Menuju konten utama

Minim Produksi, Tinggi Ambisi: Mampukah RI Swasembada Energi?

Prabowo menargetkan swasembada energi di tengah merosotnya produksi dan impor BBM yang tinggi. Peningkatan biodiesel dan kebijakan fiskal jadi tantangan.

Minim Produksi, Tinggi Ambisi: Mampukah RI Swasembada Energi?
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutan saat peluncuran Program Hasil Terbaik Cepat dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025 di SDN Cimahpar 5, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/5/2025). Program Hasil Terbaik Cepat yang diluncurkan Presiden mencakup revitalisasi sekolah, digitalisasi pendidikan, bantuan kuliah untuk guru dan bantuan untuk guru honorer. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/bar

tirto.id - Presiden Prabowo Subianto berambisi untuk mencapai swasembada energi di masa kepemimpinannya. Salah satu upaya dilakukan adalah menyetop impor minyak mentah atau bahan bakar minyak (BBM). Menurutnya, ini perlu mengingat impor BBM selama ini menguras devisa negara lantaran menghabiskan 40 miliar dolar Amerika Serikat (AS) per tahun.

"Negara kita sesungguhnya tidak perlu impor BBM. (Maka) saya dalam pemerintahan yang saya pimpin dalam lima tahun yang akan datang harus swasembada BBM, swasembada energi," tuturnya dalam acara Halal Bihalal Presiden RI Bersama Purnawirawan TNI AD dan Keluarga Besar TNI-Polri di Jakarta, Selasa (6/5/2025).

Secara tren, impor minyak mentah Indonesia memang menunjukkan pola fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2018 Indonesia mengimpor sebanyak 113,05 juta barel minyak mentah.

Namun, angka tersebut mengalami penurunan pada 2019, yakni hanya mencapai 75,30 juta barel. Penurunan itu berlanjut pada 2020, dengan total impor yang hanya sebesar 65,96 juta barel.

Memasuki 2021, impor minyak mentah Indonesia kembali menunjukkan tanda-tanda pemulihan dengan angka mencapai 104,40 juta barel. Tren positif ini berlanjut pada 2022, ketika impor meningkat lagi menjadi 114,53 juta barel. Puncaknya, pada 2023 total impor minyak mentah Indonesia meningkat menjadi 132,39 juta barel.

Sementara itu, hingga akhir semester pertama 2024 lalu, jumlah impor menurun menjadi 62,20 juta barel. Fluktuasi impor minyak mentah dalam beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi global, situasi politik, serta kebijakan energi yang diberlakukan.

Melihat fluktuasi tersebut, wajar bila Prabowo ingin swasembada energi dengan menyetop impor BBM. Pun keinginan Prabowo untuk swasembada energi sudah lebih dulu ditegaskan dalam pidato perdananya usai dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024 lalu. Kepala negara itu menyerukan swasembada energi karena mempertimbangkan kondisi dunia rentan dan penuh ketidakpastian.

"Kita harus swasembada energi. Dalam keadaan ketegangan, dalam kemungkinan terjadi perang dimana-mana kita harus siap dengan kemungkinan yang paling jelek," kata Prabowo dalam pidato perdananya usai dilantik sebagai presiden dalam sidang paripurna MPR RI, Minggu (20/10/2024).

Dalam kondisi ketidakpastian global saat ini, kata Prabowo, pemerintah di berbagai negara cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing. Hal ini dipicu oleh potensi konflik dan ancaman perang yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Karena itu, menurutnya, Indonesia tidak dapat mengandalkan bantuan dari negara lain, sehingga swasembada energi menjadi satu-satunya jalan keluar.

Meski demikian, Prabowo tidak secara rinci memaparkan langkah-langkah konkret menuju swasembada energi, termasuk bagaimana Indonesia dapat mencapai surplus bahan bakar minyak (BBM). Ia hanya menyebut bahwa substitusi BBM dengan bahan bakar nabati (BBN) merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan.

Terlebih, pemerintah saat ini telah mendorong kebijakan mandatori campuran biodiesel berbasis kelapa sawit guna menekan konsumsi BBM. Sejak Januari 2025, mandatori campuran tersebut bahkan telah ditingkatkan dari semula 35 persen menjadi 40 persen.

"Kita bisa bikin BBM dari kelapa sawit. Nanti ada yang bertanya apa bisa? Harus bisa. Merdeka atau mati! Berdiri di atas kita sendiri kita tidak mau jadi kacungnya bangsa lain, kalau yang mau silakan, saya tidak mau," tegas Prabowo.

Mustahil Setop Impor

Namun, mencapai kemandirian energi—terutama untuk menghentikan impor BBM—rasanya sulit terealisasi dalam lima tahun ke depan. Hal ini mengingat Indonesia saat ini berstatus sebagai net importir minyak, yakni negara yang volume impornya atas minyak mentah dan produk turunannya lebih besar daripada volume ekspornya.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, mengatakan bahwa kebutuhan BBM dalam negeri saat ini mencapai lebih dari 1,5 juta barel setara minyak per hari (BOEPD), dan diperkirakan akan meningkat rata-rata 3 persen setiap tahun. Di sisi lain, produksi minyak atau lifting nasional hanya sekitar 600 ribu BOEPD dan terus menurun sekitar 2 persen per tahun. Sementara itu, kapasitas kilang nasional baru mampu mengolah sekitar 1 juta BOEPD.

“Jadi tidak mungkin akan bisa lepas impor BBM dalam lima tahun. Bahwa 10 tahun pun sangat berat, jadi Indonesia masih akan impor crude oil maupun BBM,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (7/5/2025).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menambahkan bahwa jika melihat fakta yang ada, keinginan Prabowo untuk mencapai swasembada energi dengan menghentikan impor BBM sulit terealisasi dalam waktu dekat. Pasalnya, menurut dia, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 60 persen kebutuhan BBM untuk konsumsi dalam negeri.

“BBM kita itu (mayoritas) kita impor. Itu harus sudah jelas,” ucap Fabby kepada Tirto saat dihubungi Rabu (7/5/2025).

Dari sisi produksi, kata Fabby, lifting minyak Indonesia terus mengalami penurunan sekitar 30–40 persen dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2004, produksinya masih mencapai sekitar 1,1 juta barel per hari, namun kini hanya berkisar antara 600 hingga 700 ribu barel per hari. Di saat yang sama, upaya pemerintah untuk meningkatkan lifting menuju 1 juta barel per hari tak pernah mencapai target dan cenderung stagnan.

“Jadi kita harus menaikkan 350-400 ribu barel per hari produksi minyak mentah yang seharusnya sudah dilakukan sejak lima tahun yang lalu. Kita mulai 2020 sampai sekarang produksinya nggak ada yang naik. Malah terus turun karena sekarang yang beroperasi adalah lapangan-lapangan minyak yang sudah tua yang dicoba dioptimalkan sisa-sisa produksinya,” jelas dia.

Oleh karenanya, timpal Bisman, tantangan pemerintah perlu diatasi saat ini adalah menaikkan lifting minyak bumi. Pihaknya mendukung pemerintah dan SKK Migas yang semangat menargetkan lifting 1 juta BOEPD. “Walaupun sangat berat, tapi masih mungkin karena punya potensi, sehingga perlu eksplorasi lebih masif,” imbuh Bisman.

Sementara itu, dari sisi refinery atau fasilitas pengolahan minyak, kapasitas kilang nasional juga perlu ditingkatkan. Jika kapasitas kilang bertambah, bukan tidak mungkin impor BBM dapat ditekan dan digantikan dengan impor minyak mentah (crude oil). Meskipun keduanya sama-sama impor, pergeseran ini cukup signifikan dalam menghemat devisa negara.

“Namun memang membangun kilang minyak butuh investasi yang sangat besar dan perlu dihitung aspek keekonomiannya. Karena belum tentu ekonomis untuk jangka panjang,” kata dia.

Strategi Energi Nasional

Di sisi lain, Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, justru menilai bahwa pemerintah sebenarnya dapat menghentikan impor BBM, asalkan berani mengubah strategi energi nasional secara menyeluruh. Pasalnya, cadangan minyak dalam negeri sangat terbatas dan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan jangka panjang jika hanya bergantung pada eksploitasi ladang-ladang yang sudah ada.

“Namun kita punya peluang besar melalui energi substitusi seperti biodiesel dan bioetanol,” kata Syafruddin kepada Tirto, Rabu (7/5/2025).

Menurutnya, Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia memiliki modal bahan baku yang sangat kuat untuk memproduksi biofuel dalam skala nasional. Penerapan B40 secara luas telah membuktikan bahwa negara mampu mengurangi ketergantungan terhadap solar impor dan menghemat devisa hingga triliunan rupiah.

“Dalam jangka pendek, pemerintah bisa menekan impor BBM secara bertahap melalui peningkatan efisiensi energi, optimalisasi kilang, dan ekspansi bahan bakar nabati,” kata dia.

Ia menambahkan, pemerintah tidak harus menunggu cadangan minyak melimpah untuk mencapai kemandirian energi. Sebab, kemandirian bisa dibangun melalui diversifikasi sumber energi, penguatan hilirisasi, serta keberanian dalam mengambil keputusan strategis.

“Jika semua pihak bergerak dengan arah yang sama, Indonesia bisa keluar dari ketergantungan terhadap BBM impor dan menciptakan ekosistem energi nasional yang berdaulat,” jelas dia.

Meski demikian, Syafruddin juga tidak menampik bahwa Indonesia harus menghadapi sejumlah tantangan besar untuk mewujudkan swasembada energi. Salah satunya adalah infrastruktur kilang nasional yang masih belum optimal untuk memproses semua jenis minyak mentah dan biodiesel. Selain itu, ketersediaan lahan industri, jalur distribusi, serta teknologi pengolahan energi baru dan terbarukan juga belum sepenuhnya mendukung produksi bahan bakar alternatif secara masif.

Tak hanya itu, ketergantungan pada impor BBM telah melahirkan jejaring kepentingan yang kuat. Oleh karena itu, diperlukan keberanian politik untuk memutus rantai rente dan membangun sistem yang lebih transparan.

Syafruddin menekankan bahwa pemerintah perlu membentuk kebijakan fiskal yang mendukung produksi energi dalam negeri, misalnya melalui insentif pajak bagi industri biofuel serta kredit teknologi hijau bagi UMKM energi. Langkah ini juga perlu diperkuat melalui kolaborasi antara pelaku industri, pemerintah daerah, dan sektor pendidikan guna menyiapkan sumber daya manusia yang mampu mendorong inovasi dan keberlanjutan.

“Kunci keberhasilannya terletak pada arah kebijakan yang konsisten, kepemimpinan yang fokus, dan pengawasan publik yang aktif. Dengan menyatukan kekuatan nasional dan mempercepat implementasi, Indonesia bisa mengubah mimpi swasembada energi menjadi realitas ekonomi baru yang lebih mandiri dan tahan gejolak global,” pungkas dia.

Dalam jangka panjang, Kementerian ESDM berencana membangun fasilitas penyimpanan cadangan minyak (storage) di sebuah pulau dekat Singapura. Fasilitas ini diperlukan Indonesia untuk mendukung pencapaian target swasembada energi, seperti yang diinginkan oleh Prabowo.

"Kami akan bangun storage di satu pulau yang berdekatan dengan Singapura, kemampuan penyimpanan (storage) kurang lebih sekitar 30-40 hari," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, di acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Legislator Nasional Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar), di Jakarta, Rabu (11/12/2024).

Nantinya, fasilitas ini akan digunakan untuk menampung berbagai jenis minyak dan PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha milik negara (BUMN) bisa membeli dengan harga murah. Fasilitas penyimpanan ini juga akan berfungsi sebagai cadangan penyangga energi (CPE) yang bisa digunakan sewaktu-waktu saat negara menghadapi krisis seperti perang.

"Ini bicara geopolitik jadi negara kita ini kalau mau perang ya, saya mau sampaikan, kita punya kapasitas cadangan minyak kita storage kita hanya kemampuannya 21 hari," ujar dia.

Di sisi lain, fasilitas penyimpanan ini juga direncanakan untuk mengurangi ketergantungan impor BBM dari Singapura, yang menurut catatan telah mencapai 60 persen. Hal ini cukup mengejutkan, mengingat Singapura sendiri tidak memiliki sumber daya minyak.

“Singapura tidak punya minyak, tapi dia bisa impor ke Republik Indonesia 60 persen. Ini saya nggak ngerti teorinya dari mana," ucap Bahlil.

Baca juga artikel terkait LATEST NEWS atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Hendra Friana