Menuju konten utama

Jangan Asal Melibatkan TNI-Polri untuk Tracing Kasus COVID-19

Pemerintah mau melibatkan TNI-Polri dalam penanganan pandemi. Sekarang untuk tracing kasus.

Jangan Asal Melibatkan TNI-Polri untuk Tracing Kasus COVID-19
Petugas gabungan TNI dan Polri menjaring warga tidak menggunakan masker saat berlangsung kampanye gerakan pakai masker (GPM), di Lhokseumawe, Aceh, Selasa (2/2/2021). ANTARA FOTO/Rahmad/hp.

tirto.id - Pemerintah berencana meningkatkan kapasitas tracing. Bukan dengan meningkatkan kapasitas puskesmas, melainkan menambah personel lapangan dari TNI, Polri, hingga Satpol PP.

Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto mengatakan ini kemarin lusa (3/2/2021). "Pelibatan aktif dari Babinsa, Babinkamtimbas, Satpol PP, operasi yustisi TNI/Polri ini dilakukan bukan hanya untuk penegakan hukum, tapi juga tracing," katanya.

Rencana kebijakan ini dikritisi Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda. Ia mempertanyakan garis komando dari para personel dalam melaksanakan tracing, sebab idealnya para petugas ada di bawah perintah puskesmas langsung.

Hal lain yang dikhawatirkan ialah akan ada oknum yang melakukan kekerasan terhadap warga yang menolak. Itu perlu diperhatikan sebab mekanisme pertanggungjawaban di instansi aparat kerap tidak jelas.

Kekhawatiran Olivia pernah terjadi pada Juli 2020. Ketua Bidang Infokom DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Reynaldi Sarijowan mengatakan aparat kerap menjemput paksa pedagang untuk melakukan tes, tanpa peduli lapak sepi atau sedang ramai. Sementara di Papua, Justinus Sila Damara (35) tewas setelah menghindari semprotan air dari water cannon milik personel gabungan Satgas COVID-19. Berdasarkan keterangan warga seperti yang dilaporkan Jubi, Justinus terpelanting dan pendarahan pada telinga kanan dan hidung kiri.

Karenanya Olivia mendorong pemerintah memanfaatkan relawan sipil alih-alih aparat. Berdasarkan pengalamannya, pelibatan sipil sangat efektif dalam meningkatkan kapasitas tracing. Salah satunya disebabkan keterbukaan dari warga karena relawan dan kader juga berstatus warga setempat.

"Pendekatan yang lebih humanistik akan membuat masyarakat dengan sendirinya mau melakukan pelacakan kontak dengan sukarela tanpa harus menggunakan efek takut dan melalui mekanisme hukuman untuk memberikan efek jera, apalagi pada yang dalam kondisi sakit, takut, dan tertekan," kata Olivia.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mengatakan di sejumlah negara, tentara dan polisi memang dilibatkan untuk penelusuran kontak, salah satunya Thailand. Namun, sebelum terjun ke lapangan, aparat harus dibekali dengan sejumlah pengetahuan. Salah satunya cara berkomunikasi yang baik agar tak membuat masyarakat gentar.

Kemudian juga pengetahuan tentang alat pelindung diri, mengenai definisi kontak erat, suspek, probabel, dan terkonfirmasi COVID-19 termasuk apa yang harus dilakukan oleh orang-orang dari masing-masing kategori tersebut.

"Nanti manajernya, manajer pencegahan dan pemberantasan penyakit menular di puskesmas, juga harus kuat. Jangan nanti kita perbanyak petugas tracing [tapi] tetap saja tracing-nya enggak bagus," kata Ede kepada reporter Tirto, Kamis (4/2/2021).

Satgas COVID-19 di puskesmas yang terdiri dari tenaga kesehatan dan epidemiolog harus sudah tahu lokasi yang hendak ditelusuri. Dari informasi itu mereka tinggal memerintahkan personel TNI-Polri untuk terjun. "Bukan lantas mereka lepas mengembangkan sendiri. Itu enggak boleh," kata Ede.

Ede mengingatkan bahwa meski punya struktur sendiri, anggota TNI-Polri haruslah di bawah komando dan patuh terhadap perintah puskesmas.

Ini bukan kali pertama pemerintah melibatkan TNI dan Polri dalam penanganan pandemi. Sejak pertama kali mencanangkan era kelaziman baru (the new normal), Presiden Joko Widodo mengatakan akan menyiagakan aparat. "Pasukan berada di titik-titik keramaian dalam rangka mendisiplinkan masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan sesuai PSBB," kata Jokowi, Selasa 26 Mei 2020.

Aparat juga terlibat aktif dalam penelitian terkait COVID-19. Pada Agustus lalu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Andika Perkasa mengumumkan telah menemukan obat COVID-19 berdasarkan penelitian bersama Universitas Airlangga dan Badan Intelejen Negara (BIN). Namun obat itu ditolak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena prosedur uji klinisnya tidak sesuai ketentuan.

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan walaupun telah banyak mendapat penugasan, tak pernah ada evaluasi terhadap kinerja aparat. Padahal, kekecewaan Jokowi atas pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mengindikasikan aparat selama ini tak efektif bekerja.

"Ini penting jika kita memperhatikan penilaian Presiden atas pelaksanaan PPKM. Jika pelibatan itu berjalan efektif di lapangan, apakah kegalauan Presiden itu bisa terjadi?" kata Fahmi dalam keterangan tertulis, Kamis.

Karenanya Fahmi berharap pemerintah tidak berekspektasi tinggi terhadap aparat apalagi sampai mengabaikan kemungkinan pelibatan itu tidak berjalan efektif. Apalagi, karena tidak memiliki kompetensi di bidang medis, Babinkamtibnas dan Babinsa justru dikhawatirkan tertular dan malah menjadi super-spreader.

Baca juga artikel terkait TEST TRACING TREATMENT atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino