Menuju konten utama
Mozaik

Nasib Hoakiau di Indonesia pada Era Demokrasi Terpimpin

Tahun 1960-an, orang-orang Tionghoa di perdesaan Indonesia mengalami penindasan akibat proses administrasi soal dwikewarganegaraan yang berlarut-larut.

Nasib Hoakiau di Indonesia pada Era Demokrasi Terpimpin
Header Mozaik Pengusiran Tionghoa dari Kecamatan. tirto.id/Tino

tirto.id - Warsa 1959, Antara mewartakan "peristiwa kebakaran" di wilayah Pemangkat yang kini masuk ke dalam Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Pelabuhan laut utama, termasuk toko, perusahaan, dan gudang hasil bumi ludes dilalap api. Kebetulan, properti yang porak-poranda itu banyak dimiliki oleh etnis Tionghoa.

Berita dari Antara merupakan satu dari sekian kasus yang mengemuka akibat sentimen anti-Tionghoa. Potret kelam di masa Demokrasi Terpimpin ini, jika ditarik ke belakang, berhulu pada kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) tentang dwikewarganegaraan pada 1955.

Dikutip dari situs peraturan.bpk.go.id, tentang "Persetujuan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganeraan", kala itu, Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Sunario selaku Menteri Luar Negeri, meneken Perjanjian Dwikewarganegaraan dengan Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai pada 22 April 1955 di Konferensi Asia Afrika di Bandung. Di sinilah pangkal masalah terjadi, karena pemberlakukan dari kesepakatan ini tak kunjung menjadi aturan formal (de jure), karena berkali-kali mandek di meja sidang DPR RI.

Akibat proses administrasi yang berlarut-larut dalam sidang dewan, banyak orang Tionghoa gagal bersulih menjadi WNI. Alhasil, banyak orang Tionghoa, yang secara administratif belum menjadi WNI, melakukan aktivitas perniagaan di Indonesia.

Masalahnya, perniagaan orang-orang Tiongkok ini berpengaruh sangat kuat terhadap perekonomian Indonesia. Alhasil, gaung Indonesianisasi bergema di seantero negeri. Ujaran kembalikan perekonomian kepada pribumi menjadi slogan kampanye di mana-mana.

Larangan Berniaga bagi Orang Tionghoa

Gelombang Indonesianisasi menemui jalannya ketika Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit ini menempatkan satu poin penting, yaitu menetapkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara, sehingga UUDS 1950 tidak berlaku lagi. Seiring dengan penetapan dekrit tersebut, semangat untuk melakukan Indonesianisasi menggema di semua aspek, tak terkecuali di sektor perdagangan.

Usai dekrit diberlakukan, muncul manifestasi yang semakin nyata menyoal Indonesianisasi di sektor perdagangan. Manifestasi tersebut bernama Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 1959 (PP No. 10/1959). Aturan yang ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada 16 November 1959 ini secara khusus memberikan pembatasan di sektor perniagaan bagi bangsa asing (Tionghoa, Arab, Keling, Jepang, dll).

Dikutip dari Lembaran Negara Tahun 1959 yang telah dicetak ulang (LN 1959/128), PP No. 10/1959 adalah aturan Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I dan II serta Keresidenan. Aturan ini menyasar semua orang asing yang melakukan aktivitas perniagaan.

Mengutip Wanda Mulia dalam Proses-proses Perobahan dalam Struktur Perdagangan dan Sedjak Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin (1960), Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fak. Ekonomi, Universitas Indonesia, "Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 10/1959, dengan akibat bahwa perdagangan ketjil dan perantara di luar kota-kota jang dahulu dipegang golongan asing harus dialihkan pada koperasi dan warung/ toko etjeran nasional."

Namun, pada kenyataannya, aturan ini menjadi gada pemukul terkeras bagi etnis Tionghoa. Tak hanya aktivitas berniaga, aturan ini semakin gagal dicerna oleh aparat karena status kewarganegaraan yang dipersoalkan. Alhasil, banyak penyelewengan yang terjadi, bahkan tindakan tak manusiawi yang menimpa etnis Tionghoa seiring pemberlakuan PP No. 10/1959.

Salah Terjemah dalam Perintah

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Hoakiau di Indonesia (1960) secara khusus menyoroti persoalan orang-orang Tionghoa akibat diterbitkannya PP No. 10/1959 tersebut. Pram secara terbuka menyimpulkan bahwa PP No. 10/1959 adalah bentuk diskriminasi, bahkan pelanggaran hak asasi manusia di era Demokrasi Terpimpin.

Tionghoa perantauan di Indonesia, yang dalam bahasa Pram disebut Hoakiau, mendapat perlakuan buruk, bahkan tak manusiawi. Pengusiran, pembakaran toko, bahkan pembunuhan menjadi akibat langsung dari penerapan PP No. 10/1959. Menurut Pram, setengah juta orang Tionghoa terusir dari rumahnya akibat aturan ini.

"Setengah juta orang! Setengah juta!… Apakah jumlah ini tidak bicara apa-apa? Apakah sudah begitu rusak instalasi kemanusiaan kaum rasialis ini? Setengah juta orang puyang-poyong hidup tidak menentu! Setengah juta!… Sebuah kota dengan daerah peminggirnya, kakek-nenek, kanak-kanak, ibu-ibu yang sedang mengandung, perjaka dan perawan yang hidup bermimpikan hari depan, anak-anak sekolah… tak tahu lagi apa besok bakal terjadi, karena sumber air telah menjadi kering, air kehidupan itu! Mereka laksana menunggu ajal, tergantung pada persediaan air di rumah, yang pasti besok atau lusa, pun akan menjadi kering pula,” tulisnya dalam Hoakiau Indonesia (1960: 68).

Kegeraman Pram sangat masuk akal. Pasalnya, akibat PP No. 10/1959, banyak usaha perniagaan kaum Hoakiau yang gulung tikar dan hancur. Bahkan, imbas lebih luas dari aturan ini adalah terjadi eksodus besar-besaran.

J.A.C. Mackie dalam Anti-Chinese Outbreaks in Indonesia 1959-1968, in The Chinese in Indonesia: Five Essays (1976:77-183) menyebutkan bahwa akibat dari peraturan ini, diperkirakan 83.783 toko kecil milik Hoakiau di perdesaan terpaksa pindah ke ibu kota kapubaten/kota. Dan sekitar 25.000 toko lainnya langsung gulung tikar.

Richard Robison dalam Indonesia: The Rise Capital (1986: 425) menyebutkan angka yang mencengangkan, yaitu sekitar 120.000 orang Hoakiau meninggalkan Indonesia.

Tindakan represif dari aparat militer semakin menambah runyam persoalan. Militer menjadi garda terdepan pelaksanaan PP No. 10/1959, karena saat itu, situasi negara berada dalam darurat militer (staat van orlog beled) yang diatur dalam UU Keadaan Bahaya 1957.

Salah terjemah dalam perintah sebagai wujud implementasi dari PP No. 10/1959, yang seharusnya hanya melarang soal perdagangan, diterjemahkan juga dengan larangan bertempat tinggal. Pengusiran, pembakaran toko dan gudang, hingga pembunuhan terhadap etnis Tionghoa menjadi sejarah kelam akibat PP No. 10/1959.

Salah satu peristiwa tragis dari tindakan represif aparat militer terjadi di Cimahi, Jawa Barat. Dikutip dari Tionghoa dalam Pusara Politik: Mengungkap Fakta Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia (2008: 813) karya Benny G. Setiono, pada tahun 1960, militer di bawah komando Kolonel Kosasih menembak mati seorang perempuan Tionghoa yang menolak meninggalkan rumahnya.

Situasi yang tidak kondusif di Indonesia memantik reaksi keras dari RRT. Hubungan diplomatik dua negara menjadi terancam. Nota keberatan dilayangkan Pemerintah RRT melalui Duta Besar-nya, Huang Chen, dan lewat Radio Peking. Mereka mendesak Menteri Luar Negeri, Soebandrio, untuk meninjau ulang pelaksanan PP No. 10/1959. Pemerintah RRT bahkan mengirimkan kapal untuk mengangkut korban PP No. 10/1959 untuk dibawa ke Tiongkok.

Permasalahan akibat PP No. 10/1959 adalah imbas dari mandeknya implementasi Perjanjian Dwikewarnegaraan pada 1955. Pembahasan yang berlarut-larut di tingkat anggota dewan akhirnya memunculkan PP No. 20/1959.

Dikutip dari peraturan.bpk.go.id, PP No. 20/1959 berisi tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok Mengenai Soal Dwikewarganegaraan (UU no. 2 Tahun 1958, Lembaran Negara Tahun 1958 No. 5).

Hanya saja, aturan ini memberikan pembatasan yang tidak cukup rasional di era itu. PP No. 20/1959 memberikan aturan bagi warga negara asing untuk memilih kewarganegaraan antara tanggal 20 Januari 1960 hingga 20 Januari 1962. Tenggat waktu yang sempit dan administrasi yang berlarut-larut membuat banyak warga yang berstatus asing gagal memperoleh status WNI.

Di sisi lain, tenggat waktu tersebut memberikan alasan bagi kaum reaksioner dengan jargon Indonesianisasi dan militer untuk melakukan pengusiran, yang kemudian berujung pada pembakaran dan pembunuhan terhadap kepada orang-orang Tionghoa. Dalih pelaksanaan PP no. 10/1959 dijadikan topeng untuk melegalkan tindakan represif.

Baca juga artikel terkait TIONGHOA atau tulisan lainnya dari Tunggul Tauladan

tirto.id - News
Kontributor: Tunggul Tauladan
Penulis: Tunggul Tauladan
Editor: Irfan Teguh Pribadi