tirto.id - Usai laga perempat final Piala FA 2015 antara Liverpool kontra Blackburn Rovers di Anfield, seorang suporter Liverpool menuai kecaman akibat cuitannya di Twitter. Stephen Dodd, nama suporter itu, mengunggah foto dua muslim yang tengah salat di pelataran tangga menuju luar stadion.
“Muslims praying at half time at the match yesterday #DISGRACE”
#DISGRACE. Memalukan. Menjijikkan. Begitu kata Todd.
Tak menunggu lama, Todd langsung menjadi sasaran caci maki suporter Liverpool lain di Twitter. Akun @harryfre menulis: “Bagaimana itu bisa dianggap menjijikkan?”. Akun lain, @RollsonShabbos mendamprat lebih keras: “Bigot sompral”.
Akun @LFCChris mengecam tindakan tersebut dengan tak kalah pedas: “Satu-satunya yang salah di sini adalah kamu mendukung Liverpool!” Sementara Marwan Elsaifi, salah seorang suporter Liverpool yang juga muslim, ikut menanyakan sesuatu: “Apakah kamu ingin melihat (Emre) Can dan Kolo (Toure) berhenti berdoa ketika pertandingan dimulai?”
Belakangan diketahui dua orang yang sedang salat ternyata suporter Liverpool: Asif Bodi, seorang pengacara, dan anaknya, Abubakar Bhula. Bodi mengaku kaget, terutama pada reaksi netizen.
Kepada Liverpool Echo, ia mengatakan: “Kami sangat terkejut dengan reaksi yang ada. Anakku mengatakan pada saat itu, ‘ada orang yang memotret kita’, dan saya kira mungkin orang tersebut belum pernah melihat orang salat sebelumnya. Tentu saja saya tidak berharap disebut menjijikkan karena beribadah. Tetapi dukungan dari orang-orang sungguh baik dan saya berterima kasih karenanya.”
Dua tahun berselang, seorang pemain muslim lain didatangkan The Reds dari AS Roma dengan nilai transfer cukup tinggi 42 juta euro atau setara Rp 712 miliar. Namanya Mohamed Salah.
Pemain asal Mesir yang sebelumnya pernah merumput bersama Chelsea ini bukan hanya bermain luar biasa--mencetak 43 gol, membawa Liverpool menuju final Liga Champions, dan terpilih sebagai Pemain Terbaik EPL 2017-2018--tetapi efek kejut lainnya lebih dahsyat lagi: ia mengubah banyak pandangan warga Inggris terhadap kaum muslim.
Begitu spesialnya Salah, sampai-sampai suporter The Reds pun membuat chant khusus untuknya: Mo Sa-la-la-la-lah, Mo Sa-la-la-la-lah, if he's good enough for you, he's good enough for me, if he scores another few, then I'll be Muslim too. He's sitting in the mosque, that's where I want to be.
Salah dengan cepat menjadi pemain kesayangan publik Inggris. Sementara (suporter Liverpool macam) Stephen Dodd sepertinya sudah terkubur ke dalam kubangan sampah.
Perkembangan Pemain Muslim dalam Sepakbola Inggris
Beberapa hari menjelang Ramadan 2013, BBC pernah menayangkan sebuah program menarik: The Muslim Premier League. Dibawakan oleh Colin Murray, program dokumenter tersebut dibuat untuk mengamati bagaimana efek kedatangan kaum muslim terhadap perkembangan sepakbola di Inggris.
Data resmi, seperti dijelaskan dalam program itu, menunjukkan bahwa setidaknya 40 pemain di Liga Primer pada 2013 menyebut diri mereka Islam. Jumlah itu tidak istimewa, kurang dari 10 persen dibandingkan total 540 pemain dari 20 klub yang terdaftar di Liga Primer. Meski kecil, tidak demikian dengan pengaruh yang mereka timbulkan.
Beberapa pengaruhnya pada saat itu antara lain: Newcastle menyediakan musala di dalam lingkungan stadion mereka, St. James Park; Arsenal memberi tambahan waktu luang bagi pemainnya yang hendak menjalankan salat; sementara Liverpool memutuskan hanya menyediakan makanan halal untuk dikonsumsi para pemain di musim latihan, sebab dengan begitu, baik yang muslim maupun bukan, sama-sama bisa mengonsumsinya.
Jurnalis BBC, Rob Crowling, pernah mengulas hal yang sama dalam artikelnya berjudul: How Muslims are Changing English Football Culture. Menurut Crowling, perubahan yang muncul terkait kedatangan pemain muslim sebetulnya berlangsung dua arah. Selain klub, pemain muslim tentunya juga mesti beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tujuannya agar potensi konflik bisa dikurangi dan simbiosis mutualistis antara kedua pihak dapat terjalin.
Salah satu perubahan cukup drastis lainnya adalah ketika Bank Barclays, sebagai salah satu sponsor Liga Primer, memutuskan untuk tidak lagi memberi sampanye kepada pemain muslim yang terpilih sebagai man of the match. Sebagai gantinya, mereka akan diberikan sebotol waard (minuman kombinasi antara air mawar dan buah delima).
Keputusan ini ditempuh ketika, dalam sebuah wawancara setelah laga usai, Yaya Toure--yang terpilih sebagai MoTM-- kedapatan menolak pemberian sampanye dari rekannya di Manchester City, Joleon Lescott. Dengan sopan Yaya mengatakan: “Saya tak meminumnya karena saya muslim, silakan kamu simpan saja.”
Kedatangan pemain muslim juga memberi efek positif ke suporter. Di Newcastle, misalnya, dulu terdapat chant khusus untuk striker mereka, Demba Ba, yang mengaitkan kemampuannya mencetak gol dengan bulan Ramadan. Judulnya: Demba Ba Ramadan.
Pemain asal Senegal tersebut memang dikenal sebagai salah satu pemain muslim yang taat dan selalu berpuasa setiap Ramadan tiba. Selain itu, cara Ba merayakan gol dengan cara bersujud justru menjadi “tren” tersendiri di kalangan suporter Newcastle. Berkat Ba, pemahaman orang Inggris tentang Ramadan dan Islam secara keseluruhan menjadi lebih terbuka.
Hal tersebut turut dikemukakan Omar Salha, peneliti dari The School of Oriental and African Studies (SOAS) di London. Dalam sebuah wawancara dengan Sky Sports tahun 2015, Salha mengatakan: “Ada sekian indikasi yang menunjukkan kenapa pemain muslim dapat mengurangi stereotipe dan miskonsepsi tentang Islam di kalangan suporter. Utamanya, karena peningkatan jumlah mereka di Liga Primer dan ekspresi simbolis (Islam) yang kerap dilakukan di stadion.”
Sikap seperti itu, lanjut Salha, membuat orang-orang mulai memahami bagaimana cara mereka mengimani ajaran agamanya. Hal tersebut menciptakan kesadaran terkait pandangan mereka mengenai puasa, ibadah, larangan alkohol, juga perjudian. Ekspresi tersebut, mengangkat tangan saat berdoa, bersujud setelah perayaan gol, mencerminkan rasa memiliki, kebanggaan, kebebasan berekspresi, dan juga sebagai upaya dalam menghadapi Islamophobia di masyarakat.
Jika dihitung sejak Mohammed Ali Amar atau yang dikenal dengan Nayim menjadi pemain muslim pertama di Liga Primer, hingga kini populasi pemain muslim di Liga Primer Inggris sudah bertambah menjadi 53. Stoke City menjadi klub terbanyak diperkuat pemain muslim (6), disusul kemudian Arsenal, Everton, Manchester City, Newcastle United (masing-masing 5), dan selebihnya tersebar di berbagai klub lain.
Pengaruh yang ditimbulkan para pemain muslim juga kian berlipat. Paul Pogba, misalkan, menjadi pemain termahal sepanjang sejarah Liga Primer. Meski dikenal dengan dandanannya yang nyentrik, tak sekali dua Pogba mengunggah videonya saat berada di Makkah ke Instagram sebagai bentuk kebanggaannya menjadi muslim.
Di Arsenal, ada Mesut Oezil yang menjadi salah satu kreator serangan terbaik, tak hanya di Inggris, tetapi untuk ukuran sepakbola sejagat saat ini. Di Chelsea, tiga pemain menjadi penggawa tim utama: N’Golo Kanté, Tiemoue Bakayoko, Antonio Rudiger. Jangan lupakan bagaimana peran Riyad Mahrez saat membawa Leicester juara liga.
Satu lagi, tentu saja, Mohamed Salah.
Hidup yang Biasa-Biasa Saja, Puasa, dan Liga Champions
Suatu hari, ketika tengah berjalan di trotoar dekat museum Beatles di Liverpool, Salah didatangi seorang perempuan yang memintanya untuk berfoto. Ia menerimanya dengan ramah, melakukan tos bersama, lalu setelah tiga-empat kali foto, perempuan itu segera pamit. “I love you,” katanya sebelum berlalu. Salah tersenyum.
Tak lama berselang, seorang pria tampak mengangkat lehernya dan dengan setengah berbisik bertanya kepada pasangannya: “Itu Mo Salah bukan, sih?”. “Mo Farah? Bukanlah, itu bukan Mo Farah,” jawab pasangannya, acuh belaka. Salah melewati mereka dan masuk ke dalam museum.
Dua adegan di atas terjadi ketika Salah tengah melakukan wawancara bersama James Masters and Becky Anderson dari CNN. Dalam wawancara yang cukup panjang tersebut, Salah diajak menelusuri beberapa ikon kota Liverpool, seperti Albert Dock dan museum Beatles. Tentu saja penampilannya mengundang perhatian. Popularitas Salah tidak hanya berlaku bagi para suporter Liverpool. Beberapa suporter Everton pun menyanjungnya.
Ketika Salah mengunjungi Albert Docks, seorang pria dengan penuh semangat mendekatinya. “Saya suporter Everton,” ujarnya, “tetapi saya harus mengapresiasi apa yang telah ia lakukan musim ini. Istri saya adalah penggemar Liverpool dan dia benar-benar mencintai Salah." Ia mengeluarkan ponsel ingin berfoto bersama, tetapi tangannya yang gemetar membuat pria itu kesulitan menekan tombol kamera. “Ini sungguh luar biasa.”
Salah adalah megabintang paling berpengaruh dalam dunia sepakbola saat ini. Harganya sudah dipastikan melambung tinggi di bursa transfer. Terlebih jika ia berhasil membawa Liverpool juara Liga Champions, Ballon d’Or bisa jadi ikut diraih. Tapi Salah memilih membumi dan menolak limbung dalam kesohoran. Sebagai pesepakbola dari sebuah negara yang sedang bermasalah, ia berusaha paham apa artinya bertanggung jawab.
"Andai Anda membahas Mesir, kami ada 100 juta jiwa. Saya harus bersikap wajar dan tak melakukan suatu hal yang palsu, tak berbohong di sosial media, saat wawancara, dan hidup,” ujarnya. "Ini adalah hidup saya, hidup yang sewajarnya. Tidak rumit. Tak ada banyak hal yang saya lakukan sepanjang hari, tapi itu menjadi sebuah tanggung jawab.”
Dalam final Liga Champions Minggu (27/05/2018) nanti, Salah akan menjadi tokoh sentral Liverpool yang diharapkan dapat membungkam Real Madrid di NSC Olimpiyskiy Stadium, Kiev, Ukraina. Banyak yang bertanya, apakah dalam laga nanti Salah akan tetap berpuasa?
Dalam laporan situs berita Mesir, El-Ahly, Salah diklaim akan terus menjalankan puasa, yang dapat berlangsung selama 18 jam di Ukraina. Jika merujuk waktu di sana, laga akan bergulir sekitar pukul 21.00 waktu setempat, adapun waktu berbuka di Kiev pada hari final adalah pukul 20.33. Itu berarti, Salah bisa minum saat bermain di final nanti. Belum diketahui apakah Juergen Klopp, selaku manajer The Reds, memiliki program khusus untuk membantu Salah selama puasa.
Apapun hasilnya nanti, Salah mengaku sudah merasa bangga dengan pencapaiannya sejauh ini. Ia mengenang masa kecilnya ketika dulu di Mesir selalu menonton laga sepakbola di televisi dengan semangat yang dimiliki anak usia 10 tahun.
"Saya selalu ingat ketika masih menjadi anak berusia 10 tahun yang menonton Liga Champions dari rumah. Duduk di sofa dan menontonnya dengan penuh semangat. Anda lihat bagaimana orang-orang di Mesir memandang ini semua, dan inilah yang membuat saya merasakan sesuatu yang berbeda.”
“Mereka melihat superstar mereka mampu mencapai level tersebut, dan mereka pun juga ingin merasakannya. Sebab jika ada seseorang dari negara mereka dapat melakukannya, kenapa mereka tidak? Sungguh saya sangat senang ketika mengetahui bahwa saya telah memberikan mereka harapan.”
Ramadan amat membawa berkah bagi Salah. Sayangnya, ia harus merayakan Idul Fitri di Yekaterinburg, Rusia. Sebab pada saat yang bersamaan, Mesir akan melakoni laga pembukaan Piala Dunia melawan Uruguay. Jauh dari kampung halaman di momen fitri tentu menggiriskan hati, tapi untuk momen sebesar Piala Dunia, juga membawa nama Mesir, bisa dipastikan Salah akan bermain dengan sebahagia-bahagianya.
Editor: Zen RS