tirto.id - Malam 11 Maret 1966, usai bertemu dengan Presiden Sukarno di Istana Bogor, Amirmachmud, M. Jusuf, dan Basuki Rachmat langsung meluncur ke Jakarta. Ketiga jenderal Angkatan Darat (AD) itu bergegas menemui Jenderal Soeharto di kediamannya. Bertiga mereka membawa Surat Perintah yang baru saja diteken oleh Sukarno.
Supersemar, demikian kini publik menyebutnya, memberi mandat kepada Soeharto untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden Mendataris MPRS”.
Setelah berkoordinasi dengan sejumlah perwira Kostrad dan perwakilan mahasiswa, Jenderal Soeharto memerintahkan pembuatan rancangan surat keputusan pembubaran PKI. Subuh hari, Jenderal Soeharto, dengan mengatasnamakan Presiden Sukarno, menandatangani surat pembubaran PKI itu. RRI kemudian langsung mengumumkan pembubaran itu pukul 06.00 pagi.
Begitu pengumuman itu tersebar, Jakarta riuh. ABRI dan para mahasiswa berpawai keliling Jakarta. Surat keputusan pembubaran PKI pun diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada warga di jalan-jalan.
“Truk-truk yang berisi pasukan kujang berselang seling dengan truk-truk yang berisi para mahasiswa yang berteriak-teriak sepanjang jalan. Tentara, mahasiswa, serta pelajar seolah-olah berbagi kebahagiaan karena pengumuman pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI),” tulis Kuncoro Hadi dkk dalam Kronik ’65 (2017, hlm. 617).
Keriuhan yang terjadi di Jakarta hari Sabtu itu berkebalikan dengan kemuraman di Istana Bogor. Langkah Jenderal Soeharto bikin Sukarno muntab betul. Baginya Supersemar hanyalah surat perintah teknis, bukan perintah untuk membuat keputusan politik.
Pada 13 Maret Sukarno membuat lagi satu surat perintah kepada Soeharto untuk menganulir Supersemar. Kali ini dengan penekanan “memerintahkan untuk kembali kepada Pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis”.
Presiden bahkan mengutus dua orang kepercayaannya, Wakil Perdana Menteri II Leimena dan Bambang Widjanarko, menemui Soeharto. Keduanya kembali memperingatan Soeharto agar tidak melangkahi wewenang Sukarno. Soeharto bergeming.
Sebagaimana dicatat Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2011, hlm. 179) Soeharto hanya menjawab, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua tindakan yang saya lakukan merupakan tanggung jawab saya pribadi.”
Kejadian itu benar-benar memukul Sukarno. Amirmachmud, Basuki Rachmat, dan Jusuf dipanggil lagi untuk dimintai pertanggungjawaban. Ketiganya kena damprat pula.
“Sampaikan kepada Soeharto, tindakannya salah!” teriak Bung Karno saat ketiganya beranjak pulang.
Tepat saat itu datanglah Menteri Penerangan Kabinet Dwikora Mayor Jenderal Achmadi. Buru-buru ia melaporkan sesuatu yang tampaknya genting sedang terjadi di Jakarta. Ia menyarankan Sukarno agar tak lekas kembali ke Jakarta.
Sukarno balik bertanya mengapa dan jawabannya adalah pukulan kedua Soeharto bagi Sukarno.
“Jenderal Soeharto dan kawan-kawannya justru sedang menyusun nama-nama untuk kabinet baru. Begitu Bapak sampai di Jakarta, mereka pasti akan memaksa minta tanda tangan persetujuan,” jawab Achmadi sebagaimana dicatat Julius (hlm. 180).
Berdasarkan kronik Kuncoro Hadi dkk, hari itu satuan-satuan Polisi Militer AD (Pomad) memang bergerak ke beberapa rumah elite di Jakarta. Yang didatangi itu antara lain Menteri Negara Oei Tjoe Tat, Menteri Listrik dan Ketenagaan Setiadi Reksoprodjo, dan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Soemardjo.
Isu penangkapan menteri-menteri berhembus setelah itu. Menteri Transmigrasi dan Koperasi Mohammad Achadi juga mengakui bahwa ia dijemput Menteri Angkatan Kepolisian Sutjipto Yudodihardjo untuk menghadiri rapat membahas rencana penangkapan sejumlah menteri atas perintah Soeharto.
Meski kejadian-kejadian ini membuat Sukarno marah, gelagat Soeharto ini sebenarnya sudah tercium sejak awal Maret. Soeharto sudah minta izin kepada Sukarno untuk menangkap sejumlah menteri pada 4 Maret. Tentu saja Sukarno langsung menolaknya.
Soeharto tak mundur. Ia lantas menginstruksikan kepada Kemal Idris yang memegang komando pasukan di Jakarta agar mengambil inisiatif. Suatu tekanan kepada Sukarno dilancarkan.
“Inisiatif pertama yang diambil oleh Kemal Idris adalah melindungi pemimpin-pemimpin KAMI, untuk sebagian karena mereka tampaknya sedang berada dalam bahaya dari pihak mahasiswa-mahasiswa GMNI yang sudah dihasut oleh Soekarno dan Soebandrio, dan untuk sebagian untuk sedikit-banyaknya dapat mengontrol aksi mahasiswa,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI (1988, hlm. 405).
Siasat ini penting karena saat itu demonstrasi mahasiswa sedang membesar. Dalam serangkaian demonstrasi di Jakarta mereka menuntut pembubaran PKI dan Kabinet Dwikora. Menghadapi itu Sukarno ambil langkah merombak kabinet pada 21 Februari.
Akan tetapi, kabinet hasil perombakan itu justru membikin demonstran tambah kecewa. Sundhaussen mencatat bahwa salah satu biang kekecewaan itu munculnya departemen baru berjuluk Departemen Urusan Keamanan Khusus yang diisi Letnan Kolonel Sjafei.
Orang Jakarta mengenal Sjafei terkait sepak terjangnya sebagai pimpinan laskar bandit semasa revolusi. Ketika masuk militer, ia tetap membina hubungan dengan eksponen-eksponen kriminil Jakarta. Menurut Sundhaussen, tugas utama departemen ini adalah membersihkan jalan-jalan Jakarta dari demonstran.
Biang lain yang bikin pamor Sukarno merosot di mata mahasiswa adalah dicopotnya Jenderal Nasution dari jabatan Menteri Pertahanan.
“Terutama keputusannya untuk memecat Nasution sangat tidak bijaksana. Nasution telah mendapat simpati dari masyarakat luas ketika putrinya yang masih kecil tewas dalam percobaan pembunuhan atas dirinya,” tulis Sundhaussen (hlm. 401).
Tuntutan mahasiswa itu tak beda dari keinginan kelompok Soeharto. Maka itu, ketika tuntutan agar PKI dibubarkan dikabulkan oleh Soeharto, mahasiswa dan AD dengan cepat jadi sekutu. Tuntutan kedua pun didesakkan: Bubarkan Kabinet Dwikora. Kondisi ini jelas menambah kepercayaan diri Soeharto dan kawan-kawan untuk mengambil langkah lebih lanjut.
Pada 15 Maret lagi-lagi Pomad “bertamu” ke rumah beberapa menteri. Achadi yang sebelumnya diajak rapat membahas penangkapan kini malah kena geruduk. Ia langsung melapor pada Sukarno.
“Presiden nampak terkejut dan mengatakan bahwa Jenderal Soeharto meminta izinnya untuk mengawal menteri-menteri tertentu, karena ada informasi bahwa menteri-menteri tersebut akan didatangi demonstran dan bukan untuk menahan para menteri itu,” tulis Kuncoro Hadi dkk (hlm. 621).
Lima Belas Menteri Ditangkap
Esoknya, dalam sebuah pertemuan di istana, pimpinan AD tanpa tedeng aling-aling lagi mendesak Presiden Sukarno agar menteri-menteri beraliran kiri dipecat. Sukarno bergeming. Ia bahkan mengeluarkan maklumat melalui radio dan televisi yang isinya menegaskan bahwa penunjukan dan pencopotan menteri adalah kuasanya dan tak ada yang bisa menekannya.
Bersamaan dengan itu, terjadi usaha penculikan terhadap sejumlah menteri oleh eksponen-eksponen KAPPI. Gegeran itu terjadi setelah mereka berkonsultasi dengan Kemal Idris dan Komandan RPKAD Sarwo Edhi Wibowo. Mereka yang berhasil ditangkap lalu dibawa ke markas Kostrad.
Beberapa menteri, di antaranya Subandrio yang jadi sasaran utama penangkapan, meminta perlindungan ke istana. Tapi Sukarno pun tak bisa melindungi mereka lagi. Pada 18 Maret, Soeharto dengan bersandar pada Supersemar mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap limabelas menteri Kabinet Dwikora.
Segera setelah itu Sarwo Edhi Wibowo beserta satuan RPKAD meluncur ke Istana untuk menciduk mereka. Jenderal Amirmachmud datang juga ke istana untuk meminta kesediaan Sukarno menyerahkan Subandrio dan menteri-menteri lain.
Mereka yang kena ciduk adalah: Waperdam Subandrio, Waperdam Chaerul Saleh, Achadi, Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Letkol Sjafei, Mayor Jenderal Achmadi, Menteri Irigasi dan Pembangunan Masyarakat Surachman, Menteri Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, Menteri Pertambangan Armunanto, Menteri Perburuhan Sutomo Martopradopo, Menteri Kehakiman Astrawinata, Menteri Sekjen Front Nasional J. Tumanaka, dan Menteri Dalam Negeri Sumarno Sostroatmodjo.
Tentang penangkapan ini Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia (1999, hlm. 215) menulis, “Dalam pidato yang menyusul kemudian Soeharto menempatkan para menteri yang ditahan itu dalam tiga macam kategori, pertama, mereka ‘yang mempunyai hubungan dengan PKI/Gestapu dengan indikasi yang cukup’, kedua, mereka yang ‘kejujurannya dalam membantu presiden diragukan’, ketiga, mereka yang hidup amoral dan asosial, hidup dalam kemewahan di atas perderitaan rakyat.”
Penangkapan itu benar-benar jadi pukulan telak bagi Sukarno. Ketika para loyalisnya tumbang, lonceng kejatuhannya telah berdentang nyaring. Dan terbukti Soeharto berhasil melengserkannya setahun kemudian.
Editor: Nuran Wibisono