Menuju konten utama

Pangan Lokal di Hadapan Pangan Impor

Mampukah pangan lokal bersaing dengan kerasnya gempuran pangan impor dan makanan cepat saji?

Pangan Lokal di Hadapan Pangan Impor
Seorang pengepul buah memisahkan apel lokal jenis manalagi atau biasa disebut sebagai apel Malang di Batu, Malang, Jawa Timur, Rabu (15/2). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Apa yang Anda makan sehari-hari? Makanan cepat saji? Sayur rumahan? Bagaimana dengan buah yang Anda makan, apel malang atau apel merah dari Selandia Baru? Jeruknya Medan atau Mandarin?Selama ini, makanan yang kita makan dan memang tersedia di pasar secara umum, adalah pangan impor. Padahal, jika kita bisa memilih konsumsi pangan lokal, ketergantungan kita akan pangan impor bisa berkurang.

“Pangan lokal kita juga memiliki gizi lebih tinggi,” kata Ahmad Sulaeman, ahli gizi dari Fakultas Ekologi Manusia IPB kepada Tirto.

Baca juga: Pangan Alternatif Ada di Hutan Mangrove

Saat ini, Indonesia mencatat nilai impor tinggi di bidang pangan. Ironis, sebab Indonesia merupakan negara agraris. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia September 2017 mencapai $12,78 miliar, meningkat 13,13 persen dibandingkan September 2016. Impor terbanyak, disumbang oleh bidang non-migas sebesar $10,85 miliar. Meningkat 13,80 persen dibanding September 2016.

Peningkatan impor non-migas terbesar September 2017 merupakan golongan buah-buahan, yakni sebesar $44,2 juta. Produk-produk impor non-migas tersebut, dipasok oleh beberapa negara seperti Cina dengan nilai $24,81 miliar (26,07 persen), Jepang $10,90 miliar (11,46 persen), dan Thailand $6,89 miliar (7,24 persen). Impor non-migas dari ASEAN 20,61 persen, sementara dari Uni Eropa 9,43 persen.

Baca juga: Pro Kontra Impor Jeroan

Memulai Konsumsi Pangan Lokal

Lazimnya, masyarakat lebih menyukai produk pangan impor karena rasa yang manis, warna dan bentuk menarik mata, serta harga lebih murah dibanding produk lokal. Misalnya saja apel. Keberadaan apel lokal seperti Ana, Rome Beauty, dan Manalagi kini semakin sulit ditemui. Masyarakat lebih berminat dengan apel Fuji dari Cina atau apel Washington dari Amerika Serikat, juga apel Selandia Baru dan Australia.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, dalam diskusi singkat “Jelajah Gizi”, Prof. Ahmad memaparkan pentingnya mengonsumsi pangan lokal. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pangan lokal harus diutamakan: keamanan, ekonomi, dan kedaulatan pangan. Dari sisi keamanan, konsumsi pangan lokal jelas lebih aman dibandingkan pangan impor. Sebab, pemerintah dapat dengan mudah menyusur asal usul pangan tersebut.

“Kalau impor, kita susah tahu dari mana asalnya, tidak tahu bagaimana pengolahan, pengemasan dsb sudah sesuai standar atau belum.”

Baca juga: Jurus Instan Impor Garam

Ia kemudian memberikan contoh pada produk apel impor. Pada 2015, Kementerian Pertanian pernah melarang impor apel Granny Smith dan apel gala dari Amerika. Sebabnya, kedua apel itu telah terkontaminasi bakteri listeria monositogen saat proses pengepakan. Bakteri ini dapat membuat demam tinggi, sakit kepala, pegal, mual, sakit perut, diare, dan keguguran.

Untuk masuk Indonesia, apel-apel impor tersebut setidaknya harus melewati perjalanan selama tiga minggu melewati kapal laut. Menurut Ahmad, penyimpanannya di terminal buah di Amerika bisa mencapai 6 bulan hingga dua tahun.

Agar tetap terlihat segar dan bagus meski harus melewati waktu panjang sebelum sampai di tangan konsumen, apel-apel impor tersebut terlebih dulu dilapisi lilin, fungisida, dan pirazolin sebagai antimikroba. Setelah itu, disimpan pada suhu rendah antara 0-10 derajat celcius dengan pengontrolan atmosfer dan gas. Pengawetan tersebut tak hanya dilakukan pada apel, tapi juga pada buah impor lainnya.

“Kalau Apel Malang, saya pastikan tak ada penyemprotan lilin. Untuk mencegah hamanya pun dibungkus kertas. Dan jelas, jarak tempuhnya lebih pendek,” jelas Prof Ahmad.

Baca juga: Buah Impor Merajalela, Pasokan Buah Lokal Mengkeret

Infografik Keutamaan Pangan Lokal

Selain lebih segar, produk buah lokal juga dijamin memiliki nilai gizi lebih tinggi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian oleh Anggun Rindang Cempaka, dkk pada 2014. Mereka meneliti kandungan quercetin pada buah apel lokal dan impor.

Quercetin merupakan salah satu flavonoid yang dipercaya dapat melindungi tubuh dari beberapa penyakit degeneratif dengan mencegah proses peroksidasi lemak. Hasilnya, varietas apel yang paling banyak mengandung quercetin adalah apel lokal Rome Beauty dan manalagi, baru kemudian diikuti apel impor fuji, dan Red Delicious.

Secara umum, Ahmad menjelaskan manfaat apel dapat meningkatkan kesehatan jantung, mencegah asma, membersihkan hati, mengurangi kolesterol, serta membantu imunitas tubuh manusia. Memakan satu buah apel setiap hari akan menambah asupan serat lebih dari 30 persen kebutuhan harian. Buah ini juga terkenal rendah kalori sehingga baik digunakan untuk menurunkan berat badan.

Selain digempur oleh pangan impor, kondisi pangan lokal Indonesia juga harus bersaing dengan menjamurnya restoran cepat saji. Servis ruangan berpendingin, akses internet, serta label “high class” membuat usaha pangan lokal jadi kalah saing. Padahal, konsumsi makanan cepat saji yang rendah gizi sudah terbukti menjadi risiko bagi beragam penyakit, terutama obesitas.

“Makanan lokal kita ini lho, yang banyak rempah dan kaya campurannya, juga banyak gizinya.”

Baca juga: India Terapkan Pajak Kegemukan untuk Produk Junk Food

Ia mencontohkan rempah yang jamak digunakan dalam masakan Indonesia. Rempah-rempah tersebut jelas memberi nilai gizi lebih, selain juga berfungsi sebagai antibakterial dan antidepresan. Pala, misalnya, dapat memberikan efek relaksasi saat dikonsumsi dalam takaran seimbang.

“Itu sudah gizinya lebih tinggi, karena tanah kita lebih banyak unsur haranya,” pungkas Prof Ahmad.

Satu lagi yang penting, pangan yang ditanam dan dikelola petani lokal perlu didukung agar masih ada aktivitas pertanian negeri ini. Pada akhirnya, jika krisis melanda, yang pertama-tama manusia butuhkan di atas hal lain adalah udara, air, dan pangan.

Baca juga artikel terkait BUAH-BUAHAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Aditya Widya Putri