tirto.id - “Nobel Perdamaian tak pernah dicabut dan panitia tidak mengutuk atau mengecam para pemenangnya.”
Gunnar Stalsett, bekas politikus Norwegia yang menjadi panitia Nobel pada 1991, mengatakan hal itu di depan wartawan beberapa waktu lalu di Oslo. Ia dianggap pihak yang paling bertanggung jawab atas terpilihnya Aung San Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian.
Tuntutan untuk mencabut Nobel Perdamaian 1991 kepada Suu Kyi menyeruak di mana-mana. Pemimpin Myanmar itu dianggap gagal menghentikan—bahkan enggan mengutuk—pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer negaranya terhadap etnis minoritas Rohingnya. Ribuan orang tewas, jutaan lainnya terpaksa mengungsi ke negara tetangga.
Nobel Perdamaian memang terkesan sakral. Peraihnya terlanjur dianggap sosok yang memiliki kualitas kemanusiaan di atas rata-rata. Ada cela sedikit soal moralitas, protes langsung terdengar di sana-sini. Tapi Stalsett punya jawaban: “Prinsip yang kami [panitia Nobel] ikuti bukan keputusan untuk menahbiskan seorang santo.”
Keputusan panitia juga tidak bisa dibatalkan oleh apapun, termasuk kelakuan buruk para pemenang di kemudian hari. Karena itu, apapun yang terjadi dan sekeras apapun protes yang dilayangkan, Nobel Perdamaian bagi Suu Kyi tak akan pernah bisa dicabut.
“Ketika keputusan sudah ditetapkan dan penghargaan telah diberikan,” lanjut Stalsett, “itulah akhir tanggung jawab panitia.”
Suu Kyi adalah salah satu contoh betapa penghargaan Nobel sebenarnya mengandung berbagai kompleksitas. Ia bisa saja mendengarkan suara para pemrotes dan mengembalikan penghargaannya ke panitia di Stockholm. Namun, tidak mudah juga mengembalikannya, sebab ia harus pula mengembalikan hadiah yang besarnya saat ini kira-kira mencapai hampir Rp20 miliar.
Memang belum ada sejarahnya peraih Nobel mengembalikan hadiah. Tapi di masa lalu, ada beberapa penerima yang menolak penghargan itu, baik karena keinginan sendiri dengan alasan idealisme atau karena dihalangi penguasa. Bagi panitia Nobel, semuanya dikategorikan decline (menolak).
Buku 100 Years with Nobel Laureates terbitan Encyclopedia Britannica memuat kisah enam orang yang menolak hadiah Nobel itu.
Richard Kuhn: Jenius yang Dekat dengan NAZI
Kuhn adalah jenius luar-dalam. Pada umur 21 tahun, ia sudah berhasil menggondol gelar doktor dalam biokimia. Lima tahun kemudian, ia jadi profesor. Lewat penelitian ekstensifnya tentang carotenoid dan vitamin, ia berhasil menemukan struktur kimia vitamin A, B2, B6 dan, yang terpenting, sanggup mensintesiskan ketiganya.
Kuhn segera terkenal di kalangan ilmuwan karena hasil penelitiannya itu dan diganjar hadiah Nobel Kimia pada 1938. Tapi, rezim fasis NAZI memaksanya menolak penghargaan tersebut.
Di luar kehebatannya sebagai ilmuwan, Kuhn banyak ditentang karena pro-Hitler dan berhubungan sangat erat dengan NAZI dan sikap anti-Semitnya yang terus terang. Ia pernah memecat semua karyawan Yahudi di lembaga riset tempatnya bekerja sebagai kepala. Lebih dari itu, keterlibatannya dalam proyek pembuatan racun saraf untuk senjata biologis membuat Kuhn ditentang di mana-mana.
Konon, ia bahkan meminta bahan penelitian dalam bentuk otak para pemuda yang sehat dan pemerintah menyediakannya dari tahanan-tahanan Yahudi di kamp konsentrasi. Atas semua tudingan itu, Kuhn tentu saja membela diri. Ia bilang bahwa risetnya akan membawa keuntungan bagi seluruh umat manusia.
Adolf Butenandt: Perintis yang Memungkinkan Pil Kontrasepsi
Ilmuwan biokimia ini memperoleh penghargaan Nobel Kimia pada 1939 berkat penelitiannya tentang hormon seksual. Butenandt adalah pelopor pengembangan hormon seksual untuk kesehatan. Bersama Leopold Ruzicka, ilmuwan Swiss yang berbagi Nobel dengannya, ia berhasil membuat sintesis hormon testosteron dan kelak menjadi pijakan bagi ditemukannya pil kontrasepsi.
Seperti biasa, rezim Hitler melarang siapapun untuk menerima Nobel. Tak terkecuali Butenandt. Padahal secara prinsip, Butenandt sebenarnya menolak fasisme NAZI dan tak ada bukti kuat dia terlibat dalam pengembangan senjata biologis. Akhirnya panitia Nobel baru memberikan penghargaannya pada 1949 ketika Perang Dunia II telah berakhir.
Yang menyebabkan Hitler murka kepada panitia Nobel adalah ketika jurnalis Carl von Ossietzky dianugerahi Nobel Perdamaian pada 1935. Sang jurnalis mendapat Nobel lantaran ia berani membongkar rahasia Jerman yang kembali mempersenjatai angkatan perang setelah Perjanjian Versailles. Ossietzky kemudian ditangkap dan dijebloskan ke kamp konsentrasi.
Gerhard Domagk: Usaha Membasmi Bakteri
Gerhard Domagk menemukan prontosil, antibiotik pertama yang dijual secara komersil, sebelum penisilin dan antibiotik lain ditemukan dan tersedia di pasaran. Setelah prontosil dikembangkan, jumlah orang yang meninggal gara-gara infeksi bakteri menurun secara drastis. Ini kemajuan luar biasa bagi dunia kedokteran di awal abad 20. Atas penemuannya itu, para juri di Stockholm menganugerahi Nobel Kedokteran pada 1939.
Tapi nasibnya tidak jauh beda dengan dua pendahulunya: ia dilarang menerima hadiah Nobel. Bahkan Domagk jauh lebih sial. Hanya satu hari setelah pengumuman, Gestapo (polisi rahasai NAZI) menangkap Domagk dan memasukkannya ke penjara selama tujuh hari. Pada 1947, Domagk akhirnya menerima penghargaan tersebut tapi tanpa disertai hadiah uang.
Boris Pasternak: Menciptakan Dokter Zhivago
Boris Leonidovich Pasternak menulis novel Doctor Zhivago dan ia pun diumumkan meraih Nobel Sastra. Novel itu memang dilarang beredar di negaranya sendiri gara-gara dianggap mengandung kritik terhadap sosialisme Uni Sovyet. Pada 1957, Doctor Zhivago berhasil diselundupkan ke Italia dan diterbitkan di sana. Setahun kemudian, edisi bahasa Inggrisnya terbit dan menjadi bestseller di seluruh dunia.
Sejak novel itu menjadi tenar dalam waktu singkat, juga dipicu publikasi raihan Nobel Sastra untuk Pasternak, banyak orang curiga jika ada tangan CIA bermain di belakangnya. Kelak, ketika dokumen-dokumen rahasia CIA dari tahun 1950-an diungkap ke publik, kecurigaan itu terbukti. CIA merekayasa kampanye lewat jalur kultural untuk membongkar kehidupan sehari-hari di bawah rezim komunis.
“Proyek Zhivago adalah salah satu program penerbitan yang dibekingi CIA, meliputi penyebaran buku-buku terlarang, pamflet, dan bahan-bahan lain karya para intelektual di Uni Sovyet dan Eropa Timur,” kata dokumen tersebut.
Setelah Nobel Sastra untuk Pasternak diumumkan pada 1958, Pemerintah Sovyet bertindak cepat dengan melarangnya pergi ke Stockholm. Pelarangan ini disertai ancaman: jika Pasternak tetap nekat pergi, ia tidak boleh kembali lagi ke negaranya.
Pasternak tak punya pilihan selain menuruti ultimatum rezim. Dalam suratnya kepada pemimpin tertinggi Uni Sovyet Nikita Kruschev, ia mengatakan: “Bagi saya, meninggalkan tanah air sama saja seperti kematian. Saya terikat pada Rusia karena lahir, hidup, dan bekerja di sana.”
Jean-Paul Sartre: Tak Sudi Dilabeli Peraih Nobel
Jean-Paul Sartre terpilih sebagai pemenang Nobel Sastra 1964 atas karya-karya filsafatnya yang, seperti diungkapkan oleh panitia Nobel, “kaya akan gagasan dan berisi semangat kebebasan dan pertanyaan akan kebenaran.” Tapi ia menolaknya.
Sartre bilang bahwa alasan penolakan itu didasari pertimbangan pribadi dan obyektivitas. Pertimbangan pribadinya kurang lebih begini: semua kemuliaan yang ia terima dalam Nobel Sastra akan membebani pembacanya dengan tekanan. “Jika aku disebut ‘Jean-Paul Sastre’ saja,” katanya, “itu akan berbeda dengan ketika aku disebut ‘Jean-Paul Sastre Peraih Nobel Sastra.’”
Pertimbangan lain: Sartre tidak puas terhadap panitia Nobel yang sering berlaku tidak adil kepada penulis-penulis dari Blok Timur. Alasan politis dan ideologis ini mencerminkan keberpihakan, atau setidaknya simpati, Sartre kepada komunisme yang memang tidak pernah ia sembunyikan.
Le Duc Tho: Heroisme dari Perang Vietnam
Barangkali di antara semua penolak Nobel, Le Duc Tho yang punya alasan paling heroik. Ia adalah pemimpin tertinggi Vietnam Utara yang mesti berperang melawan Vietnam Selatan yang didukung AS. Pada 1973, ia dan Henry Kissinger (Menteri Luar Negeri AS) menandatangani Perjanjian Damai Paris yang menyatakan gencatan senjata antara Vietcong dengan AS. Panitia Nobel tanpa ragu memilih Le Duc Tho dan Kissinger sebagai pemenang bersama Nobel Perdamaian 1973.
Tapi kemudian kepelikan terjadi. Inilah salah satu penghargaan Nobel paling kontroversial sepanjang sejarah: Le Duc Tho menolak hadiah Nobel dan Kissinger tidak datang ke acara penganugerahan. Kontroversi ini bahkan menyebabkan dua orang komite pemilihan menyatakan mundur.
Para penentang Kissinger menuduh ketidakhadirannya berkaitan dengan pengeboman rahasia di Kamboja yang melibatkan dirinya. Kissinger dianggap tak punya kekuatan moral untuk datang menerima Nobel Perdamaian.
Beberapa hari kemudian, Le Duc Tho mengungkapkan alasan penolakannya: “Sejak penandatanganan Perjanjian Paris, AS dan pemerintah Saigon terus melanggar sejumlah pasal kunci dalam perjanjian ini. Pemerintah Saigon, dengan dibantu dan didorong oleh AS, melanjutkan aksi perangnya. Perdamaian belum benar-benar terlaksana di Vietnam Selatan. Dalam situasi seperti demikian tak mungkin bagi saya menerima Nobel Perdamaian 1973.”
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS