tirto.id - Nasi adalah obsesi. Makan terasa tidak kenyang tanpa nasi. Sudah turun temurun obsesi ini tertanam. Ada ikatan sejarah yang kuat antara nasi dengan masyarakat Indonesia. Padahal, konsumsi nasi yang berlebihan juga memunculkan beragam risiko.
Cikal bakal nasi yakni padi memiliki sejarah yang cukup panjang dan luas. Padi sebagai tanaman pangan bermula dari Cina, menyebar ke Sri Lanka dan India, lantas ke Mesir dan peradaban Mediterania, hingga kemudian menyebar ke Eropa dan Afrika.
Padi merupakan kebudayaan integral dari banyak cerita rakyat. Kepercayaan di Myanmar, kaum Kachin dikirim dari dalam bumi dengan membawa benih-benih padi. Mereka akan datang membawa sebuah negara menjadi peradaban yang makmur. Di Bali, Wisnu membuat bumi melahirkan bibit padi dan Indra mengajarkan manusia bagaimana cara membudidayakannya. Di Cina, bibit padi merupakan berkah dari dewa-dewa. Setelah manusia selamat dari banjir bandang, seekor anjing membawa benih padi di ekornya. Mereka lantas menanam padi untuk kemudian menjadi penyelamat kelaparan.
Di Indonesia, padi bukan sekadar makanan, ia komoditas politik dan identitas kultural. Ada anggapan bahwa pemerintah dianggap berhasil apabila mampu melakukan swasembada beras, meski harus mengorbankan hutan untuk membuat persawahan baru seperti di Papua. Bagi petani, padi adalah identitas kultural, ladang hidup, dan satu-satunya hal yang memberi mereka makan. Tapi mengapa kita terobsesi dengan padi?
Banyak orang Indonesia yang menganggap belum benar-benar makan apabila mengkonsumsi nasi. Angka konsumsi kita yang sangat tinggi terhadap nasi mempengaruhi pola produksinya, kadang produksi dalam negeri tidak mencukupi sehingga harus melakukan impor. Politik pangan terjadi ketika kebutuhan konsumsi kita defisit, saat pemerintah melakukan impor mereka akan dikritik, tapi jika tidak melakukan impor konsumsi kita akan defisit. Ini tentu saja tidak sehat bagi negara kita.
Obsesi tidak sehat terhadap beras ternyata sejalan dengan potensi penyakit yang dapat terjadi apabila kita mengkonsumsi nasi berlebihan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Harvard diketahui bahwa konsumsi nasi yang tidak terkendali dapat meningkatkan risiko diabetes tipe 2. Dalam riset yang dilakukan di empat negara, Cina, Jepang, Amerika Serikat dan Australia diketahui bahwa mereka yang makan banyak nasi memiliki 11 persen risiko lebih tinggi mengalami diabetes tipe dua ketimbang yang tidak.
Riset yang diikuti pleh 352.384 partisipan ini dilakukan terhadap mereka yang berusia 4 sampai 22 tahun. Penelitian mencakup makanan, pola makan, dan aktivitasnya. Setiap partisipan yang ikut penelitian ini didiagnosis bebas diabetes saat riset dimulai. Dalam penelitian itu masih belum dapat menyimpulkan apa penyebab naiknya potensi diabetes pada pemakan nasi, tetapi salah satu peneliti menyebutkan bahwa nasi memiliki kandungan tinggi glycemic index (GI), yang punya dampak terhadap kandungan gula dalam darah. Tingginya kandungan GI dapat berimbas pada peningkatan risiko seseorang untuk mengidap diabetes.
Qi Sun, profesor dari Harvard School of Public Health, menyebut bahwa beras putih memiliki kandungan serat dan magnesium yang rendah. Mereka yang mengkonsumsi beras secara berlebihan kekurangan maanfaat dari nutrisi penting ini. Qi Sun menyebut banyak orang Asia yang mengkonsumsi beras putih akan berpotensi memiliki diabetes jika tidak hati-hati. Berbeda dengan beras putih, beras merah dipercaya memiliki kandungan serat dan magnesium yang tinggi.
Sebagai pertimbangan anda bisa mengganti beras dengan makanan pokok lain seperti ubi atau singkong. Untuk 100 gram singkong mengandung 160 kalori dan o,28 gram lemak, sementara untuk ubi mengandung 86 kalori dan 0,05 gram lemak. Kandungan makanan pokok anda dapat disesuaikan dengan diet/pola makan yang anda inginkan, jika ingin mengurangi konsumsi gula dan menambah kandungan serat maka dapat dipilih beras merah sebagai alternatif.
Menariknya dalam riset tersebut peneliti Harvard menyebutkan, konsumsi beras putih berlebih bukan satu-satunya penyebab diabets. Tapi pola hidup dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Mereka yang jarang olah raga, jarang bergerak, stres, dan depresi memiliki kemungkinan tinggi untuk mengidap diabetes. Hal ini juga diperkuat oleh Dr. David Katz, profesor tamu kesehatan masyarakat di Yale University.
Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik. Demikian pula konsumsi nasi. Konsumsi nasi yang berlebihan, tidak diimbangi oleh olahraga dan makanan sehat lainnya tentu akan berakibat buruk. Yang lebih baik adalah menyeimbangkan semuanya sesuai takaran dan kebutuhan tubuh manusia.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti