tirto.id - Fenomena Warga Negara Indonesia (WNI) pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia bukan hal baru. Meskipun sentimen masyarakat Indonesia terhadap Negeri Petronas kerap negatif dan berujung perundungan massal lewat tagar #ShameOnYouMalaysia, termasuk dalam kasus terbaliknya bendera Indonesia dua hari lalu, Indonesia masih menjadi salah satu negara penyumbang penduduk terbesar di Malaysia.
Wakil Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Ahmad Zahid Hamidi mengatakan sebanyak 688.776 orang telah diberikan kewarganegaraan Malaysia sejak negera itu merdeka tahun 1957 hingga Januari 2016. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38.024 orang berasal dari Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai "penyumbang" penduduk hasil naturalisasi nomer dua terbanyak di Malaysia. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi yang pertama dengan "menyumbang" 69.904 orang. Sedangkan posisi India berada persis di bawah Indonesia dengan 19.301 orang.
Angka ini sebenarnya tidak mengherankan. Hampir 18 tahun lalu, Datuk Wira Abu Seman, yang kala itu menjabat sebagai Deputi Menteri Dalam Negeri Malaysia mengatakan dalam kurun 2005-2009 terakhir ada lebih dari tiga ribu WNI yang mengajukan diri sebagai warga negara Malaysia. Jika dirata-rata, berarti ada sekitar 600 WNI per tahun yang ingin hijrah kewarganegaraan ke Negeri Jiran.
Abu Seman juga menegaskan sebanyak 11.770 warga negara asing memohon status kewarganegaraan Malaysia dari 2005 hingga September 2009. Indonesia menduduki posisi tertinggi dengan jumlah pemohon sebanyak 3.405 orang. Sementara itu, Kamboja berada di posisi kedua dengan 1.115 pemohon. Enam pemohon terbesar selanjutnya diisi oleh warga RRT (501 pemohon), India (494 pemohon), Filipina (461 pemohon), Thailand (392 pemohon).
Jumlah tersebut pun dapat bertambah jika puluhan ribu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berada di Malaysia diikutsertakan dalam perhitungan. Sepanjang 2016, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat ada 87.616 TKI yang ditempatkan di Malaysia. Angka ini mengisi 37,37 persen dari total 234.451 TKI yang ditempatkan di seluruh dunia sepanjang tahun 2016.
Tahun 2012 Indonesia mengirim 134.023 TKI. Tahun berikutnya, jumlah pengiriman menjadi 150.236 orang. Selanjutnya, jumlah pengiriman TKI ke Malaysia terus mengalami penurunan, dari 127.827 orang pada 2014 sampai 97.635 orang pada 2015. Terakhir, pada 2016, Indonesia "hanya" mengirim 87.616 TKI. Meski mengalami penurunan, Indonesia masih menjadi pengirim tenaga kerja asing terbanyak ke Malaysia.
Tertarik Pesona Negeri Tetangga
Faktor ekonomi dan jarak menjadi penyebab WNI beralih menjadi warga negara Malaysia. Contoh paling kentara bisa disaksikan di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Pada 2014, Pagalu (saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Samunti, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan) mengatakan sebanyak 20 dari keseluruhan 85 kepala keluarga (KK) di desanya memilih bermukim di Kinabalu, Sabah, Malaysia. Alasannya, akses ekonomi dan pendidikan amat sulit diperoleh di Samunti.
“Dari 20 KK tersebut,” lanjut Pagalu, seperti dilansir dari Antara, “Sebagian besar telah menjadi warga negara Malaysia dan sebagian lagi masih menjadi pendatang ilegal namun telah memiliki pekerjaan tetap di Malaysia.”
Selain itu, Pagalu juga menyebutkan alasan perpindahan warganya tersebut lantaran pemerintah Malaysia menyediakan fasilitas, mulai tempat tinggal, sarana telekomunikasi dan listrik, yang tidak disediakan pemerintah Indonesia.
Saat Pagalu memberikan keterangan, hanya tersisa 10 KK yang tinggal di Desa Samunti. Mereka yang sudah hijrah hanya kembali ke desa jika ada pesta pernikahan. Butuh waktu dua hari, dengan biaya Rp 600 ribu, untuk menumpang perahu motor untuk kembali ke desa asal.
Keluhan serupa pernah disampaikan Juni, yang pada 2014 menjabat sebagai Kepala Desa Sumantipal, Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim).
“Saat ini mungkin sudah ada 627 kepala keluarga yang berasal dari desanya bekerja dan berdomisili di Sabah,” ujar Juni, dilansir dari Antara, “Bukan karena mendapat iming-iming tunjangan per bulan 500 ringgit dari Pemerintah Malaysia alasan warga kami pindah, namun lebih disebabkan karena kondisi desa kami sangat terisolasi."
Menikmati Fasilitas Malaysia
Tidak hanya itu, ketertarikan pada beragam fasilitas yang dapat dinikmati ketika menjadi warga negara Malaysia juga menjadi alasan. Tidak heran jika sejumlah warga memiliki dua kartu identitas: Kartu Tanda Penduduk Indonesia dan Identity Card (IC) Malaysia.
Dengan memiliki Identity Card (IC) Malaysia, memang seseorang punya hak mendapatkan Bantuan Rakyat Malaysia (BRM) sekitar 600 Ringgit Malaysia (sekitar Rp 1.920.000) bagi lansia dan 800 Ringgit Malaysia (sekitar Rp 3.200.000) bagi warga usia sekolah. Ketertarikan pada beragam fasilitas ini lah yang disinyalir menjadi alasan sejumlah warga yang memiliki dua kartu identitas: Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia dan IC Malaysia.
Perkara kartu identitas tidak berhenti di situ. Datuk Balam, yang pada 2014 menjabat sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Nunukan, pernah mengakui masih banyak penduduk di wilayah itu yang belum memiliki KTP atau belum merekam diri untuk mendapatkan KTP-elektronik. Pasalnya, banyak di antara mereka yang tidak memiliki Nomor Induk Keluarga (NIK) karena terlalu lama menjadi TKI di Sabah, Malaysia.
"Memang jadi masalah, bekas TKI sulit mendapatkan surat pindah karena telah lama meninggalkan daerah asalnya bekerja di Malaysia. Sementara yang berhak mendapatkan KTP (e-KTP) harus terdaftar sebagai penduduk Indonesia melalui NIK tadi," ujar Datuk Balam kepada Antara.
Dengan memiliki IC Malaysia, seseorang bisa mendapatkan banyak kemudahan, dari fasilitas sosial seperti sekolah hingga pekerjaan. Seorang warga Kecamatan Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, Rosmini (45), mengatakan kepada Antara bahwa ia menyekolahkan dua anaknya di Sarawak, Malaysia Timur.
Banyak kemudahan jika sekolah di Malaysia. Selain murah, bahkan bisa gratis, murid malah memperoleh uang saku 300 ringgit Malaysia per bulan. "Mereka juga tinggal di asrama, makan dan perlengkapan sekolah semua disediakan," kata Rosmini.
Aktifnya pemerintah Malaysia mengajak WNI berpindah warga negara juga menjadi penyebab. Organisasi Pemuda Perbatasan mencatat sebanyak 85 persen warga di Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, telah menjadi warga negara Malaysia. Salah satunya karena pemerintah Malaysia memang sangat aktif menawarkan berbagai kemudahan. Ketua Organisasi Pemuda Perbatasan Kabupaten Nunukan Lumbis di Nunukan mengatakan pemerintah Negeri Sabah, Malaysia, rajin mengajak masyarakat untuk mendapatkan identitas kependudukan Malaysia secara gratis.
Sejumlah persyaratan mesti dipenuhi warga negara asing untuk mendapatkan kewarganegaraan Malaysia dengan naturalisasi. Persyaratannya antara lain: berusia di atas 21 tahun, telah tinggal di Malaysia lebih dari 10 tahun dengan batas waktu 12 tahun sebelum tanggal permohonan, serta memiliki keterampilan berbahasa Melayu yang memadai.
Para pemohon juga mesti menyerahkan beberapa dokumen kepada National Registration Office (Kantor Pendaftaran Nasional), seperti formulir aplikasi C, kartu identitas, akta kelahiran, izin masuk, kartu identitas dua orang Malaysia sebagai perekomendasi, serta dokumen lain dari pasangan atau anak-anak (jika ada).
Namun, situs justlanded.com menyarankan agar tidak menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Banyak para pemohon menunggu beberapa tahun namun hasilnya nihil. Situs tersebut juga menyebutkan banyak persyaratan sangat samar dan subjektif, seperti pengetahuan bahasa Melayu. Hal ini disinyalir kerap menjadi penyebab ditolaknya aplikasi.
Deretan laporan tentang perpindahan WNI menjadi warga negara Malaysia, atau memiliki kewargenageraan ganda, tidak bisa didekati semata dengan isu nasionalisme yang mengobarkan emosi. Perang di media sosial antara Malaysia dan Indonesia memang mencerminkan relasi yang dinamis antara kedua negara, namun dalam kehidupan di perbatasan perdebatannya dipicu oleh hal-hal yang sangat riil dan sehari-hari.
Penulis: Husein Abdul Salam
Editor: Zen RS