tirto.id - Permintaan terhadap truk listrik di sektor tambang dan logistik kian meningkat seiring dorongan dekarbonisasi. Namun, hingga kini pemerintah belum juga memberikan insentif khusus untuk kendaraan niaga berbasis listrik, di luar segmen bus.
Ketua Bidang Organisasi Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) Kelik Irwanto mengatakan, minat terhadap truk listrik di Indonesia sejatinya sudah cukup tinggi. Namun, ketiadaan regulasi maupun insentif membuat penetrasi kendaraan niaga listrik berjalan lambat.
“Permintaan truk listrik itu besar sekali. Market kendaraan niaga, dari pickup sampai heavy truck, itu bisa 20 kali lipat dibanding bus,” kata Kelik kepada Tirto, Selasa (7/5/2025)
Saat ini, satu-satunya insentif yang diberikan pemerintah untuk kendaraan niaga hanya menyasar bus listrik, itu pun dengan syarat tingkat komponen dalam negeri (TKDN) di atas 40 persen. Sementara truk listrik belum tersentuh insentif fiskal maupun non-fiskal.
Padahal, menurut Kelik, sektor industri yang paling dituntut untuk menekan emisi karbon justru berasal dari tambang dan logistik, dua sektor yang mengandalkan kendaraan berat seperti truk dalam operasionalnya sehari-hari.
Data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) menunjukkan bahwa pasar kendaraan niaga di Indonesia masih didominasi oleh segmen truk. Sepanjang Januari hingga Maret 2025, total distribusi truk (kategori pick-up hingga heavy truck) mencapai lebih dari 35.000 unit, menjadikannya salah satu pasar terbesar dalam industri otomotif nasional.
Untuk kategori pickup (GVW < 5 ton) saja, penjualan wholesales tercatat sebanyak 22.492 unit, sementara truk ringan hingga berat (GVW > 5 ton) menyumbang sekitar 13.147 unit. Jika digabung, maka total kendaraan niaga berbasis truk ini menyumbang sekitar 17 persen dari total distribusi kendaraan di periode yang sama.
“Kalau bicara dekarbonisasi, ya mestinya kendaraan truk ini jadi prioritas. Tapi regulasi belum ada. Insentif pun belum ada,” ujarnya.
Kelik juga menambahkan bahwa insentif yang diberikan tidak harus selalu berupa subsidi langsung, melainka dalam bentuk kebijakan non-fiskal seperti implementasi pajak karbon (carbon tax) yang mendorong pelaku industri beralih ke kendaraan ramah lingkungan.
“Kalau ada insentif, bahkan sebagian kecil saja, sudah cukup untuk mendorong minat pasar,” kata Kelik.
Sebagai perbandingan, negara seperti Tiongkok dan Thailand telah lebih dulu memberikan insentif khusus untuk kendaraan niaga listrik. Tiongkok, misalnya, tak hanya memberikan subsidi besar untuk industri lokal, tetapi juga mendorong ekspor dengan dukungan tambahan.
Kelik berharap pemerintah Indonesia bisa mulai menunjukkan komitmen serupa, mengingat potensi pasar kendaraan niaga listrik yang sangat besar, sekaligus peran strategisnya dalam menurunkan emisi karbon nasional.
“Mereka punya komitmen luar biasa untuk mengurangi polusi. Setiap varian kendaraan listrik dikasih insentif. Industri lokal yang bisa ekspor juga dikasih tambahan dukungan,” pungkasnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dwi Aditya Putra