tirto.id - Setiap 27 Juli diperingati sebagai Hari Internasional untuk Konservasi Ekosistem Mangrove. Sebuah peringatan bagaimana pentingnya manfaat tanaman mangrove. Manfaat mangrove tak hanya sebagai penyeimbang ekosistem, tapi menyimpan sumber pangan alternatif bagi kehidupan manusia. Kandungan karbohidrat pada tanaman mangrove melampaui karbohidrat pada beras. Potensi ini diteliti secara khusus di Jawa Tengah oleh Ahmad Dwi Setiawan dan Kusumo Winarno yang diterbitkan pada jurnal Biodiversitas 2006.
Penelitian ini mengungkap banyak lokasi yang masyarakatnya telah memanfaatkan tumbuhan mangrove sebagai bahan makanan, tapi kuantitas dan kualitasnya masih relatif terbatas. Misalnya, pada salah satu jenis buah mangrove, Avicennia spp ini biasa dikonsumsi sebagai sayuran di kawasan Pantai Utara Jawa Tengah dan masih dijual di pasaran.
Sedangkan buah N. fruticans banyak dikonsumsi di kawasan Pantai Selatan, khususnya di Cingcingguling dan Ijo. Buah ini juga dijual sebagai oleh-oleh untuk wisatawan di kawasan wisata Pantai Lohgending, Ayah, Kebumen, Jawa Tengah yang terletak di Muara Sungai Ijo. Di wilayah Segara Anakan, buah N. fruticans, buah Sonneratia spp., dan propagul Rhizophora spp, masih dikonsumsi penduduk tapi tidak diperdagangkan.
Nama yang paling terkenal adalah Nira, bunga N. fruticans ini dapat diolah menjadi gula merah dan tuak, karena kandungan sukrosa yang tinggi. Nipah juga dapat menghasilkan minyak goreng, daunnya bisa dimanfaatkan untuk kertas rokok, dan abunya untuk sumber garam.
Penelitian ini mengungkapkan, masyarakat pesisir masih minim memanfaatkan tumbuhan mangrove karena memiliki kesan bahwa makanan tersebut hanya layak dikonsumsi orang miskin atau dikonsumsi sebagai pilihan pangan terakhir di masa paceklik. Padahal, dalam penelitian oleh Dewi Wahyuni K. Baderani dkk yang diterbitkan 2015, kandungan gizi mangrove tak kalah dengan sumber pangan lain. Penelitian ini memfokuskan produk pangan mangrove dari tiga spesies yakni spesies Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia alba.
Baca juga: Melepas Beras
Buah mangrove seperti Bruguiera gymnorrhiza memiliki bentuk melingkar spiral, bundar melintang dengan panjang 2-2,5 cm sudah banyak dieksplorasi sebagai sumber pangan lokal di Gorontalo, Pulau Sulawesi. Masyarakat membuatnya menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi, atau dimakan langsung dengan kelapa parut.
Spesies buah ini mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi. Bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Kandungan energi buah mangrove ini mencapai 371 kalori per 100 g, lebih tinggi dari beras yang punya kandungan 360 kalori per 100 g, dan jagung sebanyak 307 kalori per 100 g.
Selain itu, buah ini juga memiliki kadar air 73,75 persen, protein 1,128 persen, kadar lemak 1,246 persen, kadar abu 0,342 persen, HCN 6,8559 mg, Tannin 34,105 mg. Terakhir, pada jenis Sonneratiaspp yang ketika matang sudah bisa langsung di manfaatkan menjadi jus dan dodol.
Segala manfaat mangrove untuk pangan tak hanya belum dimanfaatkan maksimal. Di sisi lain, kondisi mangrove khususnya di Indonesia sedang terancam.
Baca juga: WWF Desak Pemerintah Awasi Mangrove
Kondisi Mangrove Indonesia
Selain menyimpan pangan alternatif, beberapa fungsi ekologis hutan mangrove yang sudah banyak dikenal antara lain mengendapkan lumpur di akar-akar pohon bakau sehingga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan. Intrusi laut merupakan peristiwa perembesan air laut ke tanah daratan yang dapat menyebabkan air tanah menjadi payau sehingga tidak baik untuk dikonsumsi.
Hutan mangrove juga berfungsi untuk mencegah erosi dan abrasi pantai, juga mempercepat penguraian limbah organik yang terbawa ke wilayah pantai dan mempercepat penguraian bahan kimia pencemar laut seperti minyak dan deterjen. Mangrove juga dijadikan tempat hidup dan sumber makanan bagi beberapa jenis satwa. Mangrove memperluas batas pantai karena buah vivipar yang terbawa air akan menetap di dasar dangkal, dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri.
Sayangnya, beragam manfaat tadi terancam tak lagi bisa dinikmati seiring kepunahan ekosistem mangrove. Tumbuhan mangrove selama ini diketahui tumbuh di 124 negara tropik dan subtropik, dengan total luas di dunia sekitar 15,2 juta hektare. Indonesia bersama dengan empat negara lainnya, yakni Australia, Brazil, Nigeria, dan Meksiko mewakili 48 persen dari total luas hutan mangrove dunia.
Baca juga: Rehabilitasi Hutan Mangrove
Berdasarkan data One Map Mangrove, luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,5 juta hektare terdiri dari 2,2 juta hektare dalam kawasan dan 1,3 juta hektare di luar kawasan. Jumlah ini setara dengan 23 persen ekosistem mangrove dunia. Ekosistem mangrove tersebut berada di 257 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sayangnya, sekitar 5-6 persen hutan mangrove Indonesia hilang atau rusak setiap tahunnya. Kerusakan tersebut pada akhirnya menyebabkan adanya perubahan lingkungan yang mendorong peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer dan berdampak terhadap perubahan iklim yang menjadi perhatian dunia.
Baca juga: Hutan Bakau di Indonesia Hadapi Ancaman
Direktur Konservasi Tanah dan Air, Muhammad Firman mengatakan, di lapangan banyak ditemukan habitat mangrove yang beralih fungsi untuk berbagai kepentingan seperti tambak, pemukiman, perkebunan, industri dan infrastruktur pantai atau pelabuhan seringkali mengorbankan keberadaan mangrove. Kondisi ini diperparah dengan pencemaran oleh limbah plastik, limbah rumah tangga dan tumpahan minyak.
“Tidak hanya pada kawasan hutan, illegal logging juga menjadi ancaman nyata eksistensi mangrove,” jelas Firman.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Suhendra