Menuju konten utama

Jalan Terjal untuk Dwi Kewarganegaraan

Biaya untuk melahirkan UU Dwi Kewarganegaraan diperkirakan mencapai Rp1 miliar. Para diaspora Indoensia melakukan penggalangan dana. Meski beleid belum juga lahir, pemerintah membuat kebijakan yang memudahkan bagi para diaspora.

Jalan Terjal untuk Dwi Kewarganegaraan
Presiden Joko Widodo saat berbicara di hadapan diaspora Indonesia di Wisma Tilden, Washington DC, Amerika Serikat. Doc. Kemenlu

tirto.id - “Kalau kita mempunyai biaya sebesar sekitar $100 ribu atau sekitar Rp 1 miliar, itu naskah akademis akan bisa selesai paling sedikit 6 bulan. Paling lama kemungkinan 1 tahun,” kata Renny Damayanti Mallon, Ketua Tim Advokasi Indonesian Diaspora Network [IDN] Global, di salah satu channel KabariTV yang diunggah di Youtube.

Renny memaparkan bahwa kendala dalam melahirkan sebuah undang-undang tentang dwi kewarganegaraan tak lain adalah anggaran. Sebab pembuatan sebuah undang-undang harus melalui proses yang panjang. Mulai dari perencanaan pembuatan daftar RUU, naskah akademik, harmonisasi, pembulatan, pemantapan konsepsi, pembahasan daftar inventarisasi masalah, hingga tahap pengundangan. Secara garis besar terdiri dari 5 tahap dan di setiap tahap harus dilakukan penyebarluasan berupa seminar yang memakan banyak dana.

Sayangnya, saat dikonfirmasi soal penggalangan dana oleh IDN Global itu, Renny menolak memberikan rincian. “Saya rasa tidak perlu membahas itu. Hal itu adalah internal diaspora. Ada hal yang off the record dan hanya untuk kalangan sendiri. Maaf, saya tidak akan membahas masalah penggalangan dana,” kata Renny kepada tirto.id, pekan lalu.

Payung hukum tentang dwi kewarganegaraan, kini memang tak berdiri sendiri sebagai Rancangan Undang Undang (RUU) Dwi Kewarganegaraan. Ia dimasukkan dalam revisi UU tentang Kewarganegaraan. Awalnya, pada periode Program Legislasi Nasional [Prolegnas] tahun 2014, RUU Dwi Kewarganegaraan merupakan RUU non prioritas. Namun, naskah RUU dan naskah akademiknya ternyata tak kunjung rampung. Akhirnya, diusulkan untuk diselipkan dalam revisi atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Masalahnya, revisi RUU nomor 12 tahun 2016 dalam Prolegnas DPR periode 2015-2019, ternyata juga berada di urutan 59 dari 170 RUU yang tengah mengantre untuk dibahas.

Berdasarkan data Sekretariat Komisi III DPR RI, landasan dari revisi undang-undang tersebut ialah pengakuan terhadap eksistensi diaspora Indonesia di luar negeri dan sistem dwi kewarganegaraan yang telah diadopsi oleh banyak negara di dunia. Para wakil rakyat diharapkan meninjau ulang kebijakan dwi kewarganegaraan dengan berbagai bukti manfaat terhadap negara asal, khususnya di negara-negara dengan jumlah penduduk besar. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia.

Sasaran utama revisi tak lain pengaturan status dwi kewarganegaraan yang memungkinkan para diaspora WNA mendapat status di luar negeri maupun di negara asalnya sendiri, yakni Indonesia. Beberapa hal yang harus diatur misalnya tentang tata cara dan syarat memperoleh kewarganegaraan ganda di Indonesia, cakupan subyek warga negara yang dapat diberikan kewarganegaraan ganda, tata cara pelaporan kewarganegaraan asal, atau pengaturan sanksi.

“Perjuangan untuk mendapatkan dwi kewarganegaraan ada sejak tahun 2012. Sampai saat ini banyak langkah sudah sudah dilakukan,” kata Ebed Litaay, Presiden Indonesian Diaspora Network [IDN] Global kepada tirto.id, pekan lalu.

Infografik Dwikewarganegaraan Payung Hukum Dwikewarganegaraan

Jalan Keluar Sementara

Meski aturan tentang diaspora masih jauh untuk dibahas oleh para wakil rakyat, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri ternyata mempersiapkan “jalan keluar sementara”, yakni menerbitkan Kartu Diaspora Indonesia. Kartu yang akan mempermudah akses masuk para diaspora ke Indonesia tanpa mengurus visa. Kartu tersebut juga memungkinkan pemerintah melakukan pendataan jumlah diaspora Indonesia, baik yang masih berstatus WNI maupun telah WNA.

"Kementerian Luar Negeri sedang dalam proses membuat Kartu Diaspora warga negara Indonesia," ujar Retno Lestari Priansari Marsudi, Menteri Luar Negeri, saat rapat kerja dengan Komisi I DPR, pada Rabu (31/8/2016).

Menurut Retno, saat ini juga sudah ada kebijakan berupa kemudahan bagi diaspora Indonesia yang telah melepas status WNI untuk menjadi pengunjung tetap di Indonesia. Yakni melalui kartu izin bersifat multiple, yaitu Izin Tinggal Tetap [Itap]. Jangka waktu kedaluwarsa status kunjungan tersebut selama 5 tahun dan dapat diperpanjang.

Setiap diaspora Indonesia yang sudah menjadi WNA, kini bisa dengan mudah pulang-pergi ke Indonesia. Syaratnya, harus bisa menujukkan surat-surat yang menjadi bukti bahwa dirinya pernah menjadi WNI. Bisa dari bekas paspor Indonesia, bekas KTP, atau surat akta kelahiran.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurus visa tinggal terbatas (Vitas) untuk kembali ke Indonesia. Seseorang yang ingin tinggal di Indonesia harus mengajukan permohonan pada perwakilan RI di negara tempatnya tinggal. Dalam proses itu, perwakilan RI akan mengajukan permohonan pada Direktorat Jenderal Imigrasi Indonesia dan dikenakan biaya telegram surat persetujuan visa sebesar Rp100 ribu. Surat tersebut nantinya akan diberikan cap tanda masuk saat kedatangan. Setelah itu, dilanjutkan mengurus Izin Tinggal Terbatas (Itas). Bakal dilakukan pengambilan sidik jadi dan wawancara sebelum akhirnya Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) diterbitkan.

Selain biaya telegram, pengurusan Vitas juga dikenakan biaya sesuai jangka waktu tinggal di Indonesia. Jika berkeinginan tinggal paling lama 6 bulan, misalnya, biayanya sebesar USD 55 atau sekitar Rp 716.737. Sementara jika 1 tahun, nya USD 105 atau setara Rp 1.368.316. Jika ingin jangka waktu terpanjang, tinggal selama 2 tahun, biayanya USD 180 atau Rp 2.410.400.

Nah, bagi WNA yang pernah menjadi WNI, bakal diberi kemudahan untuk melakukan alih status Vitas menjadi Itap begitu sampai di Indonesia. Permohonan tersebut diajukan memalui kantor imigrasi yang wilayah kerjanya terdekat dengan tempat tinggalnya.

Itap diberikan untuk jangka waktu 5 tahun. Namun, bisa dilakukan perpanjangan untuk jangka waktu tidak terbatas dengan ketentuan sepanjang izin tinggalnya tidak dibatalkan. Itap bisa hangus jika tidak melakukan perpanjangan dalam waktu 5 tahun. Selain itu bakal berakhir pula fungsinya, jika yang bersangkutan memiliki paspor Indonesia.

Hal lain yang bisa membuat Itas nonaktif jika dicabut oleh pejabat imigrasi atas klausul tertentu. Misalnya terlibat dalam separatisme, tindak pidana, melanggar Pernyataan Integrasi, mempekerjakan tenaga kerja asing tanpa izin kerja, dan sebagainya.

Ada beberapa persyaratan untuk memperoleh Itas. Misalnya, mampu menunjukkan bukti memiliki biaya hidup bagi dirinya dan/atau keluarganya selama berada di wilayah Indonesia. Tidak menderita penyakit menular, gangguan jiwa, atau hal lain yang dapat membahayakan kesehatan atau ketertiban umum. Kemudian tidak terlibat tindak pidana transnasional yang terorganisasi atau membahayakan keutuhan wilayah NKRI.

“Kami sudah dibantu oleh pemerintah terkait dengan visa izin kerja dan izin tinggal. Sudah lebih mudah daripada sebelumnya,” kata Ebed Litaay, Presiden Indonesian Diaspora Network [IDN] Global.

Baca juga artikel terkait DIASPORA atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Hukum
Reporter: Dieqy Hasbi Widhana
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti