Menuju konten utama

Motivasi atau Tekanan? Dinamika Parental Pressure pada Anak

Alih-alih menekan anak, orang tua dapat memberi edukasi pada anak, misalnya tentang tanggung jawab dalam belajar, agar timbul kesadaran sendiri.

Motivasi atau Tekanan? Dinamika Parental Pressure pada Anak
Header Diajeng Tekanan Orangtua Pada Anak. tirto.id/Quita

tirto.id - Keseharian remaja 13 tahun bernama Mei Lee diisi dengan berbagai kesibukan untuk mencapai kesempurnaan.

Semua upaya Mei lakukan: belajar keras untuk meraih nilai yang baik sampai ikut berbagai kegiatan ekstrakurikuler.

Mei juga membantu ibunya di kuil keluarganya. Selain itu, dia masih menyempatkan diri untuk bersosialisasi dengan teman-temannya.

Namun, pada akhirnya, kesabaran Mei untuk memenuhi ekspektasi orang tua sebagai gadis sempurna itu seketika habis saat sang sang ibu mempermalukannya di depan teman-teman sekelasnya.

Terbakar emosi, Mei meluapkan kemarahannya dan melepaskan kutukan keluarga. Duarrr! Dirinya berubah menjadi seekor panda merah.

Mei berubah menjadi suka memberontak, malas-malasan sampai nilai pelajarannya memburuk, bahkan berbohong.

Meski digambarkan dalam balutan animasi yang jenaka dan menghibur, kisah Mei dari film produksi Pixar Disney Turning Red (2022) ini bisa jadi pengalaman jamak yang mewakili anak-anak lain di luar sana: berjibaku menghadapi tekanan orang tua untuk memenuhi harapan mereka.

Mengutip Psych Central, parental pressure atau tekanan dari orang tua merupakan tekanan emosional yang dibebankan orang tua kepada anak-anak mereka.

Tekanan ini acap kali berkaitan dengan prestasi akademik, olahraga, atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya, bahkan standar budaya atau sosial, penampilan, persahabatan, hingga hubungan romantis.

Ada dua bentuk utama tekanan dari orang tua, yaitu tekanan langsung dan tekanan tidak langsung.

Tekanan langsung biasanya melibatkan teriakan, kekerasan, atau keluhan, sedangkan tekanan tidak langsung dapat dilakukan dengan memanfaatkan rasa bersalah pada anak atau mengingatkan mereka tentang harapan yang terlalu kaku.

Menurut Dr Carly Claney dalam tulisannya di Relational Psych, setidaknya terdapat beberapa tanda yang mengindikasikan bahwa orang tua telah melakukan tekanan pada anak.

Contohnya, orang tua suka mengkritik atau membentak anak, menetapkan ekspektasi yang kaku tanpa mempertimbangkan masukan dari anak, dan bereaksi berlebihan terhadap kesalahan atau kegagalan anak.

Selain itu, ada kecenderungan pada orang tua membatasi atau tidak memperlihatkan kasih sayang ketika anaknya tidak memenuhi standar mereka.

Bisa juga, orang tua justru melakukan pekerjaan si anak atau malah turut campur tangan dalam konflik mereka.

Apa penyebab beberapa orang tua memberikan tekanan yang sedemikian rupa pada anak?

Menurut Mahadsih Worowiranti, M.Psi., Psikolog atau biasa disapa Woro, ada berbagai alasan yang melatarbelakanginya.

Tekanan orang tua terhadap anak bisa terjadi karena adanya ekspektasi dan harapan tinggi orang tua terhadap anak, misalnya keinginan supaya anaknya sukses atau bisa dibanggakan.

Ekspektasi tinggi tersebut ini juga dapat lahir karena pengalaman masa lalu orang tua itu sendiri.

Misalnya, di masa lalu, orang tua merasa tidak puas dan merasa gagal dalam keputusan atau jalan hidupnya. Mereka kemudian menaruh harapan tinggi pada anaknya dan berusaha mendorong atau menekan anak supaya lebih sukses daripada mereka.

"Sebagai anak, mereka punya tugas berkaitan dengan akademis sehingga membuat orang tua menuntut anak di bidang itu, seperti mendapatkan nilai yang bagus," ujar psikolog yang praktik di RS Telogorejo Semarang ini.

Penjelasan lainnya berkaitan dengan kemungkinan bahwa orang tua sewaktu kecil juga mengalami perlakuan yang sama dari orang tuanya sendiri.

Maka dari itu, secara tidak langsung, mereka belajar memperlakukan anak sebagaimana dulu diperlakukan.

Kendati demikian, tekanan sebenarnya tidak harus melulu dipandang negatif. Tekanan yang diberikan dengan kadar yang cukup dapat menjadi salah satu cara untuk memotivasi anak.

Dalam konteks akademis, bentuk motivasi dapat diwujudkan dengan mengingatkan anak untuk belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah.

Ilustrasi Orang Tua Marah ke Anak

Ilustrasi orang tua marah ke anak. FOTO/iStockphoto

Pada waktu sama, Woro menggarisbawahi, motivasi tersebut berpotensi berubah menjadi tekanan pada anak apabila dilakukan secara terus menerus dan membuat anak merasa tidak nyaman.

Terlebih jika disertai hukuman atau ancaman dan kata-kata yang mengarah ada nuansa negatif negatif seperti menyalahkan atau membanding-bandingkan. Bukan tidak mungkin, anak jadi merasa down.

"Itu bisa dimasukkan sebagai kategori motivasi eksternal yang sifatnya sebagai punishment, yaitu memberikan sesuatu hal yang tidak menyenangkan kepada anak," terang Woro.

Meskipun menjadi hal yang wajar bagi orang tua untuk menginginkan anak-anaknya menjadi bahagia dan sukses, penting disadari juga bahwa tekanan berlebihan dapat menimbulkan konsekuensi serius dalam berbagai aspek kehidupan anak.

Melansir Parents, anak-anak yang merasa berada di bawah tekanan dapat mengalami kecemasan terus-menerus.

Stres yang tinggi itu lantas dapat menempatkan anak-anak pada risiko yang lebih besar untuk mengalami depresi atau gangguan kesehatan mental lainnya.

Selain itu, ketika fokus yang ingin diraih adalah prestasi alih-alih proses pembelajaran, anak-anak akan cenderung lebih suka menyontek—tindakan yang lazim dilakukan anak-anak yang merasa tertekan.

“Penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang menekan anak-anak mereka untuk berprestasi baik di sekolah sebagian besar justru merusak minat anak-anak mereka dalam belajar yang ironisnya mengganggu prestasi di masa depan," ungkap Alfie Kohn, penulis buku Unconditional Parenting dan Punished by Rewards (2006), dikutip dari Forbes.

Sebaliknya, ketika tekanan dilepaskan, hal ini memungkinkan munculnya “kegembiraan” anak untuk belajar.

Memberikan dorongan yang berlebih pada anak-anak untuk berprestasi juga berpotensi merusak harga diri mereka.

Saat anak-anak merasa tujuannya adalah untuk selalu "menjadi yang terbaik", mereka cenderung enggan berpartisipasi ketika mereka merasa dirinya tidak mungkin bersinar.

Hal tersebut bukan tidak mungkin mengganggu proses pembentukan identitas anak-anak, bahkan menyebabkan mereka merasa tidak cukup atau bahkan tidak pernah menjadi baik.

Ilustrasi Orang Tua Marah ke Anak

Ilustrasi orang tua marah ke anak. FOTO/iStockphoto

Kohn menambahkan, parental pressure dapat merusak hubungan antara orang tua dan anak, termasuk memengaruhi bagaimana anak memandang diri mereka sendiri.

Ketika orang tua terpaku pada keberhasilan anak, mereka mungkin secara tidak sengaja menggunakan taktik manipulasi emosional, seperti menggunakan cinta bersyarat untuk memotivasi anak.

Ketika anak mengalami kegagalan dalam memenuhi harapan orang tua, misalnya secara akademis, hal tersebut bisa membuat anak tidak merasa pantas menjadi anak, atau merasa tidak diterima sebagai anak.

Singkat kata, anak jadi berpikiran bahwa mereka hanya layak untuk dicintai oleh orang tua ketika membawa pulang nilai rapor yang bagus.

Apabila ditilik dari fisiknya, anak-anak yang terus-menerus ditekan untuk berprestasi di sekolah mungkin akan memaksakan diri begadang untuk belajar, sehingga kurang tidur dan bisa mengalami stres.

Menurut Woro, ketika orang tua memberikan motivasi kepada anak, penting untuk mengetahui batas-batas tertentu agar tidak menimbulkan dampak negatif di kemudian hari.

Orang tua dapat mengingatkan anak dengan kata-kata yang membangun dan positif, alih-alih menggunakan kalimat bernuansa negatif yang bersifat menyalahkan atau membanding-bandingkan.

Daripada menekan anak, orang tua bisa juga memberikan edukasi pada anak supaya timbul kesadaran sendiri dari dalam diri mereka.

"Belajar merupakan bentuk tanggung jawab anak. Namun anak-anak tidak serta merta atau langsung memiliki kesadaran tersebut. Oleh karena itu, perlu dibiasakan sejak kecil dengan mengajarkan tanggung jawab dan mandiri supaya timbul niat belajar sendiri," kata Woro.

Anak akan belajar bahwa mereka punya peran untuk melakukan kewajiban. Apabila pemahaman tersebut sudah diberikan sedari kecil, anak dapat menumbuhkan kesadaran bahwa mereka belajar untuk keperluan sendiri alih-alih karena takut dihukum.

Orang tua juga dapat memberikan positive reinforcement terhadap perilaku anak, seperti memberikan pujian atau apresiasi tentang proses yang sudah mereka lakukan meski hasilnya mungkin belum sesuai ekspekasi.

Dengan mengapresiasi proses yang dijalani, anak merasa dihargai dan senang sehingga mereka bersedia untuk mengulang usahanya.

Selain itu, Woro menambahkan perlunya menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan menyenangkan untuk mendukung anak. Hal itu semua tentu bermula dari lingkungan keluarga.

"Keluarga harus dalam kondisi emosi yang baik. Relasi antarkeluarga yang baik pun juga berperan penting terhadap emosi anak. Saat kondisi emosi anak baik, maka mereka akan merasa happy untuk belajar dan tidak merasa tertekan," katanya.

Orang tua perlu mendampingi dan membersamai anak, alih-alih sekadar memberikan instruksi atau menyuruh. Contohnya, menemani atau menjadi partner tanya jawab dan berdiskusi saat anak belajar dan terbuka ketika anak ingin bertanya.

"Tidak selalu berarti bahwa anak yang sudah kita anggap bisa belajar sendiri kemudian mandiri. Keberadaan kita di samping mereka dengan emosi yang baik bisa membuat anak merasa bahwa belajar merupakan hal yang menyenangkan dan menjadi waktu yang berkualitas antara orang tua dan anak," pungkas Woro.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Diajeng
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih