tirto.id - Jumlah uang yang ditransfer masuk ke Indonesia oleh para diaspora Indonesia cukup besar. Pada 2013, jumlahnya mencapai Rp491,32 triliun atau $40,44 miliar. Saat itu, jumlah diaspora tercatat sekitar 6 juta hingga 8 juta orang.
Data yang disodorkan Tim Advokasi Dwi Kewarganegaraan dan Keimigrasian Diaspora Indonesia itu tentu mencengangkan, sebab nilai remitansi tersebut setara dengan 32 persen pendapatan APBN tahun 2013 sebesar Rp1.529,7 triliun.
Uang yang masuk dari para diaspora itu di antaranya berasal dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI), baik yang bekerja di sektor formal maupun informal. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), para domestic migrant workers pada tahun itu memberi kontribusi senilai $7,4 miliar atau sekitar Rp88,6 triliun.
Nilai remitansi dari para TKI tersebut meningkat dari sejumlah $6,9 miliar atau Rp82,6 triliun pada tahun sebelumnya. Padahal, jumlah tersebut tidak termasuk jumlah uang tunai yang dibawa secara langsung oleh TKI atau yang dititipkan kepada teman sesama TKI saat pulang ke tanah air. Jika ditotal, semua remitansi TKI per tahunnya kurang lebih Rp120 triliun.
Semua hitungan tersebut, juga belum termasuk uang yang dibawa diaspora Indonesia saat berkunjung ke tanah airnya untuk liburan, bisnis dan keperluan lainnya. Juga belum terhitung mereka yang melakukan transfer uang melalui jasa western union, moneygram, wesel pos, atau money order.
Angka remitansi TKI meningkat lagi menjadi $8,4 miliar atau Rp109 triliun pada 2014. Jika dikomparasikan, maka jumlah tersebut lebih besar dari anggaran pertahanan sesuai APBN 2014. Atau hampir sebesar anggaran pendidikan di APBN yang sama.
9 Juta Diaspora
Globalisasi telah menyebabkan sekat antarnegara semakin pudar. Setiap orang bisa dengan mudahnya melakukan perpindahan dari satu negara ke negara lain.
Orang Indonesia yang berpindah melampaui batas administratif wilayah negara dan turut berkontribusi bagi Indonesia inilah yang disebut sebagai diaspora Indonesia. Berbeda dengan imigran, diasporik tak rela melepaskan identitas aslinya atas dasar keterikatan emosional terhadap tanah airnya. Maka wajar jika mereka masih “membantu” Indonesia dari jauh.
Menurut Ebed Litaay, Presiden Indonesian Diaspora Network [IDN] Global, saat ini ada sekitar 8 juta hingga 9 juta warga diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara. “Ada 6 juta diaspora WNI dan kira-kira 2 juta WNA diaspora,” kata Ebed saat berbincang dengan tirto.id.
Setidaknya ada tiga kelompok diaspora Indonesia. Pertama, mereka yang masih memegang paspor Indonesia secara sah atau WNI. Kedua, orang Indonesia yang telah menjadi warga negara asing (WNA) karena proses naturalisasi dan tidak lagi memiliki paspor Indonesia. Kemudian ketiga, warga negara asing yang memiliki orang tua atau leluhur yang berasal dari Indonesia.
“Diaspora adalah orang Indonesia yang merantau. Ada yang WNI, ada yang WNA dan juga ada orang diaspora yang ada keterlibataan dengan Indonesia,” tuturnya.
Sementara diaspora dari kelompok pertama atau WNI, terbagi menjadi dua yakni domestic migrant workers yang sering disebut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja Wanita (TKW). Ada pula non domestic migrant workers seperti para profesional, pebisnis, pelajar dan orang-orang Indonesia lainnya yang tinggal di luar negeri baik sementara atau permanen.
Ada berbagai alasan mengapa orang Indonesia berani menjadi diaspora, baik yang masih WNI atau sudah WNA. Selain alasan paling umum mencari penghasilan, beberapa alasan lain di antaranya menuntut ilmu, agama, pilihan politik, perluas jejaring bisnis, atau agar mendapat kepastian hak dan keamanan di negara tempat tinggalnya.
Diaspora Indonesia kebanyakan merasa terasing dan terisolasi dari negara asalnya. Meski begitu, mereka ternyata tetap mempertahankan memori kolektif, visi, atau mitos tentang tanah kelahirannya. Oleh sebab itulah, menurut Ebed, hubungan di antara diasporik Indonesia bisa ditingkatkan justru untuk menguatkan Indonesia dari jarak yang jauh.
Tersebar di 42 Negara
Terbentuknya Indonesian Diaspora Network [IDN] Global merupakan upaya untuk memperkuat hubungan di antara para diasporik dalam kaitan bisa memberi kontribusi bagi tanah airnya. Anggota IDN Global tersebar di 78 cabang di 42 negara.
Kini, salah satu yang diharapkan adalah munculnya aturan tentang dwi kewarganegaraan yang membuat mereka bisa lebih mudah mengakses Indonesia. Apalagi, para diaspora Indonesia yang tak lagi memiliki status WNI ini memiliki berbagai keahlian yang bisa membantu mendorong kemajuan Indonesia.
“Diaspora Indonesia yang tinggal di luar negeri, seringkali sudah memiliki keahlian sama seperti negara yang dia berdomisili. Contoh teman-teman di Belanda, sudah ahli seperti orang Belanda di bidang water management. Keahlian ini bisa langsung dipakai untuk masalah-masalah banjir di Indonesia,” ujar Ebed.
Jika merujuk pada data Kongres Diaspora Indonesia Network ke-II, didapati fakta bahwa orang Indonesia di Amerika Serikat memiliki pendapatan rata-rata sebesar $59.000 per tahun. Jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pendapatan warga Amerika Serikat senilai $45.000 per tahun.
Tak hanya itu, sebanyak 48 persen warga diaspora Indonesia di negeri Paman Sam juga memiliki kualitas akademik di atas sarjana. Sementara, penduduk AS sendiri yang memiliki kualitas akademik serupa, jumlahnya hanya 27 persen.
Sebagai bentuk kepedulian nyata terhadap Indonesia, IDN Global memiliki gugus-gugus tugas yang memberikan kontribusi nyata buat Indonesia. Misalnya gugus tugas medical health care yang mengirim alat kesehatan ke Indonesia untuk meningkatkan kesehatan. Ada bantuan berupa sosial operasi luka bakar, katarak, dan bibir sumbing.
“Ada banyak proyek yang sudah jalan dan nyata. Rehabilitasi Kota Lama Semarang, Kota Tua Jakarta, atau tambang timah di Bangka. Juga membantu masalah sampah dengan Indonesian waste platform,” kata Ebed.
Para diaspora Indonesia tetap memiliki kepedulian terhadap tanah leluhurnya. Para diaspora, siapa pun mereka, telah memberi sumbangan bagi negara. Selain uang, juga tenaga, pikiran dan rasa cinta terhadap Indonesia.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti