Menuju konten utama

Yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Krisis Garam

Apa yang terjadi sehingga harga garam melonjak cukup drastis?

Yang Diuntungkan dan Dirugikan dari Krisis Garam
Petani mengangkut garam yang telah diproses di kawasan Panggungrejo, Pasuruan, Jawa Timur, Rabu (19/7). ANTARA FOTO/Umarul Faruq

tirto.id - Di sejumlah daerah sejak sebulan terakhir mengalami kelangkaan stok garam, sehingga harganya melambung tinggi. Misalnya, pada Selasa pagi (25/7/2017) di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat harga garam dapur yang semula hanya Rp2.000 naik menjadi Rp5.000 per bungkus.

Seorang pedagang di Pasar Gondangdia, Ningsih (45) mengatakan, selain harga garam yang melonjak, pasokan dari produsen juga kosong. Bahkan sudah sebulan produsen garam tidak mengirim stok garam.

Pedagang lain, Aceng (40) menuturkan, awal dari kelangkaan garam ini terjadi di Jawa Timur dan Madura yang selama ini menjadi pemasok garam terbesar. Kekosongan dari pemasok ini berimbas terhadap kelangkaan garam dan melonjaknya harga secara nasional.

“Kalau bulan lalu, satu bungkus kotak besar bisa Rp30.000 sekarang mencapai RP50.000,” kata Aceng, seperti dikutip Antara.

Kelangkaan ini tidak hanya terjadi pada garam dapur, melainkan juga berimbas pada garam kasar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan ikan asin. Ketersediaan garam yang mulai menghilang di pasaran membuat sebagian perajin ikan asin di Maluku, misalnya, berubah haluan memproduksi ikan asap.

Baca: Stok Garam Langka Buat Masyarakat Beralih ke Ikan Asap

Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kepalutan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti mengatakan bahwa kelangkaan tersebut murni terjadi karena anomali cuaca yang membuat petani gagal memanen garam di sejumlah daerah.

“Kelangkaan berkaitan dengan supply and demand, yang artinya supply tidak sesuai dengan jumlah permintaannya,” ujar Brahmantya saat dihubungi Tirto via telepon pada Rabu (26/7/2017).

Selain itu, kelangkaan garam yang terjadi di sejumlah daerah ini juga tidak lepas dari produksi garam nasional 2016 yang meleset dari target. Misalnya, selama 2016 produksi garam hanya sekitar 144 ribu ton atau 4 persen saja dari target 3 juta ton.

Baca: Produksi Garam Nasional 2016 Merosot Tajam Akibat La Nina

Hal yang sama juga diungkapkan Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras), Hasan Basri. Ia mengatakan, kelangkaan garam yang terjadi saat ini tidak lepas dari tidak menentunya cuaca sepanjang 2016. Akibatnya, target produksi garam nasional tidak tercapai.

Ia mencontohkan, para petani garam yang bernaung di bawah Perras dalam semusim biasanya menghasilkan garam sekitar 100 hingga 125 ton per musim. Namun, untuk 2016 kemarin, hanya menghasilkan sekitar 30 ton saja.

“Petani [garam] sudah berusaha semaksimal mungkin, namun cuaca tidak mendukung sehingga gagal panen,” ujarnya saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (26/7/2017).

Petani Garam Diuntungkan

Kelangkaan garam secara nasional ini tentu menjadi berkah tersendiri bagi para petani garam. Menurut Hasan, akibat stok garam yang sulit tersebut membuat para petani garam bisa menjual hasil panennya dengan harga yang cukup tinggi.

Selama ini, kata Hasan, harga jual garam dengan kualitas KW 1 yang didapat petani hanya sekitar Rp750.000/ton atau hanya kisaran Rp750 per kilogram. Saat ini, lanjut Hasan, para petani garam bisa menjualnya hingga Rp3.500.000/ton atau Rp3.500 per kilogram.

Karena itu, menurut Hasan, meskipun cuaca saat ini masih belum menentu, para petani garam sudah mulai memproduksinya. “Untuk jangka pendek ini tentu menguntungkan, walaupun harus dipikirkan juga dampaknya,” ujarnya.

Petani garam di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah juga menikmati harga jual garam yang mahal tersebut. Sukib, salah satu petani garam asal Desa Surodadi, Kecamatan Kedung, Jepara, mengatakan sejak Mei 2017 para petani mulai memproduksi garam, meskipun cuacanya kurang mendukung karena masih sering turun hujan.

Musim produksi garam biasanya dimulai Juli, Agustus, September dan Oktober. Namun karena tingginya harga jual garam mendorong sejumlah petani memulai lebih awal. Menurut Sukib, harga jual garam saat ini berbeda jauh dengan harga sebelumnya. Saat ini harga jual bisa mencapai Rp3.000 per kilogramnya, padahal sebelumnya hanya kisaran Rp300 hingga Rp400 saja.

Namun sebaliknya, harga garam yang cukup tinggi dan stok yang terbatas tidak menguntungkan bagi para konsumen dan usaha yang mengandalkan garam sebagai bahan bakunya, seperti pembuatan ikan asin. Bahkan, salah satu perusahaan pengolahan garam konsumsi di Provinsi Bengkulu, yaitu CV Abadi terpaksa merumahkan sejumlah karyawan mereka akibat krisis pasokan bahan baku.

Kepala Karyawan dan Gudang CV Abadi, Indra menyebutkan mereka merumahkan karyawan sampai distribusi pasokan bahan baku kembali normal.

“Kami tidak memecat, karena tidak ada yang diproduksi, jadi mau tidak mau harus dirumahkan. Ada belasan, utamanya ibu-ibu yang bekerja di bagian pengemasan,” ujarnya, seperti dikutip Antara, Rabu (26/7/2017).

Kran Impor Tetap Dikendalikan?

Menyikapi kelangkaan garam tersebut, Brahmantya menyebutkan bahwa pihaknya sedang menerjunkan tim ke lapangan. “Pastinya tim akan melihat berapa banyak bahan baku garam konsumsi yang dibutuhkan. Karena stakeholder kita petani garam, maka kami harus pastikan itu,” ujarnya.

Adapun hasil dari lapangan tersebut selanjutnya akan ditelaah untuk menjadi dasar penerbitan rekomendasi impor sebagai pemenuhan kebutuhan bahan baku garam konsumsi. “Hasilnya ditargetkan dapat segera diketahui. Karena di satu sisi untuk pemenuhan garam konsumsi, sementara pada level tertentu juga dapat membantu petani panen,” kata Brahmantya.

Insyaallah, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga akan melakukan review terhadap ketentuan impor garam [berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125 Tahun 2015),” tambah Brahmantya.

Namun demikian, Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras), Hasan Basri berharap pemerintah tidak mengambil jalan pintas dengan cara membuka kran impor seluas-luasnya dalam mengatasi kelangkaan garam ini.

Sebab, kata Hasan, sebelum terbitnya Permendag Nomor 125 tahun 2015 yang mengendalikan impor garam konsumsi, harga jual garam oleh petani garam sering anjlok. “Kalau impor tidak dikendalikan, harga garam petani bisa terjun bebas,” kata dia.

Baca: Korupsi dan Sengkarut Pengelolaan Garam

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti telah memastikan akan kembali memberikan rekomendasi impor garam kepada PT Garam (Persero). Kendati demikian, Susi meminta agar Kementerian Perdagangan mengubah kode Harmonized System (HS) antara garam konsumsi dan garam industri.

“Saya mau pastikan kode HS dan lainnya, supaya tidak ada Direktur Utama PT Garam yang masuk bui lagi. Kan tidak lucu,” kata Susi di Gedung Parlemen, Jakarta, pada Senin (24/7.2017) malam.

Selama ini, impor garam memang didasarkan pada Permendag Nomor 125 Tahun 2015. Dalam aturan tersebut, disebutkan garam konsumsi memiliki kadar Natrium Chlorida (NaCl) minimum 94,7 persen. Susi sendiri sempat mengklaim bahwa garam industri dan garam konsumsinya sebetulnya merupakan jenis yang sama.

Baca juga artikel terkait GARAM atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz & Damianus Andreas
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz