Menuju konten utama

Koalisi Super di Pilkada Bukan Jaminan Mudah Raih Kemenangan

Pemilih di pilkada akan sangat bergantung dengan kandidat siapa yang akan dijagokan, bukan dari partai politiknya.

Koalisi Super di Pilkada Bukan Jaminan Mudah Raih Kemenangan
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyerahkan surat keputusan rekomendasi dukungan kepada Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak untuk maju di Pilkada Jawa Timur di rumah dinas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di Komplek Widya Candra, Jakarta Selatan, Jumat (17/5/2024). (FOTO/Dok. Humas Golkar)

tirto.id - Tahapan pendaftaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang kian dekat, membuat peta koalisi partai politik (parpol) semakin mengerucut. Sejumlah bakal calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernurnya (cawagub) di Jawa Timur dan Sumatera, bahkan sudah memboyong dukungan gemuk dari berbagai parpol.

Di Jawa Timur misalnya, sudah ada delapan partai yang mendukung Khofifah Indar Parawansa beserta Emil Elestianto Dardak sebagai cagub dan cawagub. Delapan partai tersebut diantaranya adalah Partai Golkar, PAN, Demokrat, Gerindra, PPP, PSI, Perindo, dan PKS.

Sementara parpol yang belum menyatakan dukungan di Pilkada Jatim maupun kepada Khofifah-Emil antara lain PKB, Nasdem, dan PDIP.

Kemudian untuk di Sumatera Utara, menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution, juga mendapat dukungan dari 'super koalisi' untuk maju di Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024.

Setidaknya, terdapat delapan partai juga yang sudah resmi menyatakan dukungan kepada Bobby yakni: Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, Nasdem, PKB, PPP, dan PKS.

Diketahui, Golkar, Gerindra, PAN dan Demokrat merupakan parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sementara sebagian pendukung di Jawa Timur dan Sumatera Utara bukan merupakan parpol KIM, tetapi berpotensi menambah kekuatan atau yang kini disebut sebagai KIM Plus.

Bukan Jaminan Raih Kemenangan Mudah

Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat dukungan koalisi gemuk tersebut sejatinya tidak menjamin kemenangan di pilkada.

Pasalnya, langkah partai politik mengusung bakal calon, tidak sepenuhnya diikuti pula dengan dukungan pemilihnya. Karena, pemilih akan sangat bergantung dengan kandidat siapa yang akan dijagokan.

“Memang terlihat kalau KIM berusaha menancapkan pengaruhnya di daerah-daerah. Tapi kalkulasi tetap pada kekuatan kandidat yang didukung. Artinya, ini kembali pada kejelian KIM dalam menentukan arah dukungannya,” ujar Musfi kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Musfi mencontohkan di banyak kasus pilkada, didukung banyak partai bukan jaminan kemenangan. Di Pemilihan Wali Kota Makassar 2018 misalnya, semula diikuti dua paslon, yakni Mohammad Ramdhan Pomanto-Indira Mulyasari dan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika.

Pasangan Danny Pomanto-Indira diketahui maju dari jalur independen. Sementara itu, pasangan Munafri-Andi diusung koalisi gemuk yang diisi Partai Nasdem, Golkar, PAN, Hanura, PPP, PDIP, Gerindra, PKS, PKPI, dan PBB.

Belakangan, KPU Makassar justru mencoret Danny Pomanto-Indira lantaran tersandung kasus hukum. Namun, jumlah suara yang diraih paslon Munafri-Andi toh tak bisa menandingi perolehan kotak kosong.

Meski hanya satu contoh, peristiwa itu menjadi preseden bahwa memilih kotak kosong pun adalah pilihan yang relevan.

“Jadi didukung banyak partai bukan jaminan kemenangan,” imbuh dia.

PKS resmi dukung Bobby dan Surya

PKS resmi menyerahkan surat rekomendasi dukungan kepada Bobby Nasution dan Surya, sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur di Pilgub Sumut, Jumat (2/8/2024). FOTO?Dok Istimewa Grup awak media

Analis politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, mengatakan dukungan banyak partai memang tidak selalu menjamin kemenangan dalam pilkada. Kecuali, kata Kunto, jika seluruh partai diambil untuk mendukung satu paslon tertentu dan membuka kemungkinan untuk melawan kotak kosong.

“Karena kan tidak ada kampanye untuk kotak kosong kan. Sehingga kalau itu terjadi kemungkinan atau probabilitasnya tentu akan jauh lebih besar [kemenangannya],” jelas Kunto kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Kalau kemungkinan yang terjadi adalah tidak ada lawannya atau kotak kosong, jelas menurut Kunto, lebih gampang merebut suara dari pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang berpotensi ‘berayun’ atau beralih suara (swing voters). Sementara yang memilih kotak kosong adalah mereka yang kritis.

“Tetapi di lain sisi juga akan memperkecil partisipasi pemilih di kotak suara karena orang pikirnya sudah pasti menang, ngapain ikut pilih kan begitu. Jadi ada risiko-risiko itu,” jelas dia.

Kemenangan Bergantung pada Mesin Partai

Kendati begitu, lanjut Kunto, kemenangan pilkada ini akan sangat bergantung kepada mesin partai masing-masing. Toh sejauh ini, PDIP sendiri tidak membiarkan bakal cagub Pilgub Sumut, Bobby Nasution, dan bakal cagub Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, melawan kotak kosong meski sama-sama telah mendapat dukungan banyak partai politik.

“Kalau ada lawan lain dan lebih kecil koalisi partainya paling tidak koalisi partai akan menang di mesin politiknya untuk serangan operasi daratnya,” kata Kunto.

Sebab, percuma juga kata Kunto, jika koalisi besar tapi mesin politik tidak jalan. Artinya sama saja bohong dan itu sering terjadi di pilkada.

Misalnya, kandidat dijagokan sebenarnya bukan kader asli dari partai koalisi tersebut yang kemudian membeli dukungan atau mendapatkan dukungan dari koalisi besar, tapi tidak menjalankan mesin partainya.

“Ini karena dia harus keluarin bensin untuk mesin partai ini. Kecuali kalau kader sendiri dan itu juga belum tentu jadi jaminan kemenangan. Tetapi, asal mesin partai hidup nyala dan jalan saya pikir peluang untuk menang pasti besar bagi koalisi yang besar,” jelas dia.

Analis politik dari Aljabar Strategic, Arifki Chaniago, mengatakan kemungkinan menang bagi cagub dan cawagub yang mendapatkan borongan dukungan dari parpol cukup berpeluang. Apalagi jika lawan KIM Plus ini adalah kandidat yang kurang populer atau kotak kosong.

“Namun, tidak menutup kemungkinan juga kotak kosong juga menang atau figur lain yang menang. Ini tergantung gerakan apa yang muncul di daerah tersebut,” jelas Arifki.

Strategi KIM Rebut Kemenangan

Di sisi lain, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, berpendapat bahwa fenomena dukungan banyak partai atau kehadiran KIM Plus di pilkada bagian dari strategi untuk meningkatkan peluang kemenangan bagi calon-calon yang kemudian didukung oleh KIM.

Karena faktanya, banyak partai-partai non-KIM justru merapatkan barisan mendukung calon yang sama.

“Kan sekarang banyak yang tadinya 01, PKB, Nasdem dan bahkan PKS itu minta atau ada kecenderungan untuk kemudian gabung ke KIM Pusat dan bukan tidak mungkin kalau misalkan mereka kemudian koalisi di tingkat daerah gitu,” jelas Annisa kepada Tirto, Selasa (6/8/2024).

Annisa menuturkan, jika melihat konteks pemilu 2024 kemarin, KIM yang ingin menang di level nasional juga kemungkinan mengincar kemenangan di level daerah. Kondisi ini kemudian memungkinkan adanya calon tunggal di daerah-daerah, yang mana kalau misalkan kandidat telah diusung oleh KIM oposisinya atau lawannya sudah tahu bakal kalah.

“Jadi mereka mending kemudian masuk ke KIM koalisi besarnya itu. Jadi hal atau praktik semacam ini bisa jadi menyurutkan kandidat-kandidat yang lain yang ingin maju yang kemudian koalisinya tidak sebesar KIM,” terang Annisa.

Pengajar Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan dukungan banyak parpol yang berpotensi hadirkan calon tunggal memang menjanjikan peluang kemenangan yang sangat besar. Selain itu, calon tunggal juga bisa jadi strategi gabungan partai untuk menghambat kepesertaan calon-calon yang punya elektabilitas tinggi.

"Apakah dengan demikian calon tunggal pasti menang? Belum tentu juga," kata Titi kepada Tirto, Selasa (6/8/2023).

Menurut Titi, masyarakat saat ini semakin terbuka dan karakter pemilih suatu daerah akan sangat berpengaruh pada potensi menang atau tidaknya calon tunggal. Perlawanan atas fenomena calon tunggal ini pun sudah dilakukan di sejumlah pilkada.

Kalau calon tunggal terjadi di Jakarta, lanjut Titi, tentu tidak akan mudah untuk menang, Sebab, Jakarta itu barometer politik nasional dan akan jadi kontroversi serta memicu ketidakpuasan bukan hanya dalam lingkup warga Jakarta, namun juga secara nasional.

Selain itu, pemilih Jakarta relatif kritis dan melek politik sehingga mengusulkan calon tunggal di Jakarta melalui suatu rekayasa politik, bukan sebagai suatu yang alamiah. Karena justru akan punya potensi untuk calon tunggal mengalami kekalahan.

Di luar itu, menurut Musfi Romdoni, hal perlu digaris bawahi adalah koalisi di pilpres berbeda dengan koalisi pilkada. Di pilkada partai politik membentuk kesepakatan baru. Ini membuat partai non-KIM bisa bergabung, misalnya PKS mendukung Bobby Nasution di Sumut. Atau partai KIM pecah dukungan, seperti di Banten, Golkar dukung Airin sedangkan Gerindra dukung Andra Soni.

“Saya kira KIM ini kadang terlalu dipaksa-paksakan di Pilkada. Koalisi partai di daerah itu cair. Karena itu kembali, partai membentuk kesepakatan baru karena kandidat yang didukungnya berbeda-beda,” pungkas Musfi.

PSI Rekomendasikan Andra Soni-Dimyati di Banten

Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep saat memberikan rekomendasi kepada Andra Soni dan Dimyati Natakusumah sebagai calon gubernur-wakil gubernur pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilakda) Banten 2024 di Kantor DPP PSI, Jakarta Pusat, Kamis (18/7/2024). (Tirto.id/)

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto