tirto.id - Sejak berhasil menghancurkan pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941, Kekaisaran Jepang berambisi menguasai wilayah-wilayah jajahan atau yang mendukung Sekutu, tak terkecuali Indonesia. Tak banyak yang bisa dilakukan militer Hindia Belanda untuk melawan itu. Mereka tidak berdaya menghadapi gempuran armada tempur Dai Nippon sedari awal 1942.
Pemerintah tidak mendapat dukungan kuat dari rakyat kebanyakan sebab mereka hanya mendekati golongan priayi. Tidak sedikit golongan terpelajar yang bahkan menjadi anti kepada pemerintah kolonial dan menganggap perkembangan terbaru ini sebagai peluang.
Salah satunya muncul di Gorontalo pada awal 1942. Di masa kritis itu mereka memulai sebuah gerakan yang sangat merugikan Hindia Belanda.
Laurens Manus, dkk. dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) mencatat sekumpulan orang berkumpul di rumah Kusno Danupoyo dan membentuk Komite Dua Belas. Mereka tak mendukung pembumihangusan oleh Algemen Vernielings Corps (Korps Penghancur Umum) karena aksi yang dibuat untuk merugikan Jepang ini dianggap hanya akan menyusahkan rakyat kebanyakan. Tuan rumah ditunjuk sebagai wakil ketua, sementara ketuanya bernama Nani Wartabone.
Lebih jauh dari menolak aksi bumi hangus, tanpa menanti pasukan Jepang datang ikut campur, Komite Dua Belas segera menahan pejabat-pejabat Belanda seperti Asisten Residen J. Korn dan Hoofdagent Staatspolitie (Kepala Agen Polisi Kota) R. Couper. Kekuasaan mereka atas nama pemerintah kolonial Hindia Belanda dianggap tak lagi berlaku di Gorontalo; tak ada lagi Merah-Putih-Biru sejak itu.
“Mulai hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita sudah bebas dari penjajahan Belanda. Bendera kita Merah-Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya,” ujar sang pemimpin gerakan, Nani Wartabone. Dengan begitu, Gorontalo menjadi daerah pertama yang merdeka dari Kerajaan Belanda.
Menurut buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi (1953:205), Nani Wartabone menjadi kepala militer pemerintahan darurat ini, sementara Kusno Danupoyo menjabat kepala sipil. Pemerintahan darurat ini terkoneksi dengan gerakan kemerdekaan di Sulawesi Tengah.
Di bawah Nani Wartabone terdapat Pendang Kalengkongan, seorang putra Minahasa pemimpin para mantan Veldpolitie (Polisi Lapangan) kolonial yang memutuskan ikut gerakan Gorontalo merdeka. Para mantan Veldpolitie inilah yang menjadi alat pertahanan. Orang penting lain dalam pertahanan Gorontalo adalah Ibrahim Mohammad. Kas negeri di Gorontalo waktu itu masih mampu membayar gaji pegawai negeri yang tersisa dan mendukung gerakan kemerdekaan.
Jepang dikabarkan semakin mendekati Sulawesi pada Februari. Banyak tentara Belanda dari Manado yang ketakutan mundur sampai sekitar Gorontalo. Para serdadu Belanda itu tak sampai mengganggu nigari yang dipimpin Nani dan Danupoyo. Bahkan milisi Gorontalo merdeka berhasil membebaskan beberapa orang penting yang dibawa oleh militer Belanda menuju Poso seperti G. E. Dauhan, O. H. Pantouw, dan Maengkom.
Tentara Jepang akhirnya mendarat di Gorontalo pada 26 Februari 1942. Awalnya, seperti di banyak wilayah lain, mereka disambut baik. Nani Wartabone, seperti dicatat majalah Maesaan nomor 4 Maret 1986 (1986:16), sempat dijadikan sebagai kepala Jogogu (semacam perdana menteri) Gorontalo pada 1 September 1942.
Namun kemudian mereka begitu mengecewakan kelompok Nani Wartabone. Jepang hanya ingin dituruti tanpa memberikan peran penting kepada orang Indonesia. Bendera Merah-Putih bahkan dilarang dikibarkan. Kedaulatan negeri Gorontalo merdeka resmi dirampas tentara fasis Jepang.
Tentara Jepang tak hanya menghancurkan Gorontalo merdeka, tapi juga menangkap Nani Wartabone pada 30 Desember 1943 atas tuduhan menghasut rakyat. Tentara Jepang memenjarakannya di Manado dan menyiksanya. Ia dikubur dari leher ke bawah di tepi pantai di belakang kantor gubernur Sulawesi Utara selama seharian.
Nani Wartabone baru dibebaskan pada 6 juni 1944. Setelah kembali ke Gorontalo, meski pernah dijadikan Jogogu oleh Jepang, orang-orang masih percaya padanya.
Belanda yang hendak menguasai lagi Indonesia setelah Proklamasi 1945 juga kembali ke Gorontalo. Di sana mereka menahan Nani Wartabone dan membawanya ke Tomohon sebelum pertengahan 1946, ke Morotai pada Juni 1946, lalu ke Jakarta pada November 1946 untuk ditahan di Penjara Cipinang. Setelah Konferensi Meja Bundar, tepatnya pada 20 Desember 1949, Nani Wartabone akhirnya dibebaskan dan benar-benar menghirup udara kebebasan.
Setelah Merdeka
Nani Wartabone yang punya gelar adat Teme Jon lahir pada 30 April 1907. Berkat lahir dari keluarga yang cukup beruntung di zamannya, ia bisa bersekolah dasar dan menengah sampai ke Surabaya. Setelah 1928 Nani Wartabone sudah berada di Gorontalo dan aktif di Pemuda Tan Hulunga. Dia juga terhubung dengan orang-orang Partai Nasional Indonesia (PNI).
Berkat rekam jejaknya sampai agresi Belanda, sejak 1 Juli 1950 pemerintah mengangkat Nani Wartabone sebagai kepala daerah untuk Gorontalo dan Bolaang Mongondow. Kemudian, pada 1953, dia dijadikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara dan lima tahun kemudian menjabat Residen Koordinator Sulawesi Tengah dan Utara.
Pada tahun itu pecah pemberontakan Permesta. Nani Wartabone memilih setia kepada pemerintah pusat. Ia bahkan menjadi pemimpin dari pasukan rimba yang konon beranggotakan 20 ribu orang yang membantu tentara pemerintah pusat melawan tentara Permesta dalam perang saudara itu.
Abdul Haris Nasution yang kala itu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mengakui kontribusi Nani Wartabone. Ia dinilai telah berjasa membantu tentara pemerintah merebut beberapa sasaran penting yang mempermudah kerja TNI dan mempersulit posisi Permesta.
Atas pertimbangan itu pula Nani Wartabone diberikan penghargaan. “Saya putuskan untuk memberikan bintang gerilya kepada Nani Wartabone, seorang tokoh PNI yang di tahun 1942 menggerilya Belanda dan di tahun 1958 menggerilya Permesta,” kata Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Pancaroba II (1983:257).
Setelah melawan Permesta, pada 1960, Nani Wartabone dijadikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai utusan daerah Sulawesi Utara. Setelahnya sempat pula dia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perancang Nasional.
Nani Wartabone tutup usia persis 36 tahun yang lalu, 3 Januari 1986, setelah 6 tahun 6 bulan sakit keras. Pada 6 November 2003, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003, ia mendapat gelar pahlawan nasional.
Editor: Rio Apinino