Menuju konten utama

"Di Pulau Haruku, Sagu Mulai Dikesampingkan"

Indonesia identik dengan makan nasi. Padahal, tidak semua penduduk Indonesia makanan pokoknya adalah nasi. Ada sagu, jagung, ubi, dll. Bagaimana perjalanan makanan pokok nusantara itu. Ikuti penuturan dari Rahung Nasution.

Rahung Nasution. foto/doc. pribadi

tirto.id - Adalah pekerjaan sukar untuk memberikan satu label pada Rahung Nasution. Dia dikenal sebagai seorang pembuat film. Karya terbarunya adalah film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Mata Beta. Namun, dia tidak melulu dikenal sebagai pembuat film. Dia bisa pula disebut sebagai pejalan, juru masak (walau dia menolak disebut tukang masak, kemudian menyebut diri sendiri sebagai Koki Gadungan), dan tentu saja sah disebut sebagai antropolog kuliner. Pengetahuannya tentang sejarah makanan Nusantara lumayan mendalam.

Di blog KokiGadungan miliknya, pria Batak Mandailing ini dia banyak berkisah makanan, sejarah masakan, bumbu dapur, resep, hingga kenangan seorang petualang pada masakan kampung halaman.

Untuk laporan tentang ketergantungan masyarakat Indonesia pada beras ini, saya mewawancarai Rahung melalui surel. Meski belum pernah berbincang langsung, saya langsung menduga kalau Rahung adalah orang yang sangat hangat dan bersemangat jika bercakap tentang makanan. Saya ingin mencari tahu pengalaman Rahung menjelajah Nusantara, apa yang dia temui soal makanan pokok, juga seperti apa perubahan yang terjadi dalam khazanah boga Nusantara karena beras.

Pada masa kecil dulu, apa Bang Rahung ingat beberapa makanan pokok lain selain nasi?

Seperti umumnya penduduk Sumatera Utara, khususnya Tano Batak, dari zaman leluhur kami, beras telah menjadi makanan pokok utama. Setiap hari kami mengonsumsi beras. Pisang, talas, jagung dan umbi-umbian lainnya, biasanya hanya menjadi makanan pendamping. Hal ini disebabkan peradaban suku Batak yang telah mengenal sistem irigasi dan budaya Batak merupakan budaya agraris seperti Jawa dan Bali yang dipengaruhi oleh peradaban Hindu. Hal ini terbukti lewat kalender Batak yang merupakan kalender pertanian, dimulai dengan bulan pertama (Sipahasda) yang merupakan musim bercocok tanam dan berpuncak pada bulan ke lima (Sipahalima), musim panen yang dirayakan dengan musim ritual panen.

Ketika menjadi Koki Gadungan dan keliling Indonesia untuk mendokumentasikan soal kuliner Indonesia, apa saja makanan pokok non beras yang Bang Rahung temui? Diolah jadi apa saja?

Di pulau Sumatera dan kepulauan sekitar, selain beras ada ketela, pisang dan sagu (misalnya di kepulauan Riau, Riau daratan, dan Mentawai. Di palau Jawa, ketela dan umbi-umbian (talas-talasan, ubi jalar, ketela, gadung juga menjadi sumber pangan sebagian masyakatnya. Di Indonesia Timur, khususnya kepulauan Maluku, pisang, sagu, sukun dan beras lokal menjadi makanan pokok. Di NTT dan NTB, jagung dan kacang-kacangan di beberapa wilayah juga tersedia beras. Di Papua pesisir tergantung pada sagu dan umbi, sementara yang di pegunungan tergantung pada umbi-umbian. Konon di Indonesia, terdapat puluhan jenis umbi-umbian dan di Papua yang paling banyak.

Pernah tidak melihat makanan pokok non beras di suatu daerah yang benar-benar ditinggalkan masyarakat, tergantikan oleh beras?

Di pulau Haruku [Maluku Tengah], makanan pokoknya adalah sagu dan umbi-umbian, kini beras menjadi primadona, sementara sagu mulai dikesampingkan biarpun memang belum benar-benar ditinggalkan.

Secara antropologi kuliner, menurut Bang Rahung apa benar perkiraan banyak ahli sejarah kalau beras masuk ke Nusantara ketika masuk peradaban Hindu?

Kalau melihat budaya agraris di Sumatera, Jawa, Bali, Sulawesi dan sebagian komunitas Dayak di Kalimantan, saya kira demikian adanya. Kepercayaan yang dianut masyarakat lokal erat kaitannya dengan peradaban Hindu yang berkembang di Nusantara. Begitu juga dengan berbagai mitologi asal-usul mereka (Seperti Batak, Dayak, Toraja, Bali dan Jawa) yang sangat erat kaitannya dengan mitlogi padi dan akar peradaban Hindu.

Menurut Bang Rahung, langkap apa yang paling cepat untuk melakukan diversifikasi pangan?

Ilmu pengetahuan—tehnik pengolahan makanan—, budidaya sumber-sumber karbohidrat berkualitas seperti aneka umbi-umbian dan sukun yang mudah dibudayakan dan tidak membutuhkan lahan yang luas dan tidak boros air. Intinya pendidikan mesti bisa menjawab persoalan ini. Negeri ini punya banyak sumber pangan dan bisa dikembangkan melalui fakutas-fakultas pertanian dan sekolah-sekolah kuliner.

Bang Rahung tergabung dalam ACMI (Aku Cinta Masakan Indonesia). Apakah organisasi ini juga mengampanyekan diversifikasi pangan non beras? Seperti apa wujudnya?

ACMI bukan sebuah organisasi dengan program yang ketat dan sistematis. ACMI merupakan tempat berkumpulnya kawan-kawan yang memiliki kegelisahan yang sama, dan mempunyai kecintaan yang sama terhadap berbagai masakan Indonesia. Jadi kita tidak punya program khusus untuk mengkampanyekan diversifikasi pangan. Saya kira itu pekerjaan besar yang mesti melibatkan kebijakan pemerintah, pakar, universitas dan lembaga-lembaga penelitian.

Kalau menurut perkiraan Bang Rahung, berapa lama yang diperlukan sampai masyarakat kita bisa melepaskan diri dari ketergantungan terhadap beras? Setidaknya di masyarakat yang dulu memang tak mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok.

Selagi mentalitas bahwa makan beras itu merupakan “kemajuan” dan merupakan “kebiasaan orang modern” yang belum tanggal dari ingatan masyarakat kita yang telah terjerumus akibat dari Revolusi Hijau yang salah kaprah, maka ketergantungan pada beras akan tetap berlanjut. Saya tidak tahu ini sampai kapan. Di negara-negara yang pertama sekali mengenalkan berbagai produk bibit-bibit rekayasa genetika sudah mulai dilarang dan diperketat penggunaannya, sementara kita di Indonesia masih bicara soal omong kosong swasembada pangan melalui sistem pertanian budidaya beras GMO dan rencana pembukaan-pembukaan lahan untuk irigasi dan sawah.

Di sisi lain, sering dibilang kalau banyak varian beras lokal kita sudah punah. Benarkah demikian? Apakah kita punya beras lokal yang punya citarasa dan tekstur khas, seperti basmati di India atau nasi sushi dari Jepang?

Kalau punah sih belum. Tapi menuju kepunahan iya. Komunitas Dayak Iban di Kapuas Hulu masih membudidayakan 7 varietas lebih padi lokal mereka, begitu juga dengan Kasepuhan-kasepuhan di Banten Kidul. Tapi melalui sistem pertanian Revolusi Hijau mendorong ke arah kepunahan tersebut. Hal ini diperparah, selain cara tradisional yang masih dipraktekkan sebagian kecil masyarakat kita, lewat lumbung dan penyimpanan benih. Negeri sebesar Indonesia, setahu saya tidak memiliki Bank Benih yang mengumpulkan berbagai varietas padi lokalnya dan program budidayanya. Atau saya salah? Apakah kita punya jenis beras khusus seperti Jepang dan India, pasti punya. Di kampung saya, salah satu contohnya varietas beras Si Gudang, ini nyaris punah. Dan ada puluhan jenis lainnya.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Mild report
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti