tirto.id - Kehadiran seorang lelaki tua yang tak biasa membuat suasana Masjid Baiturahman Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Jakarta, terasa berbeda. Bagi si lelaki tua, ini adalah Jumat yang istimewa. Ini adalah kali pertama dirinya melaksanakan salat Jumat setelah empat tahun menghuni sel khusus di LP Cipinang—sebelumnya ia dipenjara di LP Nirbaya, Nusakambangan.
Meskipun tak ada larangan khusus, ia merasa perlu minta izin salat Jumat di masjid lapas bersama napi Cipinang lain. Ia minta izin kepada Dirjen Pemasyarakatan yang mengunjunginya seminggu sebelumnya. Dirjen lantas meminta Kalapas Cipinang untuk membahas permintaan itu dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Ketika izin ia dapatkan pada Jumat pagi, lelaki tua begitu senang dan terharu.
Maka menjelang tengah hari ia mandi dan bersiap untuk hari istimewa. Dikenakannya kemeja motif batik, sarung biru, dan tak lupa peci hitam. Kalapas Cipinang menjemputnya ketika waktu salat Jumat tiba. Bersama-sama keduanya ke masjid dan memilih tempat di saf terdepan. Lelaki tua mengikuti prosesi salat Jumat dengan tenang.
Ia baru beranjak dari tempatnya ketika sebagian besar jamaah sudah meninggalkan masjid. Lelaki tua kembali ke sel khusus dengan masih dituntun Kalapas Cipinang. Ketika keluar masjid rupanya banyak narapidana yang sedari tadi penasaran, berkumpul menyaksikannya. Kalapas Cipinang sampai perlu bersuara meminta mereka bubar.
"Sudah-sudah, nggak ada hal-hal yang istimewa. Kalian kembali ke sel," katanya.
Di antara kerumunan itu terdapat wartawan harian Kompas yang menunggu si lelaki tua. Mengingat dirinya yang seorang narapidana politik, ia agak kaget mendapati wartawan tengah menunggunya. Ia baru mau buka omongan setelah Kalapas menjelaskan bahwa wartawan itu telah dapat izin dari Dirjen Pemasyarakatan.
"Ini shalat Jumat pertama bagi saya, sejak empat tahun menjalani hukuman di LP Cipinang," ujarnya sebagaimana kemudian terbit di Kompas (21 Maret 1992).
Lelaki tua lalu bercerita bahwa ini adalah jalannya mendekatkan diri pada Tuhan. Setelah di masa lalu terlalu asyik masyuk dengan keduniawian, di usia senjanya kini kembali mempelajari agama. Ia mendalami Alquran dan berusaha mengamalkannya. Di penjara pula ia sampai pada kesadaran bahwa manusia diciptakan untuk mengabdi pada Tuhan.
"Wajarlah di usia tua ini saya mengabdi pada Tuhan. Jika dulu saya kurang melirik agama, itu hanya karena saya terlampau sibuk pada urusan duniawi," katanya
Subandrio, lelaki tua itu, dulu bukanlah orang sembarangan. Di masa jayanya, ia adalah tangan kanan Presiden Sukarno. Berderet jabatan penting dipikulkan padanya: Wakil Perdana Menteri Pertama, Menteri Luar Negeri dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri, Kepala Badan Pusat Intelijen, Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar), Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (Kotoe), Koordinator Urusan Irian Barat, Ketua Dewan Pengawas Kantor Berita Nasional Antara, hingga Pengurus Besar Front Nasional.
Hingga akhirnya ia jatuh oleh perkara G30S 1965. Dari seorang pejabat terpandang, ia dicaci dan dihina sebagai Durna—pendeta yang jadi guru Pandawa dan Kurawa dalam epos Mahabarata.
“Kerdjanja hanya menimbulkan perpetjahan-perpetjahan, mengadu-domba dan menghasut-hasut gontok-gontokan,” tulis Kompas (16 Juni 1966) mengutip seorang pejabat yang tak mau disebut namanya.
Subandrio sempat divonis mati tapi kemudian diubah jadi hukuman penjara seumur hidup. Di masa hukuman itu, ia kehilangan istri dan anaknya yang wafat dalam waktu berdekatan. Ia diberi umur panjang dan penjara memberinya kesempatan untuk kembali mempelajari agama. Setelah tak ada lagi pertarungan hidup yang mesti ia hadapi, tak ada alasan lagi untuk tak bahagia. Baginya, kini, agama adalah penolongnya melewati sisa usia yang ditakdirkan untuknya.
Sayang, ia tak ingin buka suara lebih banyak. Mungkin ia ingin beristirahat, mungkin juga tak ingin mengorek kenangan lama.
"Sudahlah, saya takut kalau ngomong sama wartawan," katanya lirih menutup pembicaraan dengan Kompas.
Lulusan Sekolah Dokter Jadi Diplomat
Subandrio lahir di Malang pada 15 September 1914. Kusnadi, ayahnya, adalah wedana Kepanjen dan seorang muslim taat. Berasal dari keluarga terpandang dan mapan membuat Subandrio bisa mengecap pendidikan terbaik di masa itu. Di tahun saat Sumpah Pemuda dicetuskan, Subandrio lulus jenjang sekolah menengah.
Demi mewujudkan keinginan jadi dokter, Subandrio lantas hijrah ke Batavia dan masuk Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Di masa inilah ia kemudian mengenal aktivis pergerakan seperti Sukarno. Ia lulus dan jadi dokter pada 1936.
“Soebandrio dokter spesialis bedah. Tugas pertamanya di Semarang, Jawa Tengah, sekarang dikenal dengan nama RS Dr. Karyadi. Setelah ikut bergerak di bawah tanah semasa pendudukan Jepang, pada awal kemerdekaan dia menjabat Kepala Jawatan Penerangan Jawa Tengah,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2011, hlm. 277).
Sejak itu kariernya justru makin jauh dari bidang kesehatan. Pada 1947, di masa Perdana Menteri Sjahrir, ia dikirim ke Inggris untuk membuka kantor penerangan Indonesia. Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, Subandrio pun dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Britania Raya.
Subandrio ditugaskan di London hingga 1954. Ia lalu ke Moskow sebagai Duta Besar RI untuk Uni Soviet. Pada 1956 karier eksekutifnya naik lagi kala dipercaya menduduki posisi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Djuanda. Berada di pusat pemerintahan membuat hubungannya dengan Sukarno kian erat. Terbukti, setelah Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 1959, Subandrio masih dipercaya sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Kerdja I yang dibentuk Sukarno.
Selain jabatan menteri, Subandrio juga diberi tugas oleh Presiden Sukarno sebagai kepala Badan Pusat Intelijen (BPI)--institusi intelijen baru yang dibentukpada November 1959. BPI turut berperan dalam usaha-usaha penumpasan PRRI/Permesta, bersisian langkah dengan duet Presiden Sukarno dan Jenderal Nasution.
“Selama operasi penumpasan PRRI/Permesta, BPI berhasil menempatkan anggotanya di kubu Kolonel Warouw, pemimpin pemberontak,” tulis Julius Pour (hlm. 279).
Subandrio kian moncer kala Sukarno menaikkan posisinya sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Kerja III (Maret 1962-November 1963). Merangkap sebagai Menteri Luar Negeri, ia punya peran penting dalam melobi Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam operasi Indonesia merebut Irian Barat.
Dituduh Terlibat G30S
Karier politik Subandrio yang cemerlang seketika runtuh setelah G30S meletus. Subandrio dituduh comrade in arm-nya PKI dan terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Di media citranya pun memburuk. Ia dilabeli sebagai Durna yang licik, gembong Orde Lama, bahkan dicap komunis.
Awal petaka bagi Subandrio adalah terbitnya Supersemar yang memberi mandat kepada Soeharto untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Mendataris MPRS”.
Sehari setelah Supersemar terbit, PKI dilikuidasi. Setelah itu, Soeharto mendesak Sukarno memecat sejumlah menterinya yang terindikasi kiri. Sukarno tentu menolaknya, tapi ia juga tak bisa berbuat banyak karena kuasanya sudah kikis oleh Supersemar. Pada akhirnya Soeharto bertindak sendiri dengan menangkap 15 menteri loyalis Sukarno pada 18 Maret 1966.
Subandrio adalah salah satu dari menteri-menteri yang diciduk. Ia dan beberapa menteri lain sempat meminta perlindungan ke istana, tapi Sukarno tak bisa melindungi mereka lagi. Sarwo Edhi Wibowo beserta satuan RPKAD meluncur ke Istana untuk menciduk mereka.
Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”
Perkara Subandrio lalu disidangkan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1 Oktober 1966—bertepatan dengan penetapan Hari Pancasila Sakti oleh Soeharto. Sidangnya yang digelar di Gedung Bappenas dibarengi unjuk rasa ratusan orang. Terlepas dari kesalahan-kesalahan Subandrio, sebagian kalangan melihat sidang itu sebagai cara Orde Baru menyingkirkan orang-orang Sukarno secara legal.
“Orang tahu sidang itu cuma show trial karena sebelum digelar sudah divonis bersalah,” tutur wartawan senior Aristides Katoppo sebagaimana dikutip majalah Tempo (9 Juni 2013).
Benar saja, pada 25 Oktober 1966 Mahmilub menjatuhkan vonis mati terhadap Subandrio. Dalam kapasitasnya sebagai kepala BPI, Subandrio dinilai ikut menciptakan situasi yang menguntungkan PKI dengan mengembuskan isu Dewan Jenderal. Ia juga diputus bersalah telah memperkeruh suasana usai G30S dengan pernyataannya “teror harus dibalas dengan kontra teror”.
“Tindak pidana subversi itu dapat terlihat pada perbuatan-perbuatan tertuduh yang dengan maksud-maksud nyata merintangi pemulihan keamanan yang dibebankan pada pundak Pak Harto. Kemudian juga coba mengembalikan atau setidak-tidaknya mempertahankan potensi PKI/G30S, mengurangi arti G30S. Semua tujuan dan perbuatan tertuduh itu ternyata paralel dengan kepunyaan PKI,” tulis Kompas (26 Oktober 1966).
Hukuman mati itu diubah jadi hukuman penjara seumur hidup setelah Subandrio mengajukan grasi pada 1970. Ia mendekam di penjara selama 30 tahun hingga dibebaskan pada 1995 karena alasan kesehatan. Subandrio wafat pada 3 Juli 2004, tepat hari ini 16 tahun lalu.
Editor: Irfan Teguh Pribadi