Menuju konten utama

Obral Kewarganegaraan ala Mesir: Cuma Demi Investasi Asing

Harga kewarganegaraan Mesir Rp5,6 miliar. Krisis ekonomi pasca revolusi 2011, yang terburuk sejak 1930, masih terasa. Rezim penguasa cuek dituduh menjual harga diri bangsa.

Obral Kewarganegaraan ala Mesir: Cuma Demi Investasi Asing
Warga Palestina menunggu izin perjalanan untuk menyebrang ke Mesir, setelah penyebrangan perbatasan Rafah dibuka di bawah pengawasan Otoritas Palestina didukung oleh Barat untuk pertama kalinya sejak tahun 2007, di Khan Younis di selatan Jalur Gaza, Minggu (19/11). ANTARA FOTO/REUTERS/Suhaib Salem

tirto.id - “Ada uang ada barang”. Pepatah yang transaksional tersebut tak hanya berlaku di pasar, tetapi kini bisa dipakai jika tertarik menjadi warga negara Mesir. Proses naturalisasinya “cuma” dihargai tujuh juta pound Mesir atau setara dengan Rp5,6 miliar.

Mengutip laporan Reuters, pada Minggu (15/7/2018) parlemen Mesir meloloskan rancangan undang-undang (RUU) yang berisi kebijakan tersebut.

Uang yang disetorkan akan disimpan di Departemen Keuangan selama lima tahun, dan selama periode itu pemohon kewarganegaraan juga diharuskan tinggal di Mesir. Setelah lima tahun pertama dilewati, pemohon baru bisa memulai prosedur naturalisasi, yang bermula dari persyaratan-persyaratan administrasi.

Ada ketentuan-ketentuan khusus yang dikenakan bagi si pemohon usai permintaannya dikabulkan dan resmi menjadi warga Mesir.

Pertama, ia baru punya hak memilih dalam pemilihan umum setelah menjalani lima tahun pertama tinggal di Mesir. Kedua, ia juga diberikan hak untuk mencalonkan diri sebagai pejabat negara di pemilu regional maupun nasional, tetapi harus menunggu lima tahun lagi, alias terhitung sepuluh tahun setelah resmi menjadi warga Mesir.

The National mencatat ada sejumlah aturan tambahan, antara lain pasangan (istri) dan anak yang bersangkutan tidak bisa dinaturalisasi kecuali secara resmi tinggal di Mesir. Pemohon naturalisasi juga harus mampu berbahasa Arab dan tidak memiliki catatan kriminal.

Wacana obral kewarganegaraan sebenarnya telah mengemuka sejak lama. Empat tahun lalu, Al Arabiya telah melaporkan bahwa kebijakan ini telah diusulkan oleh Samed Sedki selaku kepala Uni Arab untuk Investasi Langsung. Alasannya: memancing para investor untuk datang, memutar uang, dan menetap ke Mesir.

Saat itu ada opsi yang lebih “lunak” daripada status kewarganegaraan tetap, yakni kewarganegaraan temporer. Harganya 3,5 juta pound Mesir untuk menetap selama lima tahun, atau $5 juta pound Mesir untuk tinggal selama tiga tahun. Dua-duanya tanpa bunga, kata Sedki.

Namun, meski bawa duit, si pemohon dilarang punya afiliasi dengan Ikhwanul Muslimin (sudah jadi organisasi terlarang bagi pemerintah Mesir), tidak membawa penyakit menular, dan bukan berasal dari Israel. Sedki mengharapkan pembesar-pembesar dari tanah Arab sebab punya kesamaan kultur dan bahasa.

Sedki menjelaskan investasi tersebut diharapkan akan membuahkan progres dalam pembangunan sekolah, kampus, atau rumah sakit di daerah-daerah miskin. Visi ini serupa dengan yang disampaikan parlemen Mesir sebelum pengesahan kebijakan obral kewarganegaraan.

Ekonomi Mesir memang sedang sekarat dalam beberapa tahun terakhir. Pangkalnya ada pada revolusi yang digalakkan kelompok anti-pemerintah pada tahun 2011 dan disokong dukungan oleh warga. Sebuah revolusi yang menginspirasi gerakan serupa di negara lain, namun berdampak krisis multi-dimensi.

Laporan Patrick Kingsley untuk Guardian menerangkan bahwa pada 2013 Mesir mengalami krisis ekonomi terburuk sejak tahun 1930, demikian Kingsley mengutip sejumlah analis.

“Sejak kejatuhan Hosni Mubarak pada 2011, Mesir telah mengalami penurunan drastis di bidang investasi asing dan pendapatan pariwisata, diikuti oleh penurunan cadangan devisa sebanyak 60 persen, penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen, dan devaluasi pound Mesir dengan cepat.”

Efeknya adalah harga makanan yang meroket, membengkaknya angka pengangguran, kelangkaan bahan bakar, juga gas untuk memasak sehari-hari.

Kingsley mengutip mantan Menteri Keuangan Mesir Samir Radwan yang masih menjabat saat revolusi berlangsung. Radwan menyatakan bahwa lima tahun lalu setengah populasi Mesir terombang-ambing di status miskin. Harga panganan yang tinggi membuat warga mudah sakit, putus sekolah, dan kena masalah-masalah lain.

Jurnalis Guardian lain, Brad Plumer, pernah membicarakan isu krisis ekonomi Mesir dengan Caroline Freund. Freund adalah peneliti di Peterson Institute for International Economics dan mantan kepala ekonom untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Bank Dunia.

Pendapat Freund agak berbeda: ia melihat sebelum revolusi pun Mesir memang sudah menunjukkan gejala krisis multi-dimensi.

“Bahkan sebelum revolusi tahun 2011, ada 10 persen pengangguran dan 25 persen pengangguran kaum muda. Sudah ada rasa kurangnya kesempatan dan menurunnya mobilitas sosial. Jadi Mesir mengalami revolusi ketika sudah dalam kesulitan ekonomi,“ kata Freund.

Freund melanjutkan, revolusi menyebabkan ketidakpastian makin luas di segala bidang, terutama politik dan ekonomi. Investor pun kehilangan kepercayaan dirinya, dan memutuskan untuk menunggu situasi reda. Pariwisata anjlok karena isu keamanan, padahal bidang ini bertanggung jawab atas 10 persen PDB Mesir.

Salah satu solusi yang ditawarkan Freund maupun Radwan adalah investasi asing. Motif ini pula yang dijajaki Parlemen Mesir untuk meloloskan kebijakan obral kewarganegaraan. Untuk merealisasikannya menjadi produk hukum, tinggal butuh tanda tangan Presiden Abdul Fattah as-Sisi.

Suara kontra tak terhindarkan, baik di publik maupun kalangan pejabat pemerintahan. Beberapa di antaranya dikutip oleh Shahira Amin dari Al Monitor pada Kamis (19/7/2018). Muaranya ada pada tuduhan mengobral harga diri bangsa. Sesuatu yang memalukan.

Salah satunya adalah seorang anggota oposisi El Hariri. Pada sidang parlemen tanggal 15 Juli 2018, sesuai catatan Amin, ia menyuarakan sikapnya yang berseberangan. El Hariri menilai RUU tersebut “menjual apa saja dan segalanya demi uang—termasuk kewarganegaraan Mesir,” demikian catat Amin.

“Kami (oposisi RUU) tidak anti-investasi asing. Kami menyambut segala jenis investasi ke dalam negeri, namun ada perbedaan antara menawarkan investor tempat tinggal serta memfasilitasi visa mereka, dengan di sisi lain memberikan status kewarganegaraan,” lanjutnya.

Oposisi lain memberikan alasan yang juga nasionalistik dan lebih menggebu-gebu. Misalnya sosiolog dan ekonom yang kerap menggarap proyek Laporan Pembangunan Manusia Arab dari Program Pengembangan PBB tahun 2002, Nader Fergany.

Masih mengutip laporan Amin, Fergany berpendapat jika RUU tersebut bisa membuka jalan bagi Israel untuk kembali menginjakkan kaki di Semenanjung Sinai.

Ia menyinggung sejarah pencaplokan Sinai oleh Israel usai Perang Enam Hari tahun 1967. Sinai baru kembali ke pangkuan Mesir pada tahun 1982 sebagai hasil dari Perjanjian Damai Camp David. Sejak kejadian itu, nasionalis-Islamis Mesir masih menyimpan bara kebencian yang menyala-nyala terhadap rezim Israel.

Menurut Amin, pandangan Fergany nyatanya serupa dengan sikap publik Mesir di media sosial. Sama-sama nasionalistik dan berpokok pada ketidakrelaan jika kewarganegaraan Mesir diobral ke pihak asing. Meski demikian, yang punya sikap lebih rasional juga ada.

Misalnya kolumnis asal Mesir Abdel Azim Hammad, yang berpendapat bahwa daripada investasi asing, pemerintah lebih baik fokus pada upaya pengembalian aset-aset negara yang dibawa kabur Presiden Husni Mubarak dan kroni-kroninya ke luar negeri. Kejadian tersebut terjadi pasca Revolusi 2011.

Sementara itu akademisi yang mendukung langkah pemerintah, mendasarkan argumen mereka pada kebijakan serupa di negara-negara lain. Amin menemjukan pandangan ini pada Moataz Abdel Fattah, profesor ilmu politik dari Cairo University.

“Banyak penduduk asing yang sudah berada di Mesir, banyak di antaranya telah berada di sini selama bertahun-tahun. Mereka mencintai negara dan menghormati hukum. Investasi mereka dapat memberikan stimulus ekonomi pada kehidupan yang perlu dipulihkan,” katanya.

Praktik Lawas di Negara Lain

Fattah tidak keliru. Maret lalu Kate Springer mengulas perihal fenomena beli kewarganegaraan secara cukup komprehensif di CNN Travel.

Istilah yang umum digunakan adalah kewarganegaraan untuk program investasi (Citizenship by Investment Programs/CIPs). Jadi, di negara tujuan yang bersangkutan, orang tak cuma numpang kewarganegaraan, tapi juga menanam keuntungan. Kewarganegaraan yang dibeli bisa bersifat permanen maupun temporer.

Pelopornya adalah negara yang terdiri dari dua pulau kecil di Karibia, St. Kitts dan Nevis. Mereka pertama kali membuka program CIPs pada tahun 1984. Memasuki 2009, program tersebut makin populer di kalangan pebisnis kelas atas. Negara lain di Karibia pun mengekor St. Kitts dan Nevis, salah satunya Antigua dan Barbuda.

“Warga di wilayah Karibia memang memerlukan investasi asing sebab tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah”, kata Nuri Katz, pendiri perusahaan penasihat keuangan internasional Apex Capital Partners kepada Springer.

Makin lama program tersebut makin jamak dijumpai di berbagai negara, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan beberapa negara Eropa lain. Negara-negara seperti Montenegro, Georgia, dan Kazakhtan mengadopsi program serupa, termasuk beberapa negara Balkan.

Katz menjelaskan kewarganegaraan ganda memudahkan para pebisnis untuk bergerak dari negara asalnya ke negara lain tanpa diributkan persoalan visa. Mobilitas mereka tinggi. Keuntungan juga didapat pebisnis dengan paspor yang bermasalah secara politik. Mereka bisa bebas bergerak tanpa menunggu visa yang lama keluar.

Infografik Obral kewarganegaraan di mesir

Seorang pebisnis misalnya bisa membeli kewarganegaraan Dominika seharga Rp1,45 miliar dan mendapatkan keuntungan perjalanan bebas visa ke 128 negara. Antigua dan Barbuda menawarkan Rp2,9 miliar dengan keuntungan perjalanan bebas visa ke 130 negara termasuk Britania Raya.

Grenada, St.Kitss dan Nevis, menawarkan harga dan jumlah negara untuk perjalanan bebas visa serupa, yakni di kisaran Rp3 miliar dan lebih dari 100 negara. Kewarganegaraan Portugal senilai Rp5,7 miliar dengan keuntungan perjalanan bebas visa di seluruh negara di Eropa.

Ada dua negara dengan harga kewarganegaraan fantastis sebab di atas $2 juta (Rp28 miliar). Pertama adalah Siprus dan Britania Raya. Harga kewarganegaraan Siprus $2,4 juta atau Rp34,7 miliar. Kelebihannya perjalanan bebas visa di lebih dari 150 negara, hak tidak terikat untuk hidup, bekerja, dan belajar di Eropa.

Tertinggi yakni harga kewarganegaraan Britania Raya: $2,6 juta atau Rp37,6 miliar. Kelebihannya adalah perjalanan bebas visa ke lebih dari 170 negara, dan kesempatan luas untuk mengembangkan bisnis serta investasi.

Baca juga artikel terkait KEWARGANEGARAAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Marketing
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf