Menuju konten utama

OTT Hakim PN Jaksel: Antara Mafia Peradilan & Pengawasan yang Lemah

OTT hakim PN Jaksel dinilai sebagai kode keras bagi MA agar merombak sistem pengawasan penegak hukum.

OTT Hakim PN Jaksel: Antara Mafia Peradilan & Pengawasan yang Lemah
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Iswahyu Widodo mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait OTT kasus suap penanganan perkara di PN Jaksel, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/11/2018). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso.

tirto.id - Tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak ke dua lokasi secara terpisah di Jakarta Selatan pada Selasa (27/11) malam hingga Rabu (28/11/2018). Dalam operasi tangkap tangan itu, komisi antirasuah akhirnya mencokok enam orang, termasuk dua hakim PN Jakarta Selatan.

Setelah menjalani pemeriksaan awal selama 1x24 jam, KPK menetapkan dua hakim PN Jakarta Selatan, yaitu: Iswahyu Widodo (IW) dan Irwan (I) sebagai tersangka. Komisi antirasuah juga mentersangkakan tiga orang lainnya, yakni Panitera Pengganti PN Jakarta Timur Muhammad Ramadhan (MR), Advokat Arif Fitrawan (AF), dan Martin P Silitonga (MPS).

KPK menyebut Arif Fitrawan dan Martin P. Silitonga memberi suap total sekitar Rp650 juta kepada Iswahyu Widodo dan Irwan melalui Ramadhan. Uang itu diberikan guna mempengaruhi putusan sela dan putusan akhir dalam perkara gugatan perdata pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM oleh PT APMR di PN Jakarta Selatan pada 2018.

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai OTT ini merupakan kode keras bagi Mahkamah Agung untuk merombak sistem pengawasan. Sebab, kasus suap yang melibatkan penegak hukum bukan kali ini saja terjadi.

“Ini sekali lagi memberikan kode keras kepada Mahkamah Agung untuk mengubah total, bukan hanya sistem pengawasannya, tetapi juga paradigmanya tentang pengawasan hakim,” kata Arsul kepada reporter Tirto, Rabu (28/11/2018).

Pernyataan anggota komisi hukum DPR itu bukan tanpa alasan. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah kasus yang ditangani KPK sepanjang 2018 yang melibatkan hakim dan panitera sebagai tersangkanya.

Pada 13 Maret 2018, misalnya, KPK menetapkan Hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri dan Panitera Pengganti PN Tangerang Tuti Atika sebagai tersangka. Keduanya diduga menerima suap sebesar Rp30 juta dari dua advokat, yakni Agus Wiratno dan HM Saipudin terkait penanganan perkara di pengadilan.

KPK kembali mencokok hakim dan panitera pada 28 September 2018. Kali ini KPK mengamankan hakim ad hoc Tipikor di PN Medan Merry Purba dan Panitera Pengganti di PN Medan Helpandi. Merry dan Helpandi diduga menerima 130 ribu dolar Singapura dari seorang terdakwa korupsi Tamin Sukardi. Uang itu diberikan guna mempengaruhi putusan terhadap Tamin.

Praktik mafia peradilan ini memang menjadi persoalan yang belum selesai hingga saat ini. Pada 2016, misalnya, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) yang terdiri dari ICW, YLBHI, PSHK, dan MaPPI pernah membuat kajian bagaimana modus operandi dari mafia peradilan ini bekerja.

Dalam kajian itu, setidaknya ada lima modus yang kerap terjadi dalam lingkup pengadilan, yaitu: Pertama, pra persidangan. Dalam konteks ini, calo perkara membangun hubungan baik dengan hakim/pegawai pengadilan dengan memberikan hadiah atau fasilitas yang bertujuan menciptakan utang budi ketika berperkara.

Kedua, pendaftaran perkara, yaitu adanya pungutan liar di luar ketentuan saat pendaftaran perkara, menawarkan penggunaan jasa advokat tertentu dengan tujuan mempercepat atau memperlambat pemeriksaan perkara. Ketiga, penetapan majelis hakim. Dalam konteks ini, calo perkara meminta pihak tertentu untuk mengatur majelis hakim.

Keempat, proses persidangan, seperti rekayasa sidang, mengatur saksi atau barang bukti hingga putusan pengadilan. Kelima, minutasi putusan, yaitu pungutan liar guna mempercepat atau memperlambat minutasi putusan.

Perlu Pengawasan yang Kuat

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku lembaganya akan terus berkoordinasi dengan Mahkamah Agung. Ia berharap setelah kejadian ini dilakukan evaluasi terkait tata kelola peradilan, mulai dari prosedur penanganan perkara hingga interaksi dengan aparat pengadilan.

Hal senada diungkapkan Arsul. Ia mengaku suara untuk merombak mekanisme pengawasan terhadap hakim kerap diusulkan pakar hukum kepada dirinya selaku anggota komisi III DPR RI. Menurutnya, mereka merasa hal itu perlu untuk menekan praktik korupsi di lembaga peradilan.

Untuk itu, Arsul mendorong agar DPR segera merampungkan RUU Jabatan Hakim. Ia berharap dalam rancangan peraturan itu, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial akan memiliki peran yang lebih kuat dalam mengawasi hakim.

“Jika format hukum terkait dengan pengawasan ini tidak berubah, maka akan sulit untuk melimitasi perilaku menyimpang hakim, termasuk yang bersifat koruptif,” kata politikus PPP itu.

Sementara itu, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung, Suhadi mengklaim selama ini lembaganya telah melakukan pengawasan secara ketat kepada para hakim dan pegawai pengadilan. Salah satunya dengan mewajibkan pimpinan pengadilan melakukan pengawasan dan pembinaan kepada bawahannya.

Tak hanya itu, kata Suhadi, gerak gerik hakim pun diawasi, bahkan hakim mesti mengajukan izin tertulis untuk meninggalkan pengadilan.

Selain itu, kata Suhadi, ada banyak regulasi yang mengatur soal kepegawaian, baik itu sebagai PNS maupun sebagai penegak hukum. Mulai dari PP No 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Perma No 7,8,9 Tahun 2016, dan Maklumat Mahkamah Agung No 1 Tahun 2017 tentang Disipilin Hakim pada Mahkamah Agung.

Kendati demikian, Suhadi mengatakan MA terbuka terhadap mekanisme pengawasan yang lebih ketat. “Selalu akan kami teliti barangkali ada penemuan baru untuk bagaimana cara mengawasi mereka secara ketat,” kata Suhadi kepada Tirto, Rabu kemarin.

Namun, Suhadi berkata, semua itu kembali lagi pada integritas para hakim dan penegak hukum lainnya. “Hakim itu, kan, memutus perkara, kalau dia tidak tahan godaan, ya itu [ditangkap] risiko,” kata Suhadi.

Baca juga artikel terkait OTT KPK HAKIM PN JAKSEL atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz