Menuju konten utama

Pro Kontra Impor Jeroan

Jeroan, makanan yang untuk sebagian orang dianggap sebagai makanan yang lezat. Namun di belahan dunia lain dianggap sebagai sampah. Kandungan dalam jeroan pun diperdebatkan di kala pemerintah mulai membuka keran impor jeroan guna menekan harga daging. Lantas, apakah jeroan itu layak untuk di konsumsi atau memang merupakan pakan ternak?

Pro Kontra Impor Jeroan
Pedagang memilah daging sapi di Pasar Senen, Jakarta. [Antara Foto/Aprillio Akbar]

tirto.id - Mengkonsumsi jeroan sudah tak asing di kalangan masyarakat Asia terlebih Indonesia. Rasanya yang lezat, olahannya yang beragam, membuat makanan ini cukup difavoritkan. Beberapa negara seperti Italia, Spanyol dan Turki juga menjadikan jeroan sebagai bahan olahan masakan tradisionalnya. Sementara di beberapa negara lainnya, jeroan dianggap tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Di Amerika, jeroan tidak biasa dikonsumsi oleh manusia. Jeroan justru dijadikan pakan ternak.

Di Indonesia, jeroan merupakan makanan yang lazim disantap. Tukang jual bubur ayam selalu melengkapinya jualannya dengan sate usus ayam. Sementara ketika lebaran, kita biasa menyantap sambal goreng ati. Belum lagi varian jeroan yang dibuat keripik nan lezat seperti keripik usus dan paru. Dengan kegemaran orang Indonesia makan jeroan, tak perlu heran jika tingkat konsumsinya cukup tinggi. Indonesia bahkan mendatangkan jeroan dari negara lain.

Padahal, pada tahun 2013, Kementerian Pertanian (Kementan) telah mengeluarkan peraturan tentang larangan impor jeroan guna melindungi produk sampingan daging dalam negeri, melalui Peraturan Menteri Pertanian No 50/Permentan/OT.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan Olahannya ke Indonesia.

Meski sebelumnya dilarang, tetapi Comtrade mencatat pada 2014, Indonesia mengimpor jeroan senilai 223 ribu dolar AS. Pada 2015 lalu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan mengeluarkan larangan atas impor jeroan sapi dan kerbau. Menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, impor ditutup karena kebutuhan jeroan bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.

Selain itu, Menteri Perdagangan (Mendag) yang saat itu dijabat oleh Rachmat Gobel mengaku malu bila Indonesia terus mengimpor jeroan dari luar. Hal itu mengingat jeroan digunakan sebagai pakan hewan di luar negeri. Pernyataan inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan dari masyarakat, mengapa pemerintah kembali membuka keran impor jeroan.

Pengganti Rachmat Gobel, Thomas Lembong melakukan hal yang berbeda. Mendag Thomas Lembong malah membuka impor jeroan untuk dapat menekan harga daging sapi. Menurutnya, impor jeroan penting untuk membantu menstabilkan harga, apalagi juga dikonsumsi masyarakat banyak.

Senada dengan Mendag Lembong, Pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto Supri menyebut bahwa pemerintah sudah satu suara untuk segera dilakukannya importasi jeroan sapi. Menurutnya, peraturan untuk impor jeroan sapi hanya bersifat sementara dan juga hanya situasional. Jika pemerintah merasa harus impor, maka akan dilakukan, begitu pun sebaliknya.

Namun, kritikan dan penolakan atas impor jeroan datang dari Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia mengatakan, rencana pemerintah untuk mengimpor jeroan sapi merupakan bentuk merendahkan martabat bangsa Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak boleh mengalihkan ketidakmampuannya menurunkan harga daging sapi dengan cara mengimpor jeroan.

"Jeroan di negara-negara Eropa dipakai untuk makanan anjing dan tidak layak untuk dikonsumsi manusia," kata Tulus, dikutip dari Antara.

Jeroan itu Sehat?

Di Indonesia, jeroan pada umumnya diolah menjadi berbagai jenis masakan yang menggugah selera seperti gulai, soto, hingga sate. Namun, konsumsi secara terus-terusan dalam jangka panjang tidak disarankan. Konsumsi jeroan jangka panjang dapat menimbulkan penyumbatan pembuluh darah, asam urat naik, peradangan akut persendian, batu ginjal dan tingginya kalori yang meningkatkan hipertensi, dan kolesterol.

Dokter ahli gizi dr. Marzuki mengungkapkan, dengan masuknya jeroan impor maka membuat konsumsi jeroan masyarakat meningkat, yang dampaknya dapat memicu kolesterol. Ini artinya, rencana pemerintah untuk menurunkan harga tetapi malah akan menimbulkan penyakit.

Kepala Dinas Kehewanan dan Peternakan Kalimantan Barat Abdul Manaf juga menolak adanya impor jeroan. Ia mengatakan, pihaknya hingga kini belum mau menerima pasokan jeroan impor yang merupakan kebijakan baru dari pemerintah pusat. Alasannya adalah jeroan yang menjadi media masuknya penyakit. "Dampaknya membuat kolesterol tinggi. Justru lebih baik mengkonsumsi daging," kata Manaf, dikutip dari Antara.

Selain itu, Indonesia yang akan mengimpor jeroan dari India tentunya juga mengundang tanya sebab India belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Namun, Direktur Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita menegaskan, pemerintah menjamin seluruh jeroan yang masuk ke Indonesia aman dan juga halal, karena jeroan itu diimpor hanya dari negara dan rumah potong hewan (RPH) yang telah disetujui oleh pemerintah.

Selain itu, seluruh jeroan yang masuk ke dalam negeri, wajib disertai sertifikat veteriner berdasarkan hasil pengujian laboratorium dan otoritas veteriner dari negara asal, serta sertifikat halal dari otoritas halal di negara asal yang telah disetujui Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pemerintah juga mengungkapkan jeroan memiliki kandungan gizi dan vitamin yang dibutuhkan manusia sehingga bila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup tidak akan membahayakan kesehatan.

"Meskipun jeroan mengandung asam purin dan lemak tinggi sehingga bila dikonsumsi berlebihan dapat memicu timbulnya penyakit jantung, radang sendi dan lain-lain. Namun, tidak semua jeroan seperti jantung memiliki kandungan kolesterol dan asam purin tinggi," kata Diarmita, dikutip dari Antara.

Baca juga artikel terkait EKONOMI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Yantina Debora