tirto.id - Tatkala cahaya sore mulai merunduk di pelataran Panti Pareden, tepat selepas azan Asar berkumandang lembut di langit Magangan, Keraton Yogyakarta, udara mengendap dalam suasana penuh khidmat. Hari itu, Rabu, 4 Juni 2025, menjadi salah satu hari istimewa bagi pusaka tradisi yang masih terselenggara di Keraton Yogyakarta, yakni upacara Numplak Wajik.
Lima mustaka atau gunungan telah berjejer rapi di halaman Panti Pareden sejak siang, seolah menunggu restu langit dalam prosesi sakral itu. Di sisi lain, Gejog Lesung, perangkat musik tradisional dari kayu gelondongan, masih tersembunyi hening di balik balutan plastik hitam, seakan menjaga kesakralannya sebelum dimainkan.
“Sebentar lagi akan mulai, Mas,” ucap seorang Abdi Dalem muda bernama Sastro, sambil melirik langit yang mulai berwarna jingga. Proses itu biasanya dihelat sehabis Asar atau sekitar pukul setengah empat.
Perlahan tapi pasti, suasana sekitar Panti Pareden mulai ramai oleh kehadiran warga dan pelancong yang haus akan nuansa kebudayaan. Mereka datang bukan sekadar untuk melihat, melainkan juga menyaksikan denyut kehidupan nadi budaya yang hanya berdetak tiga kali dalam setahun, sebuah warisan yang tak ternilai harganya.
Tak berselang lama, tirai penutup Gejog Lesung dibuka. Dalam satu irama yang seolah berasal dari kedalaman bumi, Abdi Dalem memukulnya serentak. Sontak suara lesung menggema, menggetarkan dada, menyambut langkah Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi yang muncul dari arah utara, dari Regol Kemagangan menuju pusat prosesi upacara.
Rombongan Abdi Dalem Keparak yang dipimpin langsung oleh GKR Mangkubumi itu berjalan perlahan. Kehadiran mereka adalah pertanda bahwa upacara Numplak Wajik akan segera dimulai. Setiap langkahnya disambut irama Gejog Lesung yang sarat makna spiritual. Bahkan, masyarakat sekitar meyakini bahwa alunan itu mampu mengusir bala dan aura jahat dari lingkungan sekitar.
Bunyi Gejog Lesung bukan sekadar dentingan kayu beradu. Ia adalah suara dari masa lalu, bunyi-bunyian itu dahulu digunakan untuk menumbuk padi, yaitu lesung dan alu.
Secara etimologis, gejog berarti menabuh atau memukul, sementara lesung adalah alat penumbuk. Dalam tradisi keraton, ia menjelma perangkat ritual, menjadi pengiring sakral dalam upacara Numplak Wajik, sebuah harmoni relasi budaya dan doa.
Di tengah-tengah Panti Pareden, doa dibacakan oleh Abdi Dalem Kanca Aji. Alunan kalimat-kalimat spiritual membubung tinggi menembus langit senja, mengawali prosesi sakral. Seusai doa, wadah berbentuk landasan kayu berwarna merah yang disebut jodhang mulai disiapkan. Di atasnya, gunungan akan ditancapkan dan diarak dalam upacara Grebeg sebagai lambang sedekah raja kepada rakyat.
Tak lama, sebakul besar wajik, kudapan manis yang terbuat dari ketan dan gula merah, dituangkan di atas jodhang. Inilah momen inti numplak wajik, menuangkan adonan sebagai simbolisasi limpahan rezeki dan keberkahan dari istana kepada rakyatnya. Di atas tumpukan wajik itu, mustaka gunungan satu per satu diangkat dan ditancapkan hingga membentuk gunungan utuh.
Prosesi ini tak pernah hening sedetik pun, Gejog Lesung terus mengiringi seolah menciptakan atmosfer spiritual yang dalam. Ketika wajik telah tertumpah rapi, ia dililit sinjang (kain panjang) lalu dilapisi semekan, kain penutup dada perempuan yang juga dikenal sebagai bangun tulak.
Ketika akhirnya Gejog Lesung berhenti ditabuh, berakhirlah prosesi. Namun, keheningan tak berlangsung lama sebab satu ritus kecil tapi sarat makna segera menyusul pembagian lulur dlingo bengle.
Rempah berwarna kuning keemasan, berbentuk lulur, dibagikan oleh para Abdi Dalem kepada khalayak yang hadir, tak peduli rakyat biasa atau wisatawan dari negeri nun jauh.
Tangan-tangan menadah, mereka tampak bergegas berebut menerima sedikit berkah dalam wujud sederhana itu. Salah satunya adalah Nurhayati, seorang ibu berusia 48 tahun yang dengan khidmat memegang dlingo di kedua tangannya.
“Acara ini kan setiap tahun, Mas. Katanya dlingo (jerangau)dari keraton membawa berkah dalem,” ucapnya dengan mata berbinar yakin.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, jerangau dan bangle adalah rempah-rempah yang aromanya tak disukai oleh makhluk halus. Maka, lulur ini tak hanya jadi simbol perawatan diri, tapi juga perlindungan dari hal-hal tak kasat mata.
Kanjeng Raden Tumenggung Rintaiswara, Penghageng II Kawedanan Widya Budaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat, menjelaskan bahwa lulur jerangau merupakan warisan perawatan diri perempuan Jawa, jauh sebelum kosmetika modern bermunculan.
“Segala hal yang berasal dari keraton, bagi masyarakat, [dianggap] punya nilai lebih, punya daya spiritual,” ucapnya sambil tersenyum. Ia sendiri turut menerima lulur jerangau sore itu sebagai bentuk ikhtiar dan rasa hormat pada warisan leluhur.
Lulur, katanya, adalah seperti personifikasi wanita jawa yang tengah merawat diri menjelang peristiwa penting, misalnya pernikahan. Ia adalah lambang kecantikan lahir dan batin. Dalam konteks upacara ini, ia juga diyakini sebagai penolak bala. Bahkan dalam tradisi Jawa, saat ada orang wafat, masyarakat kerap menaruh jerangau dan bangle di depan pintu untuk menangkal aura buruk dari almarhum.
“Ini penghormatan kepada perempuan, tentang keindahan, dan juga bentuk penjagaan terhadap hal-hal tak kasat mata,” tuturnya.
Upacara Numplak Wajik pada dasarnya adalah pertanda dimulainya persiapan Grebeg Besar iring-iringan sakral dari Keraton Yogyakarta. Gunungan yang disusun dari makanan itu kelak akan diarak dan dibagikan kepada warga.
Dalam setahun, Keraton Yogyakarta menyelenggarakan setidaknya tiga acara seperti itu: Grebeg Mulud untuk memperingati Maulid Nabi, Grebeg Syawal sebagai penutup Ramadan, dan Grebeg Besar untuk menyambut Iduladha. Dengan begitu, secara otomatis ada tiga kali Numplak Wajik setiap tahun.
Di pengujung senja hari itu, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi memohon doa restu kepada semesta dan rakyat agar prosesi Grebeg yang akan datang pada 7 Juni nanti bisa berjalan lancar tanpa halangan.
“Ya, kita mohon doa restu agar acara Grebeg berjalan dengan baik dan lancar,” ucap beliau, menutup hari dengan harap dan dengan disusul derap langkah meninggalkan panti pareden.
Penulis: Abdul Haris
Editor: Fadli Nasrudin