Menuju konten utama

Muram Kisah Anak Muda di Tengah Ketidakpastian Kerja

Tingginya tingkat PHK dan pekerja informal di Indonesia dapat berbahaya, baik bagi pekerjanya sendiri maupun secara ekonomi nasional.

Muram Kisah Anak Muda di Tengah Ketidakpastian Kerja
Ilustrasi Freelance. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Menjadi lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Jawa Tengah tak membuat mimpi Bayu Perdana (29) untuk mendapatkan pekerjaan tetap berjalan mulus. Sejak lulus dari jenjang sarjana sekitar lima tahun lalu hingga kini ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang memberikan status pekerja tetap.

“Selama ini lebih banyak kerja sebagai enumerator di salah satu lembaga. Kadang ikut proyekan juga dari NGO tapi itu juga kalo ada. Dan di antara proyek kan ada jeda yg cukup lama, pernah ada jeda 6 bulan sebelum dapet proyek selanjutnya,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto, Rabu (30/4/2025).

Bayu juga tak tau pasti apa yang membuat dia sulit mendapatkan pekerjaan tetap. Menyandang gelar sarjana saat awal pandemi Covid-19 melanda membuatnya tak memiliki banyak pilihan pekerjaan tetap saat itu. Kurang lebih enam bulan menganggur setelah lulus, ia baru mendapatkan pekerjaan lepas sebagai asisten peneliti di sebuah lembaga survei dengan status kontrak.

Milenial dan Freelance

Desainer bekerja di depan PC. FOTO/Istock

“Waktu itu pas mau ada Pilkada 2020 ada lembaga nawarin kerjaan ngumpulin data sama wawancara responden itu dikontrak sekitar 6 bulan. Setelah itu sebenarnya udah mulai-mulai cari kerjaan yang tetap. Sempet ikut tes CPNS dan ngelamar sana-sini, tapi belum ada hasilnya,” ujarnya menambahkan.

Keresahan Bayu untuk mendapatkan pekerjaan tetap semakin memuncak saat umurnya memasuki usia ke-29 pada awal tahun ini. Pada momen itu, ia mulai menyadari satu hal; semakin bertambah umur peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan tetap semakin kecil.

Hal ini bermula ketika ia mendaftar lowongan posisi junior/staff di salah satu perusahaan swasta. Ia gugur seleksi administrasi lantaran batas maksimal usia melamar lowongan tersebut ada pada usia 26 tahun. Belakangan ini ia juga semakin sering menemukan lowongan kerja yang memberi catatan adanya batas usia maksimum. Hal yang terasa cukup menyulitkan bagi Bayu, dan banyak calon pekerja lainnya.

"Tiap selesai kontrak, kadang was-was juga selanjutnya dapet lagi (pekerjaan) apa enggak."

Bayu (29)

Demi terus menyambung hidup saat ini, ia masih menggantungkan diri pada pekerjaan lepas sebagai peneliti dari proyek ke proyek. Ia bercerita durasi kontraknya per proyek berkisar antara 3 hingga 5 bulan. Setelah itu, mau tak mau ia harus mencari pekerjaan atau proyek lain.

Kekhawatirannya makin bertambah melihat kondisi ekonomi negara saat ini. Ia takut di tengah ketidakpastian ekonomi ini peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan tetap semakin tipis. Apalagi ia memiliki rencana untuk menikah pada tahun ini. Dalam waktu dekat, ia berencana untuk mencoba profesi sampingan lain, seperti ojek online.

“Tiap selesai kontrak kadang was-was juga selanjutnya dapet lagi apa enggak. Kalo gua ngerasa dari kerjaan untuk proyekan sekarang kan susah, ya temen-temen banyak yang istilahnya diistirahatkan dulu karena proyeknya gak ada,” ujarnya.

Bayu mungkin menjadi satu dari sekian banyak masyarakat Indonesia yang saat ini berstatus sebagai pekerja informal. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sebanyak 57,95 persen pekerja Indonesia adalah pekerja informal per Agustus 2024.

BPS memperkirakan 83,8 juta jiwa dari total jumlah penduduk bekerja sebanyak 144,64 juta jiwa adalah pekerja informal, termasuk berusaha sendiri (seperti UMKM), berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas (seperti freelancer), dan pekerja keluarga/tak dibayar.

Jika dibandingkan dengan jumlah pekerja formal, pekerja informal masih mendominasi distribusi penduduk bekerja. Mengacu data BPS, jumlah pekerja formal ada sebanyak 42,05 persen atau sekitar 60,82 juta jiwa.

“Jumlah pekerja informal, jika dibandingkan Agustus 2023, mengalami peningkatan. Tapi kalau kita bandingkan dengan Februari 2024, ini trennya mengalami penurunan,” kata Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar dalam Rilis BPS, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa (5/11/2024).

Pada Agustus 2023, jumlah pekerja informal ada sebanyak 59,11 persen atau sekitar 85,5 juta jiwa sedangkan jumlah pekerja formal tercatat sebanyak 40,89 persen atau sekitar 59,1 juta jiwa.

Keresahan Pekerja Kontrak: Beban Kerja Berlebih, Minim Perlindungan

Ketertarikan pada isu-isu sosial dan jurnalistik mengantarkan Mala (25) bekerja dengan status freelancer atau pekerja lepas di sebuah perusahaan media di Jakarta baru-baru ini. Menekuni kerja-kerja jurnalistik memang telah menjadi passion bagi wanita yang baru lulus kuliah pada tahun 2023 lalu itu.

Mala yang sejak kuliah telah merasakan magang di perusahaan media sadar betul ekosistem media di Indonesia secara bisnis seringkali tak bagus. Kondisi yang kemudian berakibat pada keterbatasan pendanaan perusahaan media untuk mensejahterakan karyawannya.

Situasi itu misalnya ia rasakan betul saat memulai karier sebagai reporter tulis di salah satu media di kota tempatnya berkuliah. Keterbatasan pendanaan membuat mimpi Mala bisa menjadi karyawan tetap setelah magang di perusahan media tersebut lenyap.

Pada momen ini, ia sempat berniat meninggalkan mimpi di bidang jurnalistik dan bekerja pada bidang lain dengan bergabung di salah satu perusahaan rintisan (start-up). Di sana ia disyaratkan menjalani masa probation selama enam bulan sebelum mendapatkan status kontrak kerja atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) selama 1 tahun.

“Karena kontrak kerja terus langsung setahun jadi membuat aku merasa masih ada ruang aman dalam beberapa waktu ke depan untuk bisa mendapatkan gaji per bulannya,” ujar Mala.

Bursa kerja Jakarta 2025

Pencari kerja antre untuk masuk ke dalam pameran saat berlangsungnya Jakarta Job Fair di Gor Cilandak Barat, Jakarta, Selasa (29/4/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.

Statusnya sebagai pekerja kontrak sedikit banyak memiliki perbedaan jaminan dengan mereka yang berstatus sebagai karyawan tetap. Di sana, ia tak mendapatkan hak perlindungan yang layak seperti BPJS, beban kerja berlebih, hingga upah kerja yang seringkali tak sesuai dengan kesepakatan awal.

“Tapi karena memang kondisinya pada saat itu aku memang butuh untuk penghidupan aku dan keluarga. Jadi akhirnya tetap aku terima,” tutur Mala.

Selama 10 bulan bertahan di kantor tersebut, Mala akhirnya memutuskan untuk pindah bekerja di salah satu perusahaan media di Jakarta. Di satu sisi, ia senang bisa kembali bekerja di media sepert minat awalnya. Namun, di sisi lain statusnya yang masih berstatus freelancer juga menimbulkan kekhawatiran sendiri akan masa depan ekonomi dan kariernya.

“Di tempat sekarang penghasilan dihitungnya per-output, jadi tergantung aku mengerjakan beberapa jenis pekerjaan itu selesainya berapa, baru bisa diberikan (upah). Tapi mereka tetap memberikan hak yang memang seharusnya aku dapatkan yaitu perlindungan ketenagakerjaan,” ujarnya saat berbincang dengan Tirto, Rabu (30/5/2025).

Mala menyadari status sebagai freelancer itu penuh dengan ketidakpastian secara ekonomi. Dengan segala cara ia mencoba untuk mencari pekerjaan lain dengan status kerja sebagai karyawan tetap. Belakangan ini ia mulai rajin mendaftar ke sejumlah perusahaan lain.

Meski ia juga menyadari kondisi ekonomi saat ini cenderung masih kurang baik dan bahkan banyak perusahaan media yang melakukan pemutusan hak kerja (PHK) kepada karyawannya.

“Makanya, aku jadinya sekarang gak cuman diam diri doang tapi mencoba untuk reach out orang-orang sekitarku yang mungkin memiliki info tentang pekerjaan fulltime. Atau yang sedang mengalami juga situasi yang kurang lebih gak beda-beda sama aku gitu,” ujarnya.

Konsekuensi Besar dari Tingginya Tingkat Pekerja Informal

Menanggapi data itu Peneliti Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Jaya Darmawan, menilai lebih banyaknya pekerja Indonesia yang bekerja di sektor informal dibanding formal akan menimbulkan konsekuensi yang besar bagi perekonomian.

“Karena bagaimana pun juga, sektor informal ini memiliki resiko kerja yang lebih besar karena perlindungan kerjanya lebih kecil, dengan jaminan sosial pekerjanya yang lebih tidak terjamin, dan lain sebagainya,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (30/4/2025).

Lebih lanjut, Jaya melihat tingginya data jumlah pekerja informal di Indonesia ke depannya akan terus berkembang seiring dengan meningkatnya angka pemutusan hak kerja (PHK).

Angka PHK di Indonesia sendiri memang meningkat drastis dalam periode tiga tahun terakhir (2022-2024). Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sendiri mencatat pada tahun 2022 jumlah tenaga kerja ter-PHK ada di angka 25.114 orang, meningkat menjadi 64.855 di tahun berikutnya, dan terakhir mencapai angka 77.965 pada tahun 2024.

Angka PHK pada tahun 2025 terindikasi akan lebih parah dari tahun sebelumnya. Kemnaker mencatat, ada sekitar 18.610 orang yang terkena PHK hanya dalam periode Januari hingga Februari 2025 saja. Jumlah tersebut naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun 2024.

Menurut data Kemnaker, jumlah orang yang terdampak PHK terbanyak ada di Provinsi Jawa Tengah, dengan total sebanyak 10.677 orang atau lebih dari 50 persen total PHK nasional. Disusul oleh DKI Jakarta yang mencapai 5.300 orang, di Riau 3.853 orang, dan Jawa Timur 978 orang.

Angka PHK ini juga berbanding lurus dengan tutupnya sejumlah pabrik yang terjadi di awal tahun 2025 ini. PT Sri Rejeki Isman Tbk Group, atau Sritex Group, yang berlokasi di Sukoharjo, Jawa Tengah misalnya. Setelah dinyatakan bangkrut, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan ada 10.665 karyawan terkena PHK dan terakhir berkerja pada Jumat (28/2/2025).

“Gelombang PHK itu menyebabkan pekerja yang di layoff itu lari ke sektor yang informal. Misalkan akhirnya dia dagang bisnis kecil-kecilan atau dia akhirnya terserap di sektor informal seperti ojek online, kurir, atau dia harus bekerja serabutan yang lebih informal lagi. Jadi tren pertumbuhan dari pekerja informal kita itu match dengan data PHK yang cukup tinggi,” ujarnya.

"Sektor informal ini memiliki resiko kerja yang lebih besar karena perlindungan kerjanya lebih kecil, dengan jaminan sosial pekerjanya yang lebih tidak terjamin."

- Jaya Darmawan

Ia menambahkan, dalam situasi ini penting untuk mendorong pemerintah untuk meningkatkan kebijakan ketenagakerjaan yang pro-terhadap pekerja. Untuk jangka pendek, salah satu kebijakan yang diusulkan adalah adanya bantuan subsidi upah bagi pekerja.

“Bantuan subsidi upah itu perlu diupayakan ketika melihat situasi PHK yang besar-besaran. Beberapa industri kita diprediksi bakal kolaps, terutama di tekstil dan turunannya, atau beberapa pabrik. Nah ini pemerintah pertama memang harus melakukan antisipasi jangka pendek dari sisi biaya subsidi upah,” ujar Jaya.

Lalu, dalam jangka menengah dan panjang pemerintah harus menerapkan program-program kebijakan yang mendukung penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih sustainable dan lebih ke arah formal. Hal ini penting dilakukan agar Indonesia tidak terjebak di situasi low-skill labour trap.

Jaya menjelaskan situasi low-skill labour trap terjadi ketika para buruh mengalami jebakan bisnis atau jebakan pekerjaan akibat lingkungan kerja yang tidak memberikan insentif yang cukup. Insentif ini misalnya berupa peningkatan keterampilan, jenjang karir yang jelas, gaji yang memadai, dan jaminan sosial yang memadai.

UNJUK RASA PENGEMUDI DARING

Sejumlah pengemudi daring atau ojek daring berunjuk rasa di frontage Jalan A Yani, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (24/3/2022). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

“Misalkan kita lihat contohnya adalah fenomena ojol ini kan akhirnya mau nggak mau mereka harus mendapatkan pekerjaan dan ojol masih membuka peluang yang besar. Tapi ternyata memang karena tidak diakui sebagai pekerja atau informal gig worker, mereka tidak memiliki jenjang pekerjaan yang lebih jelas,” papar Jaya kemudian.

“Ada beberapa situasi yang harus segera diatasi pemerintah dalam konteks Hari Buruh Sedunia saat ini. Satu, menuntut pemerintah untuk segera menangani problem PHK kita yang besar-besaran. Yang kedua adalah menangani hal yang lebih struktural yaitu proporsi pekerja informal yang sangat dominan,” tutup Jaya.

Negara Harus Lindungi Pekerja Kontrak dan Informal

Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ikhsan Raharjo, turut mengamini data yang menyebut kondisi pekerja formal di Indonesia jumlahnya semakin meningkat.

Menurutnya, hal ini terjadi karena terjadi deindustrialisasi prematur di Indonesia yang menyebabkan negara tidak mampu mencetak lapangan pekerjaan yang formal. Situasi ini mengharuskan masyarakat mengambil jenis pekerjaan informal yang umumnya ditandai dengan jam kerja panjang, ketidakpastian upah, ketiadaan jaminan sosial dan hal-hal yang merentankan mereka.

“Di sektor media dan kreatif, informalisasi dan jumlah pekerja informal juga memang menjadi wajah dominan di sektor ini saat ini,” ujarnya saat berbincang dengan Reporter Tirto, Rabu (30/4/2025).

Lebih lanjut, Ikhsan juga menyinggung soal keberadaan UU Cipta Kerja yang memperluas pasar pekerja fleksibel sehingga memudahkan pemberi kerja untuk merekrut orang dengan mudah dan murah dalam bentuk yang kontraktual.

“Jadi kontraknya pendek, sehingga orang tidak memiliki yang namanya jaminan kepastian kerja atau job security. Ini yang akan menjadi sorotan dan tuntutan utama Sindikasi di aksi Mayday tahun ini,” tutur Ikhsan.

Unjuk rasa buruh di Jakarta

Sejumlah buruh berjalan sambil membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (24/10/2024). ANTARA FOTO/Fauzan/tom.

Ikhsan bersama Sindikasi dalam beberapa tahun terakhir sendiri sempat mengeluarkan riset yang menyimpulkan bahwa kondisi pekerja kreatif di Indonesia mengalami yang namanya flexploitation, gabungan dua kata antara flexibility dan exploitation.

“Gampangnya ini adalah eksploitasi terselubung yang dialami secara spesifik oleh orang-orang yang bekerja dengan status kerja non-standar seperti freelancer, pekerja mandiri, dan seterusnya gitu,” ujarnya.

Ia menjelaskan pekerja yang menghadapi situasi flexploitation dicirikan dengan kerentanan seperti mereka tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Jadi demi mendapatkan kerja mereka rela direkrut tanpa ada jaminan atau tanpa ada perjanjian kerja secara tertulis. Padahal perjanjian kerja tertulis itu adalah satu instrumen penting yang mengakui adanya hubungan kerja antara dua belah pihak gitu.

"Seringkali pemberi kerja, baik secara sengaja maupun tidak sengaja itu membuat pembayaran yang terlambat kepada freelancer."

- Ikhsan Raharjo

“Nah mereka melakukan itu, mereka oke deh gak apa-apa, yang penting saya kerja gitu. Jadi mereka merentankan dirinya gitu. Mereka tidak menuntut, karena khawatir kalau saya minta kontrak kerja saya mungkin gak akan direkrut sebagai freelancer oleh si pemberi kerja gitu,” ujarnya.

Di Sindikasi sendiri, Ikhsan seringkali menemukan aduan permasalahan kerentanan yang dialami oleh pekerja dengan status lepas atau kontrak ini, di antaranya seperti keterlambatan upah, dan pencurian upah. “Keterlambatan itu tidak sesuai dengan kesepakatan kerja. Jadi seringkali pemberi kerja, baik secara sengaja maupun tidak sengaja itu membuat pembayaran yang terlambat kepada freelancer,” papar Ikhsan.

Menurut Ikhsan saat ini negara sudah tidak bisa lagi mengabaikan ledakan jumlah pekerja informal seperti pekerja lepas, pekerja mandiri di Indonesia. Mewakili Sindikasi, ia membeberkan beberapa tuntutan kepada pemerintah yang terkait dengan isu ini.

Pertama, negara perlu mengakui dan melindungi status pekerja lepas dengan cara mewajibkan setiap pekerjaan yang upahnya setara dengan upah minimum di provinsi atau kota. “Jadi kontrak kerja menjadi hal yang harusnya diwajibkan oleh negara apabila pemberi kerja mau merekrut pekerja lepas. Apalagi yang kasusnya atau pekerjaannya setara dengan upah minimum. Itu salah satu bentuk perlindungan,” ujarnya menekankan pentingnya perlindungan.

Kemudian yang kedua, negara juga harus memberikan hukuman kepada pemberi kerja yang melakukan pencurian upah. Ketiga, negara perlu mempercepat perluasan kepesertaan BPJS ketenagakerjaan bagi pekerja lepas atau pekerja informal karena datanya sekarang sangat timpang.

Negara harus menemukan strategi yang tepat supaya bisa seluruh pekerja informal atau seluruh pekerja apapun hubungan kerjanya, dia bisa terlindungi oleh jaminan sosial dari BPJS ketenagakerjaan.

“Terakhir, Sindikasi juga menyoroti tentang pentingnya regulasi yang mengatur etika penggunaan artificial intelligence (AI) di industri media dan kreatif. Jangan sampai pekerja dikorbankan oleh adanya AI ini,” pungkas Ikhsan.

Baca juga artikel terkait HAK PEKERJA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Rina Nurjanah