tirto.id - Anggota KPU, Idham Holik, mengungkap alasan pihaknya menghapus sanksi diskualifikasi terhadap calon kepala daerah yang tak melaporkan Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Ia mengatakan ketentuan mengenai sanksi yang tidak menyampaikan LADK dalam rangka meningkatkan kepatuhan pelaporan dana dan LPPDK tidak diatur di Undang-Undang UU Pilkada.
Idham berkata mengacu pada ketentuan Pasal 76 UU 10 Tahun 2016, pembatalan hanya terjadi apabila paslon menerima sumbangan terlarang.
Lebih lanjut, Idham mengatakan PKPU sebagai peraturan yang sifatnya mengatur lebih lanjut dan teknis, sepatutnya pengaturannya tidak melebihi batas yang diberikan Undang-Undang.
"Apalagi bertentangan secara norma hukum, maka ketentuan sanksi pembatalan sebagai pasangan calon apabila tidak menyampaikan LPPDK yang diatur dalam Pasal 54 PKPU 5 Tahun 2017 perlu dihapus," ucap Idham kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).
Oleh karena itu, dalam PKPU tentang Dana Kampanye Pasangan Calon, yang saat ini masih dalam proses legal drafting akan diatur sejumlah hal.
Pertama, apabila terdapat pasangan calon yang tidak atau terlambat menyampaikan LADK akan diberikan peringatan yang disampaikan melalui surat KPU dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan LADK dengan rentang waktu yang ditentukan.
Kedua, apabila setelah disampaikan peringatan, namun Paslon bersangkutan tetap tidak menyampaikan LADK, maka paslon tersebut diberikan sanksi yaitu tidak dapat mengikuti kampanye.
Ketiga, pasangan calon yang tidak atau terlambat menyampaikan LADK dan/atau LPPDK akan diumumkan kepada publik.
"Keempat, apabila paslon tidak menyampaikan LPPDK tidak ditetapkan sebagai Calon Terpilih sampai dengan Calon bersangkutan menyampaikan LPPDK," tutup Idham Holik.
The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) mengkritisi rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghapus sanksi diskualifikasi atau pembatalan terhadap calon peserta pilkada yang tak menyampaikan LADK dan LPPDK.
Ketua CONSID, Kholil Pasaribu, menilai rencana KPU lewat Rancangan PKPU terkait Dana Kampanye Peserta Pilkada 2024 itu, langkah mundur bagi penyelenggaraan pilkada yang bersih dari dana politik kotor.
KPU beralasan penghapusan sanksi pembatalan pasangan calon tersebut tidak diatur dalam UU 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
"Pembatalan tersebut bertentangan dengan norma hukum, karena sanksi itu dianggap melebihi batas kewenangan yang diberikan UU," kata Kholil dalam keterangannya, Selasa (6/8/2024).
Sebagai gantinya, KPU mengusulkan sanksi bagi paslon yang tidak menyampaikan LPPDK, yakni tidak dapat mengikuti kampanye dan tidak ditetapkan sebagai paslon terpilih sampai paslon yang bersangkutan menyampaikan LPPDK.
Kholil mengatakan sikap KPU ini setidaknya mengindikasikan empat hal. Pertama, kata dia, KPU tidak konsisten dengan cara pandang dan sikap hukum yang dilakukan. Satu sisi, KPU tidak bisa menerapkan sanksi yang melebihi batas yang diberikan UU, tetapi saat yang sama juga mengatur sanksi yang tidak jelas batas ukurnya.
"Jika dinyatakan pasal 75 UU 10/2016 tidak mengatur sanksi bagi paslon yang tidak menyerahkan LPPDK, seharusnya tidak perlu ada sanksi sama sekali yang diberikan," ucap Kholil.
Kholil berkata KPU pada faktanya tetap mengatur sanksi, yang jika dinilai, tidak maksimal dan jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas. Artinya, lanjut dia, KPU dalam mengatur jenis sanksi memilih sanksi yang teringan bagi paslon yang melanggar.
Lebih lanjut, Kholil mengatakan, penghapusan sanksi pembatalan seperti memberi ruang bagi paslon untuk secara serampangan menerima sumbangan dan mengelola peruntukkannya, sehingga membuka ruang hadirnya praktik korupsi dan beredarnya dana ilegal yang lebih besar.
Lalu, penghapusan sanksi pembatalan paslon sebagaimana telah diterapkan pada pilkada-pilkada sebelumnya, terkesan lembaga penyelenggara pemilu begitu ramah dan mengakomodasi kemauan peserta pilkada.
"Keempat, penghapusan tersebut juga semakin memperkuat penilaian masyarakat bahwa lembaga ini tidak mandiri dalam membuat regulasi dan/atau menjalankan semua tahapan pilkada, inkonsisten, serta minim komitmen pada pilkada bersih dan antikorupsi," tegas Kholil.
Kholil mengatakan merujuk pada pelaksanaan pilkada sebelumnya, sanksi pembatalan sudah diberlakukan KPU sejak Pilkada Serentak 2015 melalui Peraturan KPU No.8 Tahun 2015 tentang Dana Kampanye Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Klausul pembatalan bagi paslon yang tidak melaporkan LPPDK dalam pelaksanaannya dapat diterima oleh publik dan tidak mendapatkan penolakan dari partai politik maupun pasangan calon serta telah dipatuhi oleh peserta pilkada secara konsisten.
"Karena itu menjadi sangat aneh dan menimbulkan pertanyaan besar apa yang melatari sikap KPU yang ingin menghapus ketentuan tersebut dengan alasan tidak diatur dalam UU Pilkada," kata Kholil.
Di sisi lain, menurut dia, transparansi dana kampanye adalah hak bagi pemilih. Ia mengatakan publik berhak mengetahui siapa penyumbang dana, berapa besar jumlah dana, serta bagaimana dana kampanye dibelanjakan oleh paslon.
Pasalnya, dana kampanye menjadi alat analisis dan alat pengambilan keputusan bagi pemilih untuk menentukan siapa calon yang akan dicoblos nantinya di TPS. Dengan demikian, kata dia, menghapus sanksi pembatalan juga berarti bahwa KPU menghapus instrumen pemilih untuk menentukan pilihan secara cerdas dan rasional.
"Kalau pendekatan KPU berlanjut pragmatis seperti saat ini, maka kualitas pemilu Indonesia akan stagnan dan tidak pernah ada perbaikan ataupun peningkatan mutu," tutup Kholil Pasaribu.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang