Menuju konten utama

Pro Kontra Impor di Tengah Krisis Garam

Kementerian Perdagangan didesak untuk impor menyikapi krisis garam yang terjadi.

Pro Kontra Impor di Tengah Krisis Garam
Petani panen perdana garam pada musim olah tahun ini di Desa Tanjung, Pademawu, Pamekasan, Jatim, rabu (5/7). ANTARA FOTO/Saiful Bahri

tirto.id - Kementerian Perdagangan (Kemendag) didesak membuka keran impor garam untuk mengatasi krisis garam yang terjadi dalam sebulan terakhir. Gubernur Jawa Timur Soekarwo salah satu yang menghendaki ada keputusan segera impor garam.

Pria yang sering dipanggil Pakde Karwo ini bahkan mengirim surat kepada Kemendag agar pemerintah melakukan impor garam untuk mengatasi persoalan tersebut.

“Solusinya impor sekarang dibuka karena selain langka, harganya juga naik drastis, yaitu sudah mencapai lima kali lipat dari harga normal, ini kan tidak masuk akal,” kata Soekarwo seperti dikutip Antara, Rabu (26/7/2017) malam.

Desakan impor juga disampaikan Ketua Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk. Menurutnya, kelangkaan garam ini disebabkan tidak seimbangnya tingkat permintaan dan ketersediaan akibat tertutupnya keran impor.

“Kami [para pengusaha] tidak ada supply. Untuk garam sendiri kan jenisnya ada dua, yakni jenis lokal dan impor. Buat yang impor, ada tiga variabel yang perlu diperhatikan, yaitu kualitasnya, kuantitas atau pasokannya, dan juga harga,” ujarnya pada Tirto, Rabu kemarin.

Ia mengeluhkan terhadap kebijakan pemerintah yang hanya memberikan izin bagi PT Garam (Persero) untuk melakukan impor. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 125 Tahun 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan memang hanya memberikan rekomendasi impor garam konsumsi kepada PT Garam (Persero).

“Jangan sampai dihambat impornya, karena hukum ekonomi menjadi tidak ada. Dalam rangka mengatasi masalah kelangkaan ini, kita perlu coba adanya jaminan pasokan bahan baku. Karena garam itu kebutuhan bahan baku,” katanya.

Baca juga:

Namun, adanya desakan kepada pemerintah agar segera membuka keran impor mendapat kritikan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim. Menurutnya, situasi gagal panen garam pada 2016 ini menjadi celah importir garam untuk mendesak pemerintah membuka keran impor.

Menurut Halim, luas pertambakan garam nasional produktif terus bertambah, dari 13.639 hektare menjadi 24.254 hektare, dan tersebar di 44 kabupaten/kota di Indonesia. Ia menegaskana impor garam sejatinya merupakan kebijakan bunuh diri.

“Terlebih pada akhir Juli-September 2017, panen garam rakyat akan dimulai. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membuka keran impor baru setelah mendatangkan 70.000 ton garam impor dari India dan Australia pada awal 2017 yang menyebabkan tertangkapnya direktur PT Garam,” ujar Halim kepada Tirto, Kamis (27/7/2017).

Berdasarkan data Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Juli 2017) sejak 2010-2016 kebutuhan garam nasional sebanyak 80 persen dipasok dari keran impor. Misalnya, pada 2010 kebutuhan garam nasional untuk konsumsi dan industri dipatok 3,5 juta ton, sementara produksi nasional hanya sekitar 1.621.338 ton sehingga 2.080.000 ton sisanya dipasok dari impor.

Hal yang sama juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai contoh, kata Halim, pada 2014 kebutuhan garam nasional dipatok sekitar 3.611.990 ton, sementara produksi dalam negeri hanya sekitar 2.190.000 ton, sehingga kekurangannya ditutup dengan impor sebanyak 1.950.000 ton.

Respons Pemerintah

Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita mengatakan selama ini Kemendag telah mengeluarkan izin impor garam untuk industri. Namun untuk garam konsumsi pihaknya masih menunggu rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

“[garam untuk] industri kami sudah keluarkan, karena itu kebutuhan. Jenis garamnya beda,” ujarnya usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2017, di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada Kamis (27/7/2017).

Artinya Kemendag baru akan mengeluarkan izin impor garam untuk konsumsi apabila sudah mendapatkan rekomendasi dari KKP. “Garam industri sama konsumsi NaCl-nya (Natrium Chlorida) beda,” kata dia.

Selama ini, impor garam memang didasarkan pada Permendag Nomor 125 Tahun 2015 yang mengatur garam konsumsi memiliki kadar NaCL minimum 94,7 persen. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sendiri sempat mengklaim bahwa garam industri dan garam konsumsinya sebetulnya merupakan jenis yang sama.

KKP telah memberikan lampu hijau untuk kembali membuka kran impor garam. Usai Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2017 di Jakarta, Susi mengatakan selama masa panen belum ada, pihaknya akan minta PT Garam untuk melakukan impor lagi. “Karena garam yang diimpor itu kan di-police line, nanti itu akan kami bicarakan,” kata Susi.

Susi menekankan pihaknya tetap akan memperhatikan nasib para petani garam saat pihaknya merekomendasikan impor garam. “Intinya kita bikin aturan kan untuk bantu petani. Jadi mengatur masa impor. Kalau industri itu urusan Kemendag. Kita mengatur yang konsumsi,” katanya.

Baca juga:

Sebelumnya, Ketua Paguyuban Petani Garam Rakyat Sumenep (Perras), Hasan Basri berharap pemerintah tidak mengambil jalan pintas dengan cara membuka kran impor seluas-luasnya dalam mengatasi kelangkaan garam ini. Menurut Hasan, sebelum terbitnya pemerintah mengendalikan impor garam, harga jual garam oleh petani garam sering anjlok.

“Kalau impor tidak dikendalikan, harga garam petani bisa terjun bebas,” ujarnya kepada Tirto.

Petani garam di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat juga mengaku khawatir bila pemerintah membuka keran impor garam untuk merespons kelangkaan garam dan kenaikan harga yang terjadi belakangan ini. “Kami mulai was-was nanti pemerintah malah impor,” kata salah satu petani garam, di Cirebon, Taslim, seperti dikutip Antara, 20 Juli lalu.

Penyebab Gagal Panen

Kelangkaan garam yang terjadi di sejumlah daerah ini tidak lepas dari produksi garam nasional 2016 yang meleset dari target. Misalnya, selama 2016 produksi garam nasional hanya 118.054 ton atau setara 3,7 persen dari target sebesar 3,2 juta ton. Pemerintah berdalih tidak tercapainya target tersebut karena faktor cuaca yang tidak mendukung karena musim hujan yang panjang.

“Penyebab dari itu betul, karena adanya anomali iklim sehingga petambak garam belum mulai panen, yang mengakibatkan kurangnya stok garam nasional,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP, Brahmantya Satyamurti saat dihubungi Tirto melalui sambungan telepon, Rabu.

Baca juga: Produksi Garam Nasional 2016 Merosot Tajam Akibat La Nina

Sementara itu, Abdul Halim tak yakin produksi garam nasional pada 2016 yang anjlok terkait faktor cuaca. Menurut mantan Sekjen Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) terdapat faktor lain yang menyebabkan target produksi garam nasional tidak tercapai.

Salah satunya adalah minimnya sarana dan prasarana di tambak garam. Selain itu, minimnya intervensi teknologi guna meningkatkan produktivitas tambak garam rakyat, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, misalnya penerapan teknologi prisma dan teknologi ulir filter (TUF) geomembran.

Menurut Halim, buruknya akses air bersih dan sanitasi di pertambakan garam juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi. Selain itu, besarnya peran tengkulak di dalam rantai distribusi dan pemasaran garam serta harga garam yang rendah selama ini menjadi penyebab lain yang mesti diperhitungkan.

Halim menegaskan penyebab utama anjloknya produksi garam nasional pada tahun lalu karena minimnya kehadiran pemerintah dalam memfasilitasi 3 juta petambak garam di Indonesia.

“Bukan melulu faktor cuaca yang sejatinya bisa diantisipasi jika pemerintah sungguh-sungguh membela kepentingan petambak garam nasional,” kata Halim.

Persoalan produksi garam ini memang penuh dilema, saat produksi petani berlebih harganya akan anjlok, petani garam pun dirugikan. Saat produksinya berkurang harganya melonjak yang membuat konsumen harus menanggungnya.

Baca juga artikel terkait GARAM atau tulisan lainnya

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Abdul Aziz & Damianus Andreas
Editor: Suhendra