tirto.id - Empat pemohon menguji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang larangan mantan gubernur tidak boleh maju sebagai satu pasangan calon dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Keempat pemohon antara lain John Gunung Hutapea (Pemohon I), Deny Panjaitan (Pemohon II), Saibun Kasmadi Sirait (Pemohon III), serta Elvis Sitorus (Pemohon IV) menuntut agar Pasal 7 Ayat (2) huruf UU Pilkada, yang berbunyi "Belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama" dibatalkan secara hukum. Permohonan tersebut teregistrasi dalam Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024.
"Menyatakan batal Pasal 7 Ayat (2) huruf o Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tersebut dan setidak-tidaknya menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," tulis petitum pemohon dikutip Tirto, Jumat (2/8/2024).
Empat pemohon ini memandang Pasal 7 Ayat (2) huruf o UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4), dan Pasal 28J Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Mereka juga memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu selama-lamanya 30 hari.
"Apabila Yang Mulia Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya," kata kuasa hukum pemohon, Firman Hasurungan Simanjuntak.
Perkara Nomor 73/PUU-XXII/2024 itu telah menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan, Senin (15/7/2024). Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra selaku ketua, Hakim Konstitusi, Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi, Arsul Sani, sebagai anggota panel.
Dalam sidang panel itu, Saldi menyoroti legal standing atau hak para pemohon mengajukan gugatan ke MK. Ia meminta penjelasan pemohon alasan mengajukan permohonan uji materi UU itu.
"Apa legal standing dulu? Kenapa ini Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini? Itu yang harus dijelaskan dulu," kata Saldi Isra.
Saldi mengatakan di beberapa daerah pernah terjadi seseorang yang telah selesai menjadi kepala daerah lalu mengajukan diri sebagai calon wakil kepala daerah. Namun, hal itu tidak dibolehkan karena dikhawatirkan kepala daerah berhalangan tetap, sehingga perlu digantikan oleh wakilnya.
"Karena kalau dia sudah pernah jadi kepala daerah dua kali, jadi wakil kepala daerah, lalu terpilih, nanti kalau kepala daerah yang dia wakilnya berhalangan tetap, kan, dia harus jadi kepala daerah. Lebih dong, dari dua kali dia jadi kepala daerah. Itu ratio di balik pasal ini," tutur Saldi.
Di sisi lain, Saldi mempertanyakan apakah empat pemohon sudah pernah menjadi kepala daerah selama dua periode.
"Dulu ini enggak ada norma seperti ini, huruf o itu tidak ada. Tapi setelah ada pengalaman di beberapa tempat, ketika Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu diperbaiki, dimunculkan norma itu. Makanya pertanyaan tadi, pernah enggak ini jadi kepala daerah? Maksudnya ini kalau orang pernah jadi kepala daerah, lalu dia sudah dua kali maju lagi, tapi jadi wakil kepala daerah. Nah, itu yang dilarang," ucap Saldi.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher