tirto.id - Pentingnya padi bisa dilihat dari berbagai kultur. Di Tiongkok, pria tambun berjanggut panjang bernama Confucius pernah bertitah serius: berilah semangkok nasi pada seorang, kamu cuma akan membuatnya kenyang sehari. Ajari orang itu cara menanam beras, dan kamu akan menyelamatkan hidupnya. Jepang punya Dewi Padi dan Kesuburan bernama Inari Ōkami, yang masih dipuja hingga sekarang.
Sedangkan di Nusantara, kita mengenal Dewi Sri sebagai Dewi Padi yang melambangkan kemakmuran dan kesuburan. Pada kisah Dewi Sri itu juga disebutkan bahwa dulu nasi adalah makanan para dewa, sebelum akhirnya diturunkan ke bumi. Dari kisah yang dituturkan turun temurun, Dewi Sri menitahkan tata cara merawat padi, yang disebut-sebut sebagai anak Dewi Sri.
"Sirami ladang padi secara teratur. Siangi tanaman liar di sekeliling padi. Pupuklah tanahnya. Panen dengan hati-hati, sehingga kamu tak membuang sebutir beras atau merusaknya. Biarkan burung ikut merasakan lezatnya padi. Jangan bunuh mereka, karena burung adalah hewan kecintaan para dewa. Jika kamu tak memperhatikan anjuranku, aku akan mengirimkan petaka alam untuk menghancurkan pekerjaanmu.”
Meski ada banyak varietas, semisal basmati di India yang bulirnya panjang dan teksturnya pera atau uruchimai di Jepang yang bulirnya pendek dan lengket sehingga cocok untuk jadi sushi atau nasi kepal, padi punya kesamaan: ia tumbuh di tempat yang subur dan banyak air.
Padi memang tanaman yang rakus air. Di tempat kering ia enggan tumbuh. Menurut catatan National Geographic, sekitar 1.350 miliar kubik air, alias 21 persen dari total cadangan air tawar di dunia, digunakan untuk mengairi padi. Untuk menghasilkan beras seberat 1 kilogram, dibutuhkan 3.400 liter air. Bayangkan berapa liter air yang dibutuhkan untuk memproduksi 75,36 juta ton beras, seperti yang dihasilkan Indonesia pada 2015 lalu.
Karena sifatnya yang rakus air ini, beras sebenarnya tak selalu cocok ditanam di Indonesia. Meski kata Koes Plus Indonesia adalah tempatnya kayu dilempar jadi tanaman, ada banyak daerah di Indonesia yang beriklim panas dan kering dan tak cocok untuk ditanami padi.
Dalam buku Anything That Moves, penulis kuliner Dana Goodyear mengatakan bahwa kuliner suatu daerah nyaris selalu beririsan dengan iklim dan juga kondisi lingkungan setempat. Begitu pula dengan Indonesia.
Sebelum Soeharto menggerakkan revolusi hijau di Indonesia, beras bukanlah makanan pokok nasional, bahkan di Jawa yang dikenal sebagai lumbung padi sekalipun. Di daerah Gunungkidul, suatu daerah di Yogyakarta yang dikenal gersang, para penduduknya biasa mengonsumsi ketela dan produk turunannya. Antara lain tiwul, yang terbuat dari tepung gaplek (ketela yang dikeringkan). Ketela adalah tanaman yang tangguh dan tak perlu banyak air untuk tumbuh. Tanaman rambat ini justru akan bagus kalau ditanam di daerah kering.
Di Pulau Madura, Jawa Timur, penduduknya dulu memakan jagung sebagai makanan pokok. Kontur tanah yang keras dan sulit air, membuat penduduk Madura menanam jagung yang memang bukan tanaman manja dan butuh banyak air. Ketika padi masuk Madura pun, para warga Madura tetap mencampurnya dengan jagung. Sehingga dikenal sebagai naseh jegung, alias nasi jagung.
Sagu juga dikonsumsi oleh warga pesisir Papua dan Maluku, jauh sebelum padi ditanam di sana. Menurut Prof. Nadirman Haska, peneliti sagu di Indonesia, warga Nusantara dulu mengonsumsi sagu sebagai makanan pokok. Menurutnya, ada relief Borobudur yang menggambarkan tentang makanan sumber kehidupan. Ada kelapa, lontar, aren, dan juga sagu.
"Sagu itu makanan asli Indonesia, terpahat jelas di Candi Borobudur. Saat kerajaan Hindu masuk, orang India bawa beras ke sini," ujar Nadirman.
Dampak Revolusi Hijau
"Teknologi baru dan perkembangan agrikultur kerap menjadi bahan revolusi. Bukan Revolusi Merah yang banyak mengandung kekerasan, bukan pula Revolusi Putih seperti di Iran. Aku menyebutnya Revolusi Hijau."
William Gaud, mantan direktur USAID, mengatakan hal itu pada 1968. Gaud adalah pencetus istilah Revolusi Hijau. Yang kemudian dikembangkan oleh Norman Borlaug, lelaki yang dijuluki sebagai Bapak Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau membawa banyak perubahan drastis di negara-negara agraris. Revolusi ini mendorong peningkatan hasil panen dengan cara mengadaptasi perkembangan teknologi. Termasuk penggunaan pupuk kimia dan pestisida. Hasilnya memang sekilas tampak baik. Hasil panen meningkat, dianggap bisa menyelesaikan krisis pangan.
Indonesia pun turut mengaplikasikan pendekatan yang sama. Setelah Soekarno lengser dan Soeharto mengawali era Orde Baru, dia mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun I (1968-1973). Titik beratnya ada pada perbaikan keamanan pangan. Dengan cara menerapkan revolusi hijau: modernisasi alat pertanian, pembangunan waduk dan perbaikan saluran irigasi, juga pemakaian pestisida dan pupuk kimia dalam jumlah banyak. Hasilnya, Indonesia sempat swasembada beras pada 1984. Jika pada 1969 produksi beras Indonesia adalah 12,2 juta ton beras, maka pada 1984 produksi beras Indonesia bisa mencapai 25,4 juta ton.
Tapi tentu saja tak ada kebaikan tanpa keburukan.
Revolusi hijau membuat tanah menjadi rusak. Bahan kimia juga membunuh banyak organisme alami. Yang paling terasa dampaknya di Indonesia hingga sekarang adalah ketergantungan terhadap beras. Nasi kini menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia. Bahkan di daerah yang dulunya tak mengenal beras.
Di Papua, kini orang terpaksa makan beras. Padahal di tanah yang kaya dan subur itu, mereka biasa makan sagu yang tumbuh liar dan alami, serta bisa dipanen kapan saja. Begitu pula di Maluku, Madura, juga Gunung Kidul. Akibatnya adalah ketergantungan terhadap beras dan nasi.
"Kita terlalu tergantung pada beras," ujar Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Pertanian di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Indonesia disebut-sebut sebagai negara yang mengonsumsi beras per kapita terbesar di dunia. Setiap orang Indonesia mengonsumsi sekitar 140 kilogram beras per tahun. Karena produksi beras kurang untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, semua berakhir dengan impor. Menurut Rice Market Outlook yang diterbitkan oleh Kementrian Pertanian Amerika Serikat, Indonesia diprediksi masih akan mengimpor beras hingga 2 juta ton pada 2016.
Pada masa pemerintahan SBY, Ani Yudhoyono sang ibu negara pernah mengampanyekan "Satu Hari Tanpa Nasi". Tentu saja kampanye itu berakhir sebagai seremonial belaka. Lagipula perlu dilakukan lebih dari sekadar gimmick macam itu untuk mengatasi ketergantungan akut negara ini terhadap beras.
Diversifikasi Adalah Kunci
Langkah Presiden Jokowi untuk mengatasi kekurangan produksi beras ini adalah dengan membuka lahan pertanian baru, termasuk di Papua.
"Saya sudah mendapat laporan dari Bupati Merauke, Romanus Mbaraka jika terdapat kurang lebih 4,6 juta lahan datar yang sangat cocok untuk pembukaan sawah sekaligus ditanami padi. Namun, kita akan memulai secara bertahap dengan membuka 1,2 juta hektar terlebih dahulu," ujar Jokowi.
Sayangnya, langkah ini malah sebenarnya tidak tepat. Di Papua, banyak lahan yang merupakan tanah ulayat, alias tanah adat. Tanah ulayat itu adalah pemberi kehidupan bagi suku-suku tradisional. Merusak tanah ulayat sama dengan merusak kehidupan masyarakat lokal. Akan sangat besar kemungkinan konflik sosial. Selain itu, kontur Papua yang banyak rawa, kurang cocok untuk ditanami padi.
Langkah Jokowi ini juga malah akan memperpanjang ketergantungan orang Indonesia terhadap beras. Dengan membuka lahan baru untuk ditanami padi, itu artinya Presiden menganggap hanya beras yang bisa dikonsumsi sebagai pengasup karbohidrat. Padahal ada banyak sumber pangan lain yang lebih potensial dikembangkan.
Saat ini yang paling berpotensi untuk menjadi alternatif makanan pokok di Indonesia adalah sagu. Di Indonesia, ada sekitar 1,4 juta hektare lahan sagu. Sekitar 1,2 juta hektare ada di Papua. Di sana pula, sekitar 8 juta toh pohon sagu terbuang karena tidak dipanen.
"Jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan kabohidrat untuk 80 juta orang tiap tahun," kata Nadirman yang bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Selain sagu, bahan makanan seperti singkong, ketela, juga jagung, yang dulu pernah menjadi makanan pokok, juga harus dikembangkan lebih lanjut. Tanaman-tanaman itu juga lebih cocok dikembangkan untuk daerah yang kering dan kurang air.
Di tengah hiruk pikuk impor beras, sudah banyak ahli pangan yang mengatakan bahwa beras saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Maka benar adanya: Diversifikasi pangan adalah kunci.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti