tirto.id - Kekhawatiran para petani garam soal rencana kebijakan impor sebagai solusi mengatasi krisis garam yang terjadi belakangan ini akhirnya terbukti. Kementerian Perdagangan (Kemendag) siap membuka kembali keran impor garam konsumsi sebanyak 75 ribu ton.
Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita mengatakan kesiapan tersebut menyusul pertemuan yang telah dilakukan antara pihak Kemendag dengan Bareskrim, Direktur Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta Direktur Jenderal Departemen Luar Negeri.
“Kami siap, rekomendasi untuk impor garam konsumsi kepada PT Garam sebesar 75 ribu ton. Supaya tidak ada sesuatu, maka Direksi PT Garam kita undang, Anda impor dan agar hati-hati. Ini aturannya, sehingga tidak ada kekhawatiran nanti impor ada sesuatu lagi,” kata Enggartiasto, di kantornya pada Senin (31/7/2017).
Baca juga:Korupsi dan Sengkarut Pengelolaan Garam
Mendag mengungkapkan penunjukan PT Garam sebagai importir merupakan kewenangan KKP selaku pihak yang mengeluarkan rekomendasi impor garam. “Karena menteri teknis tentu lebih tahu dan lebih paham, ada keseimbangan dari produksi dalam negeri dan kemudian kalau terjadi kekurangan, maka diperlukan izin impor itu,” katanya.
Kendati pihaknya telah menentukan total garam konsumsi yang dibutuhkan dari impor, akan tetapi kementeriannya tidak bisa memastikan total impor garam untuk industri. “Sesuai permintaan dan kebutuhan industrinya,” ujarnya.
Pihaknya telah mendapat restu untuk impor garam dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam rapat koordinasi, kata dia, Jusuf Kalla telah menyampaikan agar segera dikeluarkan izin impor garam untuk konsumsi guna mengatasi kelangkaan yang terjadi belakangan ini.
Baca juga: Efek Domino Krisis Garam
“Dengan surat itu, maka kewenangan untuk rekomendasi telah dialihkan kepada Menteri Perdagangan. Sambil menunggu KKP menuntaskan peraturan menterinya, yang antara lain menyatakan bahwa rekomendasi itu diserahkan kepada Kemendag untuk impor garam industri,” kata Mendag menambahkan.
Menurut Enggartiasto teknis pemberian izin impor garam ini mengacu pada UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Selain itu, aturan impor ini mengacu pada Permendag No. 125 tahun 2015 ketentuan impor garam.
“Saat hanya ada Permendag, Kemendag bisa memberikan izin langsung untuk impor garam (industri), kecuali garam konsumsi. Tetapi setelah ada UU [No. 7 tahun 2016], maka izin pergaraman (impor semua jenis garam) itu harus mendapat rekomendasi dari Menteri KKP,” ujarnya menjelaskan.
Ia tidak mengelak bahwa dalam Permendag No. 125 tahun 2015 ada perbedaan jenis antara garam konsumsi dengan garam industri yang berpotensi menimbulkan perdebatan. Kemendag dan KKP bersama-sama akan menyiapkan ketentuan bahwa jenis garamnya minimum 94 NaCL (Natrium Klorida).
Sementara itu, saat disinggung perihal selisih perbandingan harga antara garam impor dengan yang hasil dari petani garam lokal, Enggartiasto enggan berkomentar. Mendag menilai menteri teknis terkait lebih memiliki kewenangan untuk menjawab, dalam hal ini kementerian kelautan dan perikanan.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sudah memberikan lampu hijau untuk kembali memberikan rekomendasi impor garam. Ia mengatakan, selama masa panen belum ada, pihaknya akan meminta perusahaan pelat merah tersebut untuk melakukan impor lagi.
“Intinya kita bikin aturan kan untuk bantu petani. Jadi mengatur masa impor. Kalau (garam) industri itu urusan Kemendag. Kita mengatur yang (garam) konsumsi,” ujarnya, di Jakarta, pada 27 Juli lalu.
Baca juga: Pro Kontra Impor di Tengah Krisis Garam
Keputusan pemerintah kembali membuka keran impor ini mendapat kritik dari sejumlah pihak, salah satunya dari Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan. Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim kepada Tirto mengatakan bahwa situasi gagal panen garam pada 2016 ini memang menjadi celah importir garam untuk mendesak pemerintah membuka keran impor.
Ia menegaskan impor garam sejatinya merupakan kebijakan "bunuh diri". “Terlebih pada akhir Juli - September 2017, panen garam rakyat akan dimulai. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membuka keran impor baru setelah mendatangkan 70.000 ton garam impor dari India dan Australia pada awal 2017 yang menyebabkan tertangkapnya direktur PT Garam,” ujarnya.
Apalagi berdasarkan data Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juli 2017) sejak 2010-2016 kebutuhan garam nasional sebanyak 80 persen dipasok dari impor. Misalnya, pada 2010 kebutuhan garam nasional untuk konsumsi dan industri dipatok 3,5 juta ton, sementara produksi nasional hanya sekitar 1.621.338 ton sehingga 2.080.000 ton sisanya dipasok dari impor.
Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai contoh, kata Halim, pada 2014 kebutuhan garam nasional dipatok sekitar 3.611.990 ton, sementara produksi dalam negeri hanya sekitar 2.190.000 ton, sehingga kekurangannya ditutup dengan impor sebanyak 1.950.000 ton.
Karena itu, ia berharap pemerintah memikirkan solusi jangka panjang soal kelangkaan garam ini. Salah satunya dengan cara memperbaiki sarana dan prasarana di tambak garam. Selain itu, penggunaan teknologi guna meningkatkan produktivitas tambak garam rakyat, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, misalnya penerapan teknologi prisma dan teknologi ulir filter (TUF) geomembran.
Baca juga:
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati Romica. Menurut dia, impor bukan solusi yang baik untuk mengatasi kelangkaan garam. Seharusnya pemerintah perlu mencari akar persoalannya.Menurut dia, masalah utama yang terjadi saat ini di industri garam nasional, terutama petambak rakyat tidak terbangunnya basis data informasi prakiraan cuaca yang akurat. “Jika permasalahan dasarnya tidak cepat diselesaikan [data prediksi cuaca], maka yang dirugikan adalah para petambak garam. Mereka akan terus terpuruk jika kemarau basah terus berkepanjangan,” ujarnya.
Dia mencatat, berdasar informasi Pusat Data dan Informasi Kiara, dalam lima tahun terakhir jumlah petani tambak garam di Indonesia menurun drastis, yakni dari 30.668 jiwa pada tahun 2012 menjadi 21.050 jiwa di 2016. Susan menuding kebijakan impor garam berimplikasi besar terhadap penurunan jumlah petani garam di Indonesia selama ini.
Dalam hal ini, pemerintah perlu melihat berbagai aspek agar kebijakan impor garam tidak menimbulkan masalah lain, alih-alih mendukung program swasembada garam yang ditarget pemerintah tahun ini. Artinya, selain berpikir jangka pendek agar kelangkaan garam yang terjadi saat ini dapat diatasi, perlu juga memperbaiki tata kelola garam, termasuk melindungi para petani garam. Saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, impor garam jadi solusi instan mengatasi krisis garam.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Suhendra