tirto.id - “Mencari 300 kg alpukat saja per minggu untuk pasar Singapura, saya harus cari keliling-keliling,” kata Hasan Johnny Widjaja berkeluh kesah kepada tirto.id.
Hasan hanyalah satu contoh pengusaha eksportir buah yang mengalami sulitnya mencari buah lokal yang layak untuk pasar ekspor. Jangankan bicara soal kualitas dan standar, memenuhi kuantitas buah lokal yang kontinyu menjadi kemewahan bagi para eksportir buah. Persoalan kronis disebabkan sistem pengembangan buah lokal yang banyaknya dilakukan petani sebagai usaha sambilan dan subsisten, dengan hamparan lahan perkebunan yang sempit.
Keluhan Hasan ini tak muncul tiba-tiba. Ia curhat saat yang sama sedang berlangsung pameran Fruit Indonesia 2016 pekan lalu yang dibuka oleh Presiden Jokowi di Parkir Timur Senayan, 17-20 November 2016. Presiden Jokowi bukan tak tahu masalah klasik yang dihadapi dalam pengembangan buah lokal, seperti penyediaan bibit berkualitas, skala lahan, pascapanen, kualitas, kemasan, dan lainnya.
Jokowi pun sangat paham bagaimana petani buah harus memotong hasil panen yang baik, mensortir kualitas buah, dan mengangkut hingga mendistribusikannya. Sejak tahun lalu, ia meminta pemerintah daerah melaksanakan program penyediaan 5-50 hektar lahan per unit usaha buah lokal di masing-masing daerah. Ini semuanya untuk mencapai cita-cita Indonesia menjadi pemain eksportir buah utama di dunia.
“Sudah bukan zamannya lagi kita berpikir jualan buah-buahan dari kampung ke kampung atau dari pasar ke pasar, tetapi kita harus berpikir menjual dagangan buah kita ke negara tetangga dan ke negara-negara yang lain,” kata Presiden Jokowi, seperti dipacak di laman Setkab.
Jokowi juga meminta PT Perkebunan Nusantara (PTPN) menyiapkan lahan setidaknya 10 ribu hektar untuk pengembangan perkebunan buah. Kurang lebih serupa dengan upaya pemerintah sebelumnya yang melalui menteri BUMN telah mendorong pemanfaatan lahan-lahan milik BUMN-BUMN perkebunan untuk perkebunan buah komoditas ekspor. Gerakan-gerakan mengkonsumsi buah lokal juga sempat jadi seremoni rutin.
Beberapa BUMN seperti PTPN XII dan PTPN VIII sudah mengekspor pisang mas kirana sejak beberapa tahun lalu. Sebelum BUMN didorong mengembangkan kawasan perkebunan buah, beberapa dekade lalu, perusahaan swasta telah memulai pengembangan perkebunan buah berbasis industri dengan konsep hamparan perkebunan yang luas. PT Nusantara Tropical Farm (NTF) yang merupakan jaringan usaha Gunung Sewu Grup jadi contoh yang patut ditiru.
Mereka mengembangkan perkebunan pisang cavendish, nanas, jambu kristal melalui bendera Sunpride dan Sunfresh di lahan 3.700 hektar di Lampung. Konsep perkebunan buah dengan hamparan luas semacam ini masih bisa dihitung jari. Keberadaan perusahaaan seperti NTF membawa Indonesia masuk 20 besar negara produsen buah tingkat dunia melalui produk nenas pineapple juice concentrated dan pineapple candy yang mampu bersaing di pasar global.
“Kenapa tidak membuat 10.000 hektar atau 50.000 hektar khusus untuk buah? Ini yang baru kita kejar,” kata Presiden Jokowi.
Gagasan Presiden Jokowi memang beralasan. Data Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) ihwal luas panen buah-buahan di Indonesia menunjukkan dari 23 buah lokal yang dibudidayakan hanya ada lima jenis yang mengalami pertumbuhan luas panen dari periode 2014-2015. Buah-buah itu adalah alpukat, durian, rambutan, apel, dan manggis.
Buah yang disebut terakhir ini pertumbuhan luas panennya paling tinggi, mencapai 47 persen dari 15.600 hektar menjadi 22.377 hektar. Kenaikan ini ditengarai sebagai dampak tingginya penetrasi manggis di Australia dan Selandia Baru beberapa tahun terakhir.
Sementara itu, buah jeruk besar mengalami penurunan luas panen paling tajam. Penurunannya 39 persen, dari 5.600 hektar menjadi 3.400 hektar. Nasib serupa juga dialami anggur: turun 28 persen dari 219 hektar hanya jadi 157 hektar. Selebihnya ada buah salak, nanas, belimbing, dan lainnya.
Penurunan luas panen terhadap tanaman buah-buahan mengindikasikan beberapa faktor yang mempengaruhi, yakni iklim, tenaga kerja, dan harga jual komoditas yang dihasilkan petani. Tiga tahun lalu, BPS pernah merilis soal penurunan pekerja sektor pertanian lintas bidang. Pada 2013, tercatat hanya ada 26,14 juta rumah tangga (RT) petani, turun sebanyak 5,10 juta rumah tangga atau 16,32 persen dibandingkan 2003.
“Petani kita makin sedikit, kenapa ya? Kok petani pada hilang, kenapa ganti profesi? Kenapa nggak mau tanam buah? Buah-buahan itu tumbuhnya butuh 6 tahun, kalau sudah berbuah dan panen belum tentu laku, ditambah ada masuknya buah impor yang bikin rusak harga petani,” kata Hasan Johnny Widjaja yang juga Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia (AESBI).
Ucapan Hasan ada dasarnya. Data menunjukkan impor buah yang masuk ke Indonesia trennya naik terus meski pemerintah sudah berupaya membendung dengan restriksi perdagangan dengan sistem Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) atau buka tutup kran impor buah sejak 2013. Sayangnya kebijakan ini mendapat perlawanan di WTO dari negara-negara produsen buah dan hortikultura yang merasa dirugikan.
BPS mencatat impor buah pada 2010 masih $685 juta, kemudian pada 2014 mencapai $804 juta atau naik 17 persen. Ini karena volumenya juga mengalami kenaikan sekitar 3 persen dari 692.000 ton jadi 711.000 ton. Sementara itu, ekspor buah hanya mencapai $210 juta pada 2014 alias mengalami defisit perdagangan di sektor buah-buahan. Secara kinerja nilai dan volume, ekspor buah cenderung fluktuatif, bahkan masih jauh dari capaian terbaik pada 2012 yang sempat mencapai $244 juta. Pasar ekspor buah Indonesia paling dominan ke Singapura, Bangladesh, Pakistan dan lain-lain.
Nilai dan volume ekspor yang jauh lebih rendah dari impor ini menandakan banyaknya pekerjaan rumah pemerintah, meski memang tak semua buah impor yang masuk Indonesia bisa dihasilkan di dalam negeri. Faktanya, tak sedikit buah-buah impor yang masuk justru sudah bisa dihasilkan di dalam negeri seperti durian, apel, jeruk, buah naga, dan lain-lain.
"Walaupun volumenya relatif besar, total impor buah Indonesia dibandingkan dengan total volume produksi (lokal) 2013 (535.000 ton) masih dikategorikan relatif kecil, hanya sekitar 3,26 persen," kata Rektor IPB Herry Suhardiyanto seperti dikutip Antara.
Sang rektor menegaskan bahwa buah lokal jauh lebih unggul dari buah impor: buahnya ada sepanjang tahun, tumbuh silih berganti, rasanya lebih enak, dan beraneka ragam. Selain itu, margin bisnis buah lokal dianggap menjanjikan bila dikembangkan secara profesional. Tapi siapa yang mau menanam buah skala besar seperti PT. Nusantara Tropical Farm di Lampung?
Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayuran dan Buah-Buahan Indonesia (AESBI) Hasan Johnny Widjaja mencoba memberi solusi agar semangat buah lokal bisa berkembang tak hanya di level BUMN tapi juga swasta. Caranya dengan memberikan kemudahan pembiayaan kredit perbankan pada sektor perkebunan buah agar lebih fleksibel dalam pembayaran pokok utang dengan skema grace period yang pernah diterapkan pada Orde Baru saat mengembangkan kelapa sawit, yang masa panennya hingga 8 tahun. Skema ini bisa memberikan napas bagi investor dalam bisnis perkebunan buah yang berisiko tinggi.
“Tanam buah itu modalnya besar dan risiko yang tinggi. Satu bibit Rp5.000, harus nunggu 6 tahun, biaya yang dikeluarkan berapa banyak sebelum tumbuh besar, itu juga belum tentu berbuah, di situ risikonya,” kata Hasan.
Presiden Jokowi sendiri pernah berpesan bila ada regulasi maupun peraturan yang menghambat dalam pengembangan buah lokal, orang nomor satu di Indonesia ini meminta agar disampaikan kepada pemerintah. Misalnya masalah infrastruktur logistik yang harus dibangun, dan sebagainya. Jika janji itu direspons dan dilaksanakan, seharusnya industri buah lokal bisa segera lebih segar dibanding sekarang.
Penulis: Suhendra
Editor: Maulida Sri Handayani