tirto.id - Kita bisa memanen air dari udara gurun. Sekilas kata-kata itu memang terdengar seperti kelakar semata, atau bahkan mirip ucapan penyihir yang sama sekali tak masuk akal.
"Tapi tidak ketika Anda berpikir tentang kimia yang dapat mengaplikasikannya. Saya akan menunjukkan kepada Anda, hari ini, kekuatan kimia!" begitu Omar M. Yaghi menyeru dengan percaya diri di hadapan puluhan sarjana, di mimbar Molecular Frontiers Symposium yang diadakan di Stockholm University pada 9-10 Mei 2019
Nyatanya, itu bukan bualan dan omong kosong. Penelitian Yaghi yang dipresentasikan dengan judul "Harvesting Water from Desert Air" itu meraih nominasi pertama dalam Gregori Aminoff Prize 2019, ajang sains yang didukung oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Kerajaan Swedia.
Tak ayal bila penelitiannya langsung mendapat tempat di lini masa media, utamanya ketika dia dianugerahi Nobel Kimia 2025 bersama Richard Robson dan Susumu Kitagawa.
Yaghi adalah Profesor Kimia James dan Neeltje Tretter Chair di University of California-Berkeley, AS. Tapak tilasnya juga terafiliasi dengan Laboratorium Nasional Lawrence Berkeley dan anggota National Academy of Sciences di AS. Pada Januari 2025 lalu, Yaghi ditunjuk menjadi presiden ketujuh Dewan Kebudayaan Dunia.
Besar dari Lahan Tandus Amman yang Penuh Batu
“Pada tahun 2050, hampir lima puluh persen dunia akan hidup di daerah yang mengalami tekanan air,” kata Yaghi dalam simposiumnya.
Sekilas ucapannya memang terdengar hiperbolis. Namun, adalah pengalaman hidup yang membuatnya mampu memajankan permasalahan serius air di bumi.
Yaghi lahir (9 Februari 1965) dan dibesarkan di Amman, Yordania, daerah gurun yang terkenal dengan iklim ekstrem.
Selain itu, dia lahir dalam keluarga pengungsi Palestina di Amman. Keluarganya melarikan diri dari Al-Masmiyya al-Kabira, sebuah desa yang terletak 41 km (25 mil) di timur laut Gaza.
Akibat pengusiran dan gejolak Perang Arab-Israel pada 1948, dan ditandai dengan berdirinya negara Israel di tahun yang sama, orang tua Yaghi menepi sampai Yordania sebab tanah tempat mereka tinggal dicaplok Zionis.
Yaghi juga mengaku dibesarkan bersama selusin pengungsi lainnya dalam satu kamp penampungan. Kamp tempat dia besar itu memiliki akses terbatas ke air bersih, dan harus hidup tanpa listrik bergumul gulita.

Mulai menginjak usia remaja, Yaghi mengatakan dia memiliki tiga tugas sebagai seorang pemuda. “Satu adalah belajar, dan Anda dapat melihat saya memiliki buku di tangan,” sambil menunjukkan kepada audiens simposium, foto Yaghi kecil (11 tahun, 1976) memegang buku bersama tiga sebayanya di Amman.
Dia ingat saat menghabiskan sore di Amman dengan membaca buku-buku kimia, menatap gambar molekul, menemukan sesuatu yang disebutnya “dunia tersembunyi”.
“Tugas kedua adalah kami memiliki sebidang tanah di sini yang penuh dengan batu. Anda tidak mungkin dapat mengolahnya [sebelum disingkirkan], jadi pekerjaan saya adalah mengambil batu dari sebidang tanah ini dan menumpuknya di sini, sehingga kita bisa mengolahnya menjadi taman, sambil menanam pohon,” katanya.
Di kamp pengungsian Amman, pasokan air hanya datang saban dua minggu sekali. Itu pun hanya sekitar lima sampai enam jam, sebelum stok tangki kiriman benar-benar habis.
“Jadi, Anda harus bangun saat fajar untuk memastikan bahwa kami mengumpulkan air, sehingga kami dapat menggunakannya selama dua minggu tersebut. Semakin awal Anda datang, semakin baik,” kata Yaghi dan merupakan tugas ketiga serta paling penting dari keseluruhan aktivitasnya.
Air yang diperoleh dari kiriman tangki bantuan itu pun harus cermat dibagi-bagikan untuk segala keperluan. Mulai dari kebutuhan ternak sapi di kandang, irigasi pertanian, serta lainnya untuk keperluan rumah tangga.
“Anda bayangkan saya tidak mandi setiap hari. Jika saya mandi meskipun seminggu sekali, itu benar-benar sebuah kemewahan,” pungkasnya.
Merantau ke Negeri Paman Sam
Bakatnya sudah menonjol sejak usia belasan. Dedikasinya pada sains telah memotivasi Yaghi di usia 15 tahun untuk melanjutkan studi di Amerika Serikat.
Yaghi memperoleh gelar sarjana di bidang kimia dari State University of New York-Albany (1985) dan doktoral dari University of Illinois-Urbana (1990) di bawah bimbingan Walter G. Klemperer.
Kesuksesan itu tidak lepas dari dorongan ayah dan ibunya yang begitu komitmen dalam dunia pendidikan.
Namun, kemampuan bahasa Inggris Yaghi sangat buruk. Kendati dia telah belajar bahasa Inggris di sekolah, Yaghi mengaku dia hampir tak dapat mengerti sepatah kata pun yang keluar dari mulut petugas imigrasi ketiga dia mendarat perdana di Bandara JFK.
Dia bercerita sambil tertawa, "Saya membawa kamus saya, tetapi itu tidak terlalu membantu. Saya menemukan bahwa saya belajar jenis bahasa Inggris yang sangat berbeda sama sekali."
Meski begitu, hasrat belajar dan ingin tahunya tak pernah pupus. Setelah memperoleh gelar doktor, dia terdaftar sebagai asisten profesor di Arizona State University pada 1992. Kemudian melanjutkan karier sebagai profesor di University of Michigan pada 1999 dan University of California di Los Angeles (UCLA) di tahun 2006.
Merintis Kimia Retikular
Omar M. Yaghi makin dikenal dunia setelah merintis “kimia retikular”, yang merakit blok bangunan molekuler dengan ikatan kuat, sehingga menghasilkan kerangka kristal seperti kerangka logam organik dan kerangka organik kovalen.
Dialah yang pertama, menurut Balzan Prize Foundation, yang mendemonstrasikan kimia retikular pada awal 1990-an. Padahal semasa itu, penelitian Yaghi dicap "mustahil", sebab ikatan kuat antara blok bangunan molekuler biasanya menghasilkan padatan amorf yang tak terdefinisi.
Namun, anggapan ketidakmungkinan runtuh pada 1995. Yaghi berhasil membeberkan bahwa ion logam dapat dihubungkan oleh senyawa organik bermuatan negatif untuk membentuk ikatan kuat dan menciptakan bahan kerangka kristal yang teratur.

Kimia retikular juga diklaim sebagai zat yang revolusioner. Zat tersebut dapat membersihkan udara dari gas beracun. Bahkan, ilmu pengetahuannya membutuhkan cabang klasifikasi sendiri.
Temuan perdananya dipublikasikan di Nature, memungkinkan pengembangan kelas material baru: metal-organic framework alias MOF.
Yaghi telah menciptakan senyawa seperti spons—dengan mata telanjang MOF terlihat seperti "bedak bayi"—yang dapat disesuaikan untuk menangkap, memadatkan, dan menyimpan molekul tertentu di udara, seperti karbon dioksida atau hidrogen.
Pada dasarnya, cara kerja MOF adalah menyerap molekul-molekul itu ke dalam pori-pori: sebanyak 10.000 meter persegi per gram MOF, yang nantinya akan memadat.
"Mereka memiliki luas permukaan yang sangat tinggi," jelas Yaghi seperti dikutip dari Forbes Middle East.
MOF menciptakan struktur yang memecahkan rekor seribu tahun untuk masalah porositas. "Jika Anda mengambil satu gram padatan [MOF] ini dan menyebarkannya pada skala nanometer, Anda akan dengan mudah menutupi lapangan sepak bola," tambahnya.
Antara Amerika, Yordania, dan Arab Saudi
Terlepas dari kendala bahasa awal di Amerika Serikat, seandainya dia tinggal di Yordania, Yaghi mengatakan pilihannya akan terbatas.
Kebutuhannya perihal laboratorium dan penelitian mungkin tak dapat tercukupi apabila harus memilih tinggal di Yordania.
Dengan kelakar khasnya, Yaghi mengatakan bahwa di Yordania, mungkin pilihan studinya akan berakhir dengan belajar teknik atau kedokteran.
Mengenai studi yang terakhir, dengan nada bercanda, Yaghi berkata, “Saya tidak tertarik dengan darah dan berada di ruang operasi. Saya mencobanya untuk magang musim panas dan saya tidak menyukainya sama sekali.”
Oleh sebab itulah kini Yaghi difasilitasi oleh laboratorium di King Abdulaziz City for Science and Technology in Saudi Arabia (KACST). Di sana, Yaghi bekerja sama dengan Dr. Ahmad Alshammari, peneliti dari Pusat Nanoteknologi Nasional di KACST.
Penemuan Yaghi, menurut Alshammari, sangat menguntungkan Timur Tengah yang kaya minyak. Katanya, “Kami berencana untuk merancang dan mengembangkan MOF dalam berbagai aplikasi. Ini akan membantu membatasi emisi di wilayah tersebut.”
Tak hanya itu. Dalam sebuah wawancara eksklusif denganArab News, Yaghi menyatakan dirinya telah menerima tawaran kewarganegaraan dari Arab Saudi. Dia juga mendedikasikan potensi serta dukungannya demi kemajuan penelitian global.
"Saya pikir merupakan suatu kehormatan untuk diakui lewat kewarganegaraan, dan itu akan memungkinkan saya untuk bekerja dengan Saudi lebih dekat," katanya.
"Mereka memiliki visi yang bagus tentang bagaimana menumbuhkan sains dan bagaimana menumbuhkan penelitian. Saya telah melakukan beberapa kolaborasi dengan teman-teman Saudi kami dan saya senang dapat mengembangkannya. Saya pikir merupakan kehormatan besar untuk terpilih."
Yaghi tercatat sebagai warga negara Arab Saudi pada 2021. Dokumen pengesahannya langsung tertandatangani keluarga kerajaan. Itu merupakan protokol persyaratan naturalisasi yang harus dipenuhi oleh para spesialis terkemuka dari berbagai bidang di Arab Saudi.
Kiranya, ini sejalan dengan “Visi Saudi 2030”, untuk mendorong ahli-ahli berbakat dari seluruh dunia untuk pindah sebagai bagian dari kerajaan, melokalisasi investasi asing, dan menciptakan lingkungan sosial yang dapat meningkatkan ekonomi makro.
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id







































