tirto.id - “Kamu begitu menyukai Ibu? Apa yang kamu sukai dari Ibu?”
“Karena Ibu adalah ibuku.”
Demikian jawaban sederhana nan polos Ae-sun terhadap pertanyaan dari ibunya, Gwang-rye.
Gadis kecil berusia 10 tahun itu hanya ingin berlama-lama memandangi wajah sang ibu yang berprofesi sebagai haenyeo—perempuan penyelam tradisional Jeju, pulau di lepas pantai Korea Selatan.
Dalam puisinya, Ae-sun berharap dapat membeli waktu yang sehari-hari dihabiskan Gwang-rye untuk mencari kerang di dasar laut tanpa perlindungan dari alat-alat khusus.
Ae-sun menulis, dirinya akan membayar 100 won per hari supaya sang ibu dapat istirahat dari pekerjaan yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawanya tersebut.
Adegan yang diputar pada 15 menit pertama dari serial baru Netflix berjudul When Life Gives You Tangerines (2025) tersebut sontak berhasil membuat penonton ikut menitikkan air mata bersama Gwang-rye.
Potret realistis dari kehidupan masyarakat biasa yang diangkat di dalam drama ini menyentuh hati banyak orang, terutama bagaimana alurnya menelisik hubungan ibu dan anak yang rumit dan emosional.
Sekilas, dialog ungkapan cinta antara Ae-sun dan Gwang-rye tersebut mengingatkan kita pada salah satu adegan yang tak kalah berkesan dari film Lady Bird (2017).
Drama coming-of-age karya Greta Gerwig yang turut mengulik hubungan ibu dan anak ini mengajukan pertanyaan serupa, tetapi dari sudut pandang si anak perempuan.
Tokoh protagonis Christine—atau yang lebih suka dipanggil “Lady Bird”—bertanya pada ibunya di ruang ganti baju di suatu toko pakaian, “Apa Ibu suka padaku?”
Pertanyaan itu tidak datang tiba-tiba. Lady Bird selalu menganggap sang ibu, Marion, benci padanya.
Maka dari itu, ketika Marion mengomentari warna prom dress pilihan Lady Bird yang terlalu pink, remaja tersebut jelas muak.
“Aku cuma berharap Ibu suka padaku,” ucapnya dari balik ruang ganti baju.
Marion pun menanggapinya singkat, “Tentu saja Ibu sayang kamu.”
Meski begitu, bagi seorang remaja yang hatinya masih mudah bimbang dan haus pengakuan, bukan respons seperti itu yang diharapkan dari sang ibunda.
Ketika Lady Bird kembali mendesak ibunya dengan pertanyaan yang sama, Marion pun mencoba menjawab dengan kejujuran yang diplomatis, jika bukan terlalu hati-hati.
“Ibu mau kamu jadi versi terbaik dari dirimu.”
“Bagaimana kalau inilah versi terbaikku?” tanya Lady Bird lagi sebelum akhirnya kembali mengurung diri ke dalam ruang ganti.
Remaja yang bercita-cita jadi sukses di kota besar ini dikisahkan tengah berjibaku mengenali diri sendiri.
Seiring Lady Bird mengeksplorasi identias diri yang paling cocok, ia juga mendamba perhatian orang-orang di sekitar, tak terkecuali sang ibu, yang pada waktu sama masih meraba-raba cara terbaik untuk memahami dan mencintai anak gadisnya yang tengah berproses itu.
Meskipun memiliki nuansa yang begitu berbeda, film Lady Bird dan drama When Life Gives You Tangerines disokong oleh formula yang sama.
Masing-masing berupaya menyusun kolase berdasarkan fragmen-fragmen hubungan yang kaya dan penuh warna antara ibu dan anak perempuannya.
Penonton diundang untuk menyelami kompleksitas perasaan-perasaan ibu dan anak perempuan melalui persoalan sehari-hari manusia modern yang sangat dinamis dan cenderung relatable.
Pada 2018, Lady Bird mendapatkan 41 nominasi dari berbagai ajang penghargaan bergengsi seperti Oscar dan Golden Globes. Setidaknya total 13 penghargaan berhasil mereka boyong pulang.
Sementara itu, serial Korea When Life Gives You Tangerines memenangkan kategori Drama Terbaik pada Baeksang Art Awards 2025, ajang prestisius untuk dunia drama dan perfilman Korea Selatan. Kategori aktor dan aktris pendukung terbaik serta skenario terbaik juga berhasil mereka menangkan.
Nyatanya, beberapa tahun belakangan, narasi bertema peran perempuan dan motherhood terlihat semakin populer di layar kaca.
Sebut di antaranya yang dikemas dalam keseharian keluarga modern Amerika melalui serial Gilmore Girls (2000) atau yang bernuansa psychological thriller di K-drama The Glory (2022).
Masih ada pula yang dibingkai dalam tema interseksionalitas ras dan seksualitas seperti Everything Everywhere At All Once (2022) atau dikembangkan dari sastra klasik Little Women (2019), sampai animasi Disney-PIXAR seperti Brave (2012) dan Turning Red (2022).
Popularitas kerja kreatif di atas menunjukkan betapa besar potensi perkembangan narasi-narasi women-centric dan pengaruhnya pada budaya masyarakat kita hari ini.
Sutradara sekaligus penulis film Lady Bird, Greta Gerwig menyebut bahwa hubungan ibu dan anak memiliki material yang sangat kaya untuk dituangkan ke dalam karya seni.
"Hubungan ini dipenuhi dengan cinta dan kecemasan yang luar biasa. Aku tidak kenal perempuan mana pun yang memiliki hubungan sederhana dengan ibu atau anak perempuannya," terang Gerwig.
Oleh karena itu, film yang mengangkat kisah ibu-anak berpotensi menjadi sangat relatable bagi penonton.
Ini jugalah yang nampaknya dapat menjelaskan tentang sambutan hangat dunia terhadap drama When Life Gives You Tangerines.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa serial ini mengingatkan mereka pada hubungannya dengan ibu atau anak perempuan mereka.
Melalui adegan-adegan sederhana di layar kaca, mereka dapat dengan mudah merefleksikan hubungan dengan ibu atau anak sendiri.
Drama ini menceritakan perjalanan hidup perempuan dari tiga generasi, dimulai dari Gwang-rye, berlanjut ke Ae-sun, dan berakhir pada putri pertama Ae-sun, Geum-myeong.
Berlatar waktu pada 1960 di pulau terpencil Jeju sampai tahun 2025 di gemerlap Seoul, drama ini menyoroti perjuangan orang tua yang diterpa kesulitan dan kemiskinan seusai Perang Korea (1950-1953) berkecamuk.
Tak hanya itu, When Life Gives You Tangerines juga mengangkat isu patriarki yang sekian waktu lamanya menggerogoti ruang gerak dan peran perempuan.
Gwang-rye, Ae-sun, dan Geum-myeong, meskipun hidup pada era berbeda, ternyata tetap saja dipertemukan dengan bentuk-bentuk penindasan dari sistem patriarki dan kesenjangan ekonomi.
Sederet tantangan tersebut seakan mengikat mereka pada kedalaman emosional yang mungkin tidak bisa dijelaskan dari sudut pandang ayah atau anak laki-laki.
Mereka saling berkorban, bergantung, dan berjuang untuk menghidupi mimpi satu sama lain.
Di balik perjuangan itu semua, tentu saja, relasi ibu dan anak perempuan tiga generasi ini tidak selalu berjalan mulus.
Percakapan sederhana antara mereka dapat berubah menjadi pedas dan sengit akibat akumulasi beban frustasi masing-masing terhadap situasi kala itu.
Serial ini juga menggambarkan bahwa semakin besar harapan dan pengorbanan orang tua pada anaknya, kemungkinan akan semakin berat pula beban tanggung jawab dan rasa bersalah yang dipikul oleh si anak.
Geum-myeong, yang dideskripsikan dan diperlakukan bak medali emas oleh Ae-sun, merasa dirinya tidak lebih dari seorang anak sulung yang dituntut menjadi pilar keluarga.
Dia lelah karena harus terus menyisihkan sepertiga gaji setiap bulan untuk keluarganya.
Pada waktu sama, Geum-myeong tidak bisa berhenti melakukannya karena dihantui rasa bersalah atas segala pengorbanan orang tuanya demi memberikan kehidupan lebih baik untuknya di luar Jeju.
Padahal, Ae-sun tidak pernah mengharapkan apapun dari Geum-myeong. Uang yang dikirimkan si sulung disimpan baik-baik oleh Ae-sun dan suaminya.
Meski sebagian penonton merasa sangat terhubung dengan kegaualan isi hati Geum-myeong, sebagian lain penonton bisa jadi masih kesulitan menangkap kompleksitas nuansa karakternya.
Tak sedikit pula penonton yang mungkin masih berusaha memahami, atau bertanya-tanya, mengapa Ae-sun bersikap begini dan begitu selama membesarkan Geum-myeong?
Terlepas dari itu semua, bukankah kompleksitas itulah yang menjadi daya tarik dari karakter ibu dan anak serta relasi mereka yang super dinamis?
Tentu saja perdebatan ibu versus anak demikian tidak akan pernah habis dibahas dan selalu menuai berbagai respons. Poin ini jugalah yang menjadi cerminan betapa rumit dan manusiawinya dinamika relasi ibu dan anak.
Pada akhirnya, kisah Geum-myeong dan Lady Bird berhasil membuat peliknya hubungan ibu dan anak semakin diperhatikan dan banyak dibicarakan.
Nah, sejauh mana karakter dan dinamika cerita mereka memengaruhimu dalam merefleksikan relasi dengan ibumu sendiri?
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































