Menuju konten utama

Mudarat Raibnya Sanksi Diskualifikasi Soal Laporan Dana Kampanye

Menghapus sanksi diskualifikasi bagi calon kepala daerah sama saja jalan mundur untuk penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana kotor.

Mudarat Raibnya Sanksi Diskualifikasi Soal Laporan Dana Kampanye
Baliho yang terpasang di pusat kota Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, tampak bakal calon dalam Pilkada 2024. (ANTARA FOTO/Akhmad Nazaruddin Lathif)

tirto.id - Lebih baik mencegah daripada mengobati, termasuk dalam urusan tindak pidana korupsi. Korupsi politik menjadi salah satu modus rasuah yang paling banyak diungkap. Perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) termasuk klaster subur tumbuhnya kasus korupsi.

Modal politik yang tinggi untuk kampanye serta operasional calon kepada daerah (cakada) sering jadi alasan klasik tindakan lancung tersebut. Maka, sebuah tindakan mundur ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru menghapus sanksi diskualifikasi bagi cakada yang tak melaporkan dana kampanye.

Kongsi jahat untuk modal politik di kontestasi pilkada serentak seharusnya bisa dimitigasi dengan hadirnya ketegasan soal pelaporan dana kampanye. Raibnya sanksi diskualifikasi bagi cakada yang membandel tak mau lapor dana kampanye, justru berpotensi menciptakan ruang gelap baru persengkongkolan jahat untuk ongkos pilkada.

Rencana menghapus sanksi diskualifikasi bagi cakada disampaikan KPU dalam uji publik rancangan PKPU, di kantor KPU pusat, Jakarta Pusat, Jumat (2/8/2024) lalu. Alasannya, sanksi diskualifikasi bagi cakada yang tidak menyampaikan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) tidak diatur dalam Undang-Undang Pilkada.

Sanksi diskualifikasi hanya terjadi ketika paslon terbukti menerima sumbangan terlarang. Sebab itu, KPU menegaskan tak bakal ada sanksi diskualifikasi bagi cakada yang tidak menyampaikan LADK dan LPPDK dalam Peraturan KPU untuk Pilkada 2024 mendatang. Sebagai gantinya, paslon atau cakada tak laporan dana kampanye dikenai sanksi tidak boleh melakukan kampanye dan bakal diumumkan ke publik.

Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyatakan langkah KPU menghapus sanksi pembatalan atau diskualifikasi bagi cakada atau paslon yang tak melaporkan dana kampanye merupakan suatu kemunduran. Padahal, sanksi berupa pembatalan karena tak melaporkan dana kampanye sudah diterapkan oleh KPU sejak Pilkada 2015.

“Sebab, meskipun UU Pilkada tidak mengatur, namun ketentuan pelaporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pasangan calon. Lagi pula, sanksi pembatalan sudah diberlakukan KPU sejak pilkada serentak tahun 2015,” kata Titi kepada Tirto, Rabu (7/8/2024).

Titi menegaskan, setiap dana yang digunakan paslon untuk kepentingan kampanye pilkada harus dilaporkan penerimaan dan penggunaannya. Termasuk dana-dana yang dikelola oleh para relawan.

Hal tersebut merupakan implementasi asas pemilihan yang jujur dan adil agar tercipta arena kompetisi setara dan aksesibel bagi semua kontestan. Efektif atau tidaknya aturan tersebut, memang bergantung pada beberapa faktor.

Utamanya, kata dia, tergantung kepatuhan paslon dan parpol pengusung agar konsisten mengikuti ketentuan. Perlu diterapkan suatu disiplin pelaporan dana kampanye dari setiap pihak yang terlibat dan berkontribusi pada pendanaan kampanye paslon.

“Pengawasan Bawaslu untuk memastikan aturan tersebut dilaksanakan oleh semua pihak dan memberikan akses pelaporan pelanggaran yang mudah bagi mereka yang menemukan penyimpangan dalam pelaksanaannya di lapangan,” ujar Titi.

Selain itu, sosialisasi serta diseminasi aturan oleh KPU harus dilakukan secara masif dan efektif kepada semua pemangku kepentingan pilkada. Harapannya bakal tumbuh kesadaran bersama untuk mengawal transparansi dan akuntabilitas dana kampanye paslon di pilkada.

“Klausul pembatalan bagi paslon yang tidak melaporkan LPPDK tersebut pelaksanaannya pada 2015 bisa diterima dengan baik oleh publik, partai politik, maupun paslon serta telah diikuti oleh peserta pilkada tanpa adanya keberatan dalam implementasinya,” tegas Titi.

Titi memandang, sangat ironis jika KPU menghapus ketentuan tersebut saat ini dengan alasan tidak diatur di UU Pilkada. Dalam penalaran wajar, sudah semestinya KPU mengatur sanksi bagi paslon atau cakada yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dana kampanye.

Apalagi, KPU sebagai penyelenggara pilkada bertanggung jawab dan berkewajiban untuk memastikan asas dan prinsip pilkada yang jujur, adil, dan demokratis, sebagaimana diatur dalam ketentuan konstitusi supaya ditegakkan secara konsisten dan tegas.

KAMPANYE PILKADA SULSEL

Calon Gubernur Sulsel Nurdin Halid berfoto bersama penyanyi dangdut Nassaruddin dan sejumlah simpatisannya saat Kampanye Akbar Pilkada Sulsel pasangan Nurdin Halid-Aziz Kahhar Mudzakkar (NH-Aziz) di Lapangan Karebosi Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (21/9/2018). ANTARA FOTO/Yusran Uccang

Alih-alih menghapus sanksi diskualifikasi, menurut Titi, KPU semestinya ada terobosan dan inovasi progresif agar kualitas dan kredibilitas pilkada bisa terus berkembang dan meningkat mutunya. Pendekatan KPU saat ini dinilai terlalu pragmatis sehingga kualitas pemilu dan pilkada hanya akan jalan di tempat dan tidak pernah ada perbaikan.

“KPU mestinya mempertahankan pengaturan progresif yang sejak lama ada dan bukan malah membiarkan kemunduran pengaturan dengan dalih tidak ada aturan eksplisit dalam UU,” ujar Titi.

Membuka Gerbang Korupsi

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, memandang menghapus sanksi diskualifikasi sama saja jalan mundur untuk penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana kotor. Dia menilai, KPU tidak konsisten dengan cara pandang dan sikap hukum yang dilakukan.

Di satu sisi, ujar dia, KPU tidak bisa menerapkan sanksi yang melebihi batas yang diberikan UU Pilkada. Namun, di saat yang sama, KPU juga mengatur sanksi yang tidak jelas batas ukurnya.

“Jika dinyatakan pasal 75 UU 10/2016 tidak mengatur sanksi pagi paslon yang tidak menyerahkan LPPDK, seharusnya tidak perlu ada sanksi sama sekali yang diberikan,” ujar Kholil dalam keterangannya, Rabu.

Faktanya, KPU tetap mengatur sanksi soal dana kampanye. Kendati demikian, Kholil menilai sanksi yang ada tidak maksimal dan jauh dari prinsip transparansi serta akuntabilitas. Ini artinya, lanjut Kholil, KPU memilih sanksi yang teringan bagi paslon yang melanggar aturan.

Lebih lanjut, sikap KPU membuka hadirnya ruang praktik korupsi dan perputaran dana ilegal yang lebih besar dalam kontestasi pilkada. Penghapusan sanksi diskualifikasi juga berpotensi memantik penilaian masyarakat bahwa KPU tidak mandiri saat membuat regulasi atau menjalankan semua tahapan pilkada.

Padahal, sebagai regulator teknis penyelenggaraan pilkada, sudah menjadi kewenangan KPU mengatur sanksi bagi pasangan calon yang tidak mematuhi kewajiban pelaporan dana kampanye sebagaimana diatur dalam UU Pilkada.

“Karena itu menjadi sangat aneh dan menimbulkan pertanyaan besar apa yang melatari sikap KPU yang ingin menghapus ketentuan tersebut dengan alasan tidak diatur dalam UU Pilkada,” jelas Kholil.

Kholil mengingatkan, transparansi dana kampanye adalah hak bagi pemilih. Publik berhak mengetahui siapa penyumbang dana, berapa besar jumlah dana, serta bagaimana dana kampanye dibelanjakan oleh paslon. Dana kampanye menjadi alat analisis dan alat pengambilan keputusan bagi pemilih untuk menentukan siapa calon yang akan dicoblos nantinya di TPS.

“Dengan demikian, menghapus sanksi pembatalan juga berarti bahwa KPU menghapus instrumen pemilih untuk menentukan pilihan secara cerdas dan rasional,” ujar Kholil.

Sementara itu, peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, menyatakan sikap KPU yang menghapus sanksi diskualifikasi bagi pelanggar aturan dana kampanye, setidaknya menunjukkan KPU sebagai penyelenggara tidak menganggap pelaporan dana kampanye sebagai hal yang krusial dan bermanfaat bagi pemilih.

Padahal laporan dana kampanye penting bagi pemilih sebab memberikan informasi soal siapa yang menyumbang, untuk apa sumbangan digunakan, sekaligus menjaga integritas pemilu.

“Sebelumnya, PKPU nomor 5/2017 Pasal 54 secara tegas memberikan sanksi diskualifikasi atau pembatalan sebagai pasangan calon bagi yang tidak menyampaikan LPPDK sampai batas waktu yang sudah ditentukan,” kata Seira kepada Tirto, Rabu.

Dalam rancangan PKPU terbaru, KPU memberikan toleransi waktu tujuh hari pascabatas akhir penyampaian LADK serta memberikan peringatan tertulis bagi paslon yang belum menyampaikan laporan. Jika setelah diberikan kesempatan selama tujuh hari tidak kunjung menyampaikan LADK, maka bakal kena sanksi larangan melakukan kegiatan kampanye.

KAMPANYE TERBUKA AIRIN - BENYAMIN

pasangan calon walikota dan wakil walikota tangerang selatan airin rachmi diany (kanan) dan benyamin davnie (kiri) dihadapan pendukungnya pada kampanye terbuka di serpong, tangerang selatan, banten, minggu (29/11). pasangan calon nomor urut 3 yang juga calon walikota dan wakil walikota petahana ini akan bertarung melawan dua pasangan calon lainnya pada pilkada serentak 9 desember 2015 mendatang. antara foto/muhammad iqbal/pd/15

Sanksi ini, kata Seira, tidak sejalan dengan prinsip integritas pemilu, yakni transparansi dan akuntabilitas. Pasalnya, KPU seolah memberi toleransi kepada pasangan calon untuk tetap menjadi peserta pemilu.

Laporan dana kampanye dapat meminimalkan masuknya duit hasil tindak pidana, termasuk korupsi, dalam pendanaan. Hal ini juga menjadi bentuk preventif terhadap potensi konflik kepentingan yang bisa berujung korupsi politik di kemudian hari.

Pemantauan dana kampanye oleh ICW pada Pilkada 2020 di 30 daerah menunjukkan, terdapat tiga paslon dengan LADK kosong dan dua paslon tidak melampirkan dokumen LADK. Dalam pemantauan LPSDK pun serupa, masih terdapat lima paslon dengan LPSDK kosong.

Hasil riset KPK terkait pendanaan pilkada tahun 2015 juga mencatat, sebanyak 20 persen responden dari 286 pasangan calon yang gagal terpilih mengaku tidak membuat LPPDK. Terdapat juga LPPDK yang diserahkan dan melanggar batas besaran sumbangan. Catatan itu setidaknya menunjukkan bahwa pelaporan dana kampanye masih sebatas formalitas.

Padahal, Pasal 187 ayat 7 dan ayat 8 dalam UU Pilkada mengatur bahwa penyampaian keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye dan menerima sumbangan namun tidak melaporkan, termasuk tindakan yang diganjar sanksi pidana.

Seira memandang, semangat dalam UU Pilkada ini justru bisa ditegakkan oleh KPU lewat hadirnya ketentuan diskualifikasi bagi paslon yang mangkir dari kewajiban melaporkan dana kampanye.

“Pemberian sanksi diskualifikasi bagi pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK justru perlu terus untuk dioptimalkan implementasinya,” tegas Seira.

Penjelasan KPU

Anggota KPU RI, Idham Holik, mengungkap alasan pihaknya menghapus sanksi diskualifikasi terhadap calon kepala daerah yang tak melaporkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Idham menegaskan bahwa ketentuan mengenai sanksi itu tidak diatur di Undang-Undang Pilkada.

Maka, kata Idham, PKPU sebagai peraturan yang sifatnya mengatur lebih lanjut dan teknis, sepatutnya tidak melebihi batas yang diberikan Undang-Undang.

"Apalagi bertentangan secara norma hukum, maka ketentuan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon apabila tidak menyampaikan LPPDK yang diatur dalam Pasal 54 PKPU 5 Tahun 2017 perlu dihapus," ucap Idham kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Oleh karena itu, PKPU tentang Dana Kampanye Pasangan Calon yang saat ini masih dalam proses legal drafting akan diatur sejumlah hal. Seandainya terdapat pasangan calon yang tidak atau terlambat menyampaikan LADK, maka akan ada peringatan yang disampaikan lewat surat dan diberikan kesempatan menyampaikan LADK dengan rentang waktu tertentu.

Apabila sesudah peringatan, paslon bersangkutan tetap tidak menyampaikan LADK, maka paslon diberikan sanksi berupa tidak boleh mengikuti kampanye. Pasangan calon yang tidak atau terlambat menyampaikan LADK dan/atau LPPDK akan diumumkan kepada publik.

"Apabila paslon tidak menyampaikan LPPDK, tidak ditetapkan sebagai calon terpilih sampai dengan calon bersangkutan menyampaikan LPPDK," tutup Idham Holik.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi