tirto.id - Catatan Redaktur: Narasumber dalam artikel ini kami anonimkan demi keamanan mereka.
==========
“I” mulai berhati-hati dalam beraktivitas di sosial media belakangan ini. Dalam beberapa pekan terakhir, dia dan teman-temannya yang menjalani studi di luar negeri sedang menjadi incaran beberapa orang. Itu terjadi setelah I dan teman-temannya menyelenggarakan Aksi Kamisan di negara tempat mereka menuntut ilmu.
"Awalnya itu ada sekitar 2-3 orang bertanya kepada kami, ‘siapa yang bikin Aksi Kamisan, lokasinya di mana, dan segala macam.’ Tapi, itu enggak kami jawab karena nomornya gak dikenal. Pas kita cek pakai Get Contact, itu ada yang [tercatat] nomor polisi atau tentara gitu," cerita I kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
I juga menjelaskan bahwa ada beberapa rekannya yang mendapat pertanyaan dari kedutaan besar (KBRI) atau konsulat jenderal (KJRI) terkait detail kegiatan mereka. Bahkan, pada salah satu Aksi Kamisan, mereka didatangi seorang petugas keamanan yang sedang bertugas di negara yang mereka tempati.
"Dia mahasiswa juga, tapi kami memang tidak kasih tahu ke dia [terkait aksi ini]," terang I.
Kelompok mahasiswa Indonesia di luar negeri banyak yang mulai membentuk organisasi nonformal. Organisasi itu fokus pada diskursus keadilan sosial dan menyoroti isu-isu yang terjadi di Tanah Air. Sayangnya, seperti cerita I, mereka juga menjadi incaran pihak yang mereka sebut sebagai "penguasa".
Bagi yang mau support, ini gerakan2 mereka:
— Logos ID (@logos_id) March 23, 2025
1. Melbourne Bergerak (https://t.co/W8Pq6RVjJM)
2. Jong Columbia (https://t.co/aI0Ij9t9hI)
3. Aksi Kamisan NYC (https://t.co/PrWvSROLI5)
4. Jong Eropa (https://t.co/8uL6NzN8X9)
5. @londonbergerak (https://t.co/YfzQStWvHh)
Jaringan akademisi di berbagai negara itu berupaya menyebarluaskan informasi soal kondisi di Tanah Air. Mereka, misalnya, menyebarkan rangkuman aksi-aksi penolakan revisi UU TNI pada 20 Maret 2025 yang berakhir ricuh.
Mereka menerjemahkan informasi terkait gerakan di Indonesia ke sejumlah bahasa asing agar komunitas internasional memahami kondisi yang terjadi di Indonesia.
Awalnya, organisasi tempat I bernaung bermaksud menjadi forum diskusi masyarakat Indonesia untuk menyebarkan informasi ke publik. Namun, beberapa kejadian di Tanah Air belakangan mendorong mereka membuat gerakan.
Namun, gerakan ini juga cukup yakin bahwa perjuangan belum selesai. Sebab, usai revisi UU TNI disahkan jadi UU, isu-isu mengenai rencana pembahasan revisi UU Polri juga sampai ke telinga mereka. Menurut mereka, ini bisa lebih berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia.
“Paling parah RUU Polri karena ketika polisi masuk ke siber, semua [orang] bisa hilang,” tutur “I”.
Bahasa Inggris pic.twitter.com/9tkKKN3HYC
— Logos ID (@logos_id) March 24, 2025
Berbuah Teror di Ranah Digital
Tak hanya ditujukan kepada elemen-elemen gerakan protes di dalam negeri, intimidasi rupanya juga menyasar para diaspora asal Indonesia yang kritis.
I dan kawan-kawannya sejauh ini tak mengalami sesuatu yang bikin khawatir. Namun, jaringan mahasiswa Indonesia di negara lain ada yang sampai didatangi aparat saat melakukan sesi diskusi. Bahkan, ada juga yang mendapat teror di ranah digital.
"Di sini, nuansanya lebih ke serangan siber dan upaya penggembosan sana-sini ,lewat grup WhatsApp misalnya,” cerita N, salah seorang diaspora Indonesia.
Menurut N, ada salah satu anggota kelompoknya yang dicurigai melakukan upaya peretasan atau penghimpunan informasi dengan modus menyebarkan tautan tertentu.
“Target mereka tampaknya memang mau gertak sambal biar bikin demoralisasi komunitas mahasiswa,” terang N.
Beruntungnya, sistem keamanan data pribadi dari kampus tempat N menutut ilmu cukup mumpuni untuk menangkal upaya pencurian data kemahasiswaan.
Bukannya bikin takut, N mengatakan bahwa upaya serangan digital itu justru memacu organisasi diaspora tempatnya bernaung meningkatkan kapasitas untuk mencegah peretasan. Mereka membuat workshop memperkuat keamanan dan memitigasi serangan digital.
Sementara itu, I tak memungkiri bahwa beberapa teman mahasiswanya yang berangkat studi dengan beasiswa LPDP dihinggapi kekhawatiran. Mereka takut beasiswanya dicabut sehingga tak bisa melanjutkan studi.
Meski demikian, semangat para diaspora Indonesia dalam gerakan protes terhadap kebijakan pemerintah yang tak prorakyat secara umum masih kuat.
Citra Internasional Masih Penting
Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, mengapresiasi gerakan organisasi mahasiswa di luar negeri yang peduli terhadap isu-isu di dalam negeri. Menurutnya, upaya mereka tergolong efektif.
Apa pun bentuknya, dari sekadar menyebarkan informasi sampai melakukan protes, bisa membuka mata masyarakat dunia.
“Apa yang dilakukan Mahasiswa indonesia di luar negeri bagus. Ini bentuk perlawanan yang sangat efektif karena pemerintah masih sangat peduli citra mereka di luar negeri,” tutur Kunto kepada Tirto, Senin (24/3/2025).
Menurut Kunto, efektivitas aksi mahasiswa di luar negeri itu tercermin dari intimidasi atau upaya serangan digital yang mereka terima. Itu menunjukkan bahwa memang ada pihak-pihak di kekuasaan yang jengah dengan kegiatan protes mereka.
“Kenapa ini jadi seperti ketakutan berlebihan? Karena, penguasa masih ingin terlihat punya role besar di luar negeri,” terang Kunto.
Lebih lanjut, pemerintah saat ini juga masih sangat mengharapkan datangnya investasi luar negeri, apalagi setelah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat terjun bebas beberapa waktu lalu. Maka mereka berkepentingan untuk menjaga citra Indonesia yang aman sehingga investor tertarik.
Kunto juga menyoroti upaya “sensor” oleh pemerintah terhadap aksi-aksi organisasi mahasiswa di luar negeri. Menurutnya, sensor semacam itu justru akan memantik perlawanan yang lebih kuat.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, juga melontarkan komentar serupa. Dia mengapresiasi gerakan organik diaspora serta mahasiswa Indonesia di luar negeri.
Menurut Rizky, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh para diaspora itu menunjukkan bahwa mereka punya perhatian besar terhadap kondisi negeri asalnya.
Lebih lanjut, Rizky menjelaskan bahwa pendekatan keamanan yang digunakan untuk menekan gerakan para diaspora itu bukanlah barang baru.
Upaya semacam itu—dengan cara yang berbeda—pernah dilakukan untuk meredam protes-protes warga perihal pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 lalu. Kala itu, penguasa melakukan upaya intelijen dan deteksi dini untuk mencegah dan meredam unjuk rasa.
Lewat patroli siber di media sosial, kemudian muncul kontranarasi atas narasi yang mendiskreditkan pemerintah.
“Jadi, apa yang terjadi sekarang, bagaimana polisi atau tentara mencari mahasiswa di dalam maupun luar negeri, ini bagian dari pendekatan yang tidak asing ketika pemerintah menghadapi kritik terhadap proses pengambilan keputusan kebijakan yang bermasalah,” tutur Rizky.
Secara umum, menurut Rizky, masyarakat yang tadinya cenderung apolitis sekarang mulai banyak yang tergugah. Kelompok-kelompok pelajar tingkat menengah, fan sepak bola, pelaku seni, sampai penggemar K-Pop kini secara terbuka menunjukkan perhatiannya terhadap isu politik.
Bagi Rizky, itu adalah sesuatu yang positif bagi iklim demokrasi di Indonesia.
“Ini diharapkan menjadi penambah kekuatan. Supaya, ada kekuatan kolektif yang semakin terkonsolidasi. Sehingga, apa yang dilakukan pemerintah selalu diawasi masyarakat luas. Kekuatan kolektif ini, dengan konsolidasi yang lebih kuat, semakin bisa mengawal proses pembuatan kebijakan dan peraturan ke depan,” tambah Rizky.
Konsolidasi kekuatan koletif itu juga tumbuh di gerakan diaspora Indonesia di luar negeri. N mengatakan bahwa orang-orang yang tergabung dalam organisasi atau gerakannya terus bertambah seiring berjalannya waktu. Mereka yang tadinya gelisah sendirian, akhirnya menemukan ruang untuk berbagi keresahan secara kolektif.
Mereka yang awalnya apatis juga perlahan semakin mendalami dan mau memahami labih jauh permasalahan dalam negeri maupun isu internasional yang terkait dengan Indonesia.
“Yang paling menyentuh adalah mereka yang awalnya takut bersuara—karena status sebagai penerima beasiswa atau kekhawatiran terhadap respons institusi, terutama mereka yang statusnya ASN—sekarang jadi lebih yakin dan berani angkat suara. Mereka merasa tidak sendiri,” tutur N.
Jadi, selain berdampak secara eksternal dalam membangun atensi publik, gerakan diaspora juga menciptakan ruang aman dan suportif bagi sesama diaspora untuk belajar, bertanya, dan bergerak bersama.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Fadrik Aziz Firdausi