai salah satu Waketum DPP Partai Golkar,” kata Agung.
Agung meyakini RK akan tetap berada di Golkar, meski melakukan penjajakan untuk mendampingi Ganjar sebagai bakal cawapres di Pilpres 2024. Ia mengingatkan bahwa partai berlambang beringin itu pernah mengalami situasi semacam itu, yakni saat Golkar tidak mengusung kader pada kontestasi pilpres, tapi kader tersebut justru diminta sebagai pendamping bagi bakal capres di koalisi lain.
Hal senada diungkapkan Wakil Bendahara Umum DPP Kosgoro 1957 yang juga kader Golkar, Bimo Trihasmoro. “Tentu ini sebuah kebanggaan dan kehormatan buat Golkar di mata para ketua umum partai pendukung Pak Ganjar Pranowo. Mereka melihat Golkar partai besar dan berpengalaman serta memiliki banyak kader yang mumpuni termasuk Pak Ridwan Kamil,” kata Bimo dalam keterangan tertulis, Minggu (10/9/2023).
Bimo menekankan, Golkar memang sudah mendeklarasikan dukungan ke Prabowo, tetapi belum ada penentuan nama cawapres. Oleh karena itu, kata dia, isu Kang Emil menjadi cawapres tidak bisa dihentikan karena RK juga warga negara yang punya hak untuk dipilih.
“Secara resmi Golkar sudah ke KIM [Koalisi Indonesia Maju], capresnya Pak Prabowo, tapi kan belum ada siapa bacawapresnya. Kalaupun kubu sebelah melirik Pak RK jadi bacawapresnya Pak Ganjar, itu tidak bisa dilarang. Itu hak konstitusional mereka sebagai partai politik memilih Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai pemimpin di republik ini,” ujarnya.
Meski begitu, kata dia, jika nantinya KIM sepakat untuk mengusung Prabowo berpasangan dengan Airlangga, maka partai berlambang beringin itu akan solid mendukung keputusan tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa Golkar punya dua sisi dalam politik.
“Sekarang KIM belum jelas siapa bacawapresnya. Saya kira wajar muncul godaan politik dari koalisi lain, tapi jangan juga godaan itu lalu kemudian dilarang. Ibaratnya, Golkar punya burung di tangan kanan, tiba-tiba di tangan kirinya ada burung yang datang. Jangan sampai burung yang kanan tidak jadi, burung di tangan kiri lepas,” kata Bimo mengibaratkan.
Akan tetapi, Ketua DPP Partai Golkar, Dave Laksono kembali menegaskan bahwa munculnya nama Ridwan Kamil adalah sinyal politik pribadi dia. Namun, kata Dave, Golkar saat ini tetap mendukung bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju, Prabowo Subianto.
“Sikap resminya Golkar tetap mendukung Pak Prabowo, kita tidak akan keluar dari KIM. Kalau soal sikap pribadinya Pak Ridwan Kamil, itu adalah hak politiknya beliau, sikap partai tidak berubah tetap mendukung Pak Prabowo,” kata Dave saat dihubungi reporter Tirto, Minggu (10/9/2023).
Bukan Kali Pertama Golkar Main Dua Kaki
Jika Golkar tidak mempersoalkan RK menjadi pendamping Ganjar, padahal secara resmi mendukung Prabowo, maka Golkar sejatinya sedang melakoni taktik yang sering mereka lakukan, yakni politik dua kaki. Dalam catatan Tirto, dalam tiga pemilu terakhir (2004, 2014 dan 2019), sejumlah kader Golkar ada yang 'membelah diri' saat pilpres.
Pada Pemilu 2004 misal. Partai Golkar yang saat itu dipimpin Akbar Tandjung memutuskan mengusung eks Panglima ABRI Wiranto bersama (alm) Solahuddin Wahid atau Gus Solah sebagai pasangan capres-cawapres. Golkar kala itu berkoalisi dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Patriot, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ulama (PPNU).
Di sisi lain, mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan era Presiden Abdurrahman Wahid, Jusuf Kalla yang juga kader Partai Golkar justru menjadi cawapres dari Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Pasangan yang diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI yang kini bernama PKP) berhasil mengalahkan petahana Presiden Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzani dengan hasil 60,62 persen melawan 39,38 persen.
Jusuf Kalla yang menjabat Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia era Megawati itu langsung mengambil kursi ketua umum partai berlambang beringin usai dilantik sebagai wakil presiden. Dengan strategi dua kaki ini, meski capres yang diusung Golkar kalah, tapi tetap di pemerintahan karena ada kader lain yang akhirnya memenangkan pilpres.
Di Pemilu 2014, dinamika politik internal Golkar lebih kompleks lagi. Saat itu, Jusuf Kalla kembali 'bermanuver' dengan menjadi calon wakil presiden untuk capres Joko Widodo yang diusung koalisi PDIP. Selain JK, ada nama Luhut B. Pandjaitan, Agus Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, Poempida Hidayatullah, Zainudin Amali, dan Agung Laksono yang disebut dekat dengan Jokowi. Sedangkan Golkar secara resmi mengusung Prabowo-Hatta Radjasa.
Hal yang menarik, Munas IX Partai Golkar pada 3 Desember 2014 atau beberapa waktu usai Pilpres 2014, langsung memecat sejumlah nama yang dinilai membelot, kecuali Luhut dan JK yang tidak dipecat. Hal itu berlangsung setelah Aburizal Bakrie kembali terpilih sebagai ketua umum partai. Jika ditotal, ada 17 kader yang dipecat kala itu.
Situasi panas itu mengerucut pada pertarungan dua kubu, yaitu kubu ARB dan Agung Laksono. Kala itu, Agung sebagai ketum berdasarkan Munas Jakarta mendukung pemerintahan Jokowi, sementara ARB sebagai ketum versi Munas Bali tetap berada di luar pemerintahan. Perseteruan ini akhirnya berakhir lewat Munaslub Golkar 2016 dengan ketua umum terpilih Setya Novanto atau Setnov.
Pada pilpres 2019, beberapa kader kembali terekam berbeda pandangan dengan arahan partai. Kala itu, partai yang sudah dipimpin Airlangga Hartarto mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi-Maruf Amin kembali berhadapan dengan kader yang tidak ikut arahan partai. Setidaknya ada 3 kader partai yang dipecat DPP Partai Golkar karena mendukung Prabowo-Sandiaga, yakni Fadhly, caleg DPR RI 2019-2024 Dapil Jatim V, Cupli Risman caleg DPRD 2019-2024 Dapil Jakarta IV, dan Arsi Divinibun yang merupakan anggota Partai Golkar.
Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo mengamini soal politik dua kaki yang sering dimainkan Golkar saat pilpres. “Ini DNA-nya Golkar dan bukan sesuatu yang aneh. Di pemilu yang ujung belakangnya 4, Golkar akan berusaha bermain di semua kaki, siapa pun yang menang, dia akan segera bergabung dengan partai pemenang,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Senin (11/9/2023).
Hal itu, kata dia, juga diakui oleh politikus senior Golkar, Agung Laksono. Kunto yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini mengatakan, dalam sejarahnya Partai Golkar akan selalu mendekat kepada kandidat yang memenangkan pemilu.
“Itu pilihan politiknya Partai Golkar semenjak pilpres langsung ini ada di Indonesia,” kata Kunto.
Menurut Kunto, potensi RK dilirik PDIP sebagai bakal cawapres Ganjar sangat menguntungkan bagi Golkar, apalagi bila Prabowo tidak memilih kader Golkar sebagai pendampingnya. “Jadi ini keuntungan bagi Golkar untuk langkah politiknya ke depan,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz