Menuju konten utama

Nasib Contact Tracer COVID-19 BNPB: Kerja Keras tapi Honor Macet

Kerja keras & risiko tinggi relawan contact tracer COVID-19 BNPB tak sebanding dengan insentif yang didapat, bahkan kerap tersendat.

Nasib Contact Tracer COVID-19 BNPB: Kerja Keras tapi Honor Macet
Relawan contact tracer Covid-19. FOTO/Change.org

tirto.id - Sudah jadi pengetahuan banyak orang, jurus paling ampuh menangani pandemi COVID-19 adalah tes, penelusuran riwayat kontak (contact tracing), dan perawatan.

Melati (bukan nama sebenarnya), salah seorang relawan contact tracer di Kota Bandung, Jawa Barat yang rela berjuang demi memutus mata rantai penularan COVID-19. Semakin cepat ia menemukan pasien positif, maka semakin banyak nyawa yang ia selamatkan.

"Biasanya dari 1 orang yang positif paling sering ditemukan 3-4 orang kontak erat, tergantung pasiennya. Pernah juga saya dapat kontak erat sampai 14 orang dalam 1 orang yang positif," kata Melati kepada Tirto, Selasa (9/3/2021).

Ibu dari seorang anak ini menuturkan definisi kontak erat adalah orang yang berhubungan dengan pasien terkonfirmasi dalam jarak 1-2 meter selama 15 menit. Biasanya ia memulai dari keluarga, kadang satu orang memiliki anggota keluarga yang banyak sehingga jumlah kontak eratnya pun melejit.

Dalam sehari ia menelusuri kontak dari 1 sampai 2 pasien yang berasal dari kelurahan tempatnya bertugas melalui wawancara dengan pasien.

Kontak erat yang teridentifikasi lantas dihubungi dan diarahkan untuk tes melaksanakan tes usap PCR gratis di Puskesmas. Jika tak mampu karena keterbatasan fisik atau penyakit maka Melati dan petugas laboratorium yang akan mendatangi kediaman pasien untuk mengambil sampel tes usap.

Per Sabtu (14/3/2021) Satgas Covid-19 mencatat sudah ada 1.414.741 kasus COVID-19 di Indonesia dalam jangka waktu setahun lebih. Penularan virus tak berhenti walau tanggal merah, Melati pun harus bekerja di tanggal merah atau akhir pekan.

Mulai bekerja sebagai tracer COVID-19 sejak November 2020, Melati sebenarnya adalah seorang bidan di salah satu Puskesmas. Ia memilih berhenti sejak COVID-19 ditemukan di Indonesia pada Maret 2020 lalu. November 2020, ia mendapatkan informasi bahwa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membuka lowongan relawan contact tracer, dan Melati langsung mendaftar.

Kerja Keras, tapi Honor Macet

Tugas relawan contact tracer tak hanya menelusuri riwayat kontak saja, tetapi Melati juga harus bekerja mengawasi proses isolasi mandiri. Pernah dalam satu bulan ia bisa memantau 28 pasien.

Saban hari ia mengontak pasien-pasien yang di bawah pemantauannya, menanyakan kondisi mereka. Tak jarang juga pasien yang menghubunginya langsung mengeluhkan keadaannya, dan itu bisa terjadi bahkan di waktu istirahatnya.

"Kami itu memantau tidak ada hari libur. Kalau memantau, menanyakan kabar hanya by Whatsapp atau telepon, tapi kalau kami ditelepon pasien jam 12 malam itu mau enggak mau harus diangkat karena takut darurat," kata Melati.

Jika kondisi pasien memburuk, Melati juga yang pontang panting merawatnya. Jika hanya membutuhkan obat, maka Melati segera mengambil alat pelindung diri (APD) yang ia beli dari koceknya sendiri dan mengantarkan obat ke kediaman pasien.

Jika kondisinya lebih buruk dan membutuhkan rujukan, Melati juga yang mengurus prosesnya hingga menyediakan ambulans sampai pasien bisa masuk ke Instalasi Gawat Darurat.

Untuk pekerjaannya itu, BNPB membayar Melati dan kawan-kawannya di Jawa Barat sebesar Rp170 ribu per hari plus Rp150 ribu uang transport jika turun ke lapangan. Bagi relawan di Jakarta, insentifnya Rp210 ribu per hari. Melati tak tahu mengapa honornya berbeda padahal Jawa Barat dan Jakarta sama-sama zona merah COVID-19.

Selain itu, BNPB juga mematok maksimal waktu kerja adalah 24 hari dalam satu bulan, tidak lebih. Jangan harap mendapatkan honor lebih jika bekerja lebih dari waktu yang ditetapkan. Relawan contact tracer pun harus sehat, karena tiada honor yang didapat bila sakit dan terpaksa tak bekerja.

Pembayaran dilakukan per bulan. Pada Desember 2020, pembayaran honornya yang pertama, terjadi keterlambatan dari yang semestinya tanggal 1 Februari baru dibayar pada 10 Februari. Melati masih maklum. Bulan berikutnya, pembayaran tepat waktu tetapi uang transportnya sebesar Rp1,5 juta (10 kali turun ke lapangan) belum dibayar.

Memasuki bulan Februari pembayaran honor kembali seret. Yang ada hanya surat dari Satgas Covid-19 bernomor B – 57/SATGAS/PD.01.02/02/2021 tertanggal 8 Februari 2021 yang intinya mengatakan pembayaran honor belum dapat disalurkan hingga akhir Februari karena masih dilakukan harmonisasi anggaran antara Satgas dengan Kementerian Kesehatan.

Pada 22 Februari muncul lagi surat dari Satgas COVID-19. Dikatakan, pembayaran honor bulan Januari 2021 masih menunggu penunjukan Pejabat Penanggung Jawab Keuangan di BNPB yang diupayakan selesai oleh BNPB pada pekan-1 Maret 2021. Untuk honor bulan Februari, supervisor dan tenaga administrasi diminta menyusun rekapitulasi dan mengirimkan kepada Satgas paling lambat 7 Maret 2021.

"Baru hari ini, setelah drama, saya menerima honor saya, tapi hanya untuk satu bulan Januari saja sementara BNPB sudah menyebarkan surat akan dibayar proyeksi Desember, Januari, Februari," kata Melati.

Nasib serupa dialami oleh Mawar (juga bukan nama sebenarnya), relawan tracer COVID-19 di Jakarta Utara. Ia bekerja sejak Februari 2021 sehingga kini ia masih menunggu honor pertamanya. Mawar merasa beruntung telah berkeluarga dan memiliki suami yang bekerja sehingga telatnya pembayaran honor tak berpengaruh signifikan terhadap kondisinya.

Namun, dari berbagai komentar di media sosial ia sadar keterlambatan ini memukul telak kondisi ekonomi relawan. Ada yang harus berutang demi bertahan hidup, ada juga yang harus menggadaikan emas simpanannya.

"Ya bayangin dua bulan enggak dapat duit, pemasukan dari mana, mending kalau ada orang tua kan," kata Mawar kepada Tirto pada Selasa (9/3/2021).

Ia pun tergerak untuk mengumpulkan sesama relawan dari luar daerah. Bukan kerja mudah karena mereka sejak awal tidak saling terhubung, tapi Mawar menghubungi satu per satu melalui media sosial dan berhasil mengumpulkan sekitar sepuluh orang dalam grup WhatsApp.

Dari sana, mereka berinisiatif membuat petisi daring di Change.org sejak 7 Maret. Hingga Minggu (14/3), petisi itu telah ditandatangani oleh 4.031 orang.

"Kami mengajak seluruh masyarakat untuk mendesak BNPB segera memberikan seluruh hak insentif kami sebelum selesai kontrak yaitu tanggal 31 Maret 2021. Kemudian besar harapan kami bagi Contact Tracer selanjutnya, wajib dibekali jaminan kesehatan dan kebijakan kompensasi insentif jika terpapar COVID-19 sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap Relawan," tulis petisi tersebut.

Alasan Administrasi & Janji Belaka

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan anggaran 2021 masih dalam peninjauan untuk memastikan transparansinya pendanaan, itulah yang jadi biang keladi keterlambatan pembayaran honor.

"Segera hal ini akan ditangani," janji Wiku kepada Tirto pada Selasa (9/3/2021).

Deputi Bidang Logistik dan Peralatan BNPB Prasinta Dewi menyampaikan insentif untuk relawan di Aceh, Kalimantan Selatan dan Papua sudah ditransfer. Sedangkan untuk tujuh provinsi lain, BNPB berjanji untuk membayarnya pada Selasa 9 Maret lalu.

Prasinta berdalih ada sejumlah faktor yang menyebabkan keterlambatan pembayaran insentif. Pertama, masih adanya dobel rekening dan dobel nama pada data contact tracer yang dimiliki Satgas Penanganan COVID-19. Satgas, katanya hanya ingin memastikan tidak terjadi kesalahan dalam pengiriman insentif sehingga proses verifikasi dibutuhkan sebelum transfer insentif dilakukan.

“Faktor lain yang memperlambat terkait dengan adanya bank lain selain BRI dan adanya rekening yang salah,” ujar Prasinta di Graha BNPB, Jakarta, pada Selasa (9/3/2021).

Baca juga artikel terkait RELAWAN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto