tirto.id - Langkah pemerintah melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk mengonsolidasi maskapai pelat merah, PT Pelita Air Services, anak usaha PT Pertamina (Persero), dengan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk kembali mencuat.
Hal ini diungkapkan oleh Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI. Pertamina, katanya, akan melakukan pemisahan bisnis atau spin off di luar bisnis inti minyak dan gas (migas).
“Pertamina akan fokus pada core business di bidang oil and gas serta renewable. Dengan demikian, beberapa usaha akan kami spin off dan mungkin akan berada di bawah koordinasi Danantara, clustering dengan perusahaan-perusahaan sejenis," ujar Simon, Kamis (11/9/2025).
Rencana penggabungan entitas bisnis penerbangan milik pemerintah ini, dinilai bukan sekadar aksi korporasi biasa. Namun, lebih pada manuver kompleks yang berpotensi mengacaukan agenda restrukturisasi BUMN, khususnya bagi Pertamina yang sedang berupaya melepaskan diri dari belitan bisnis non-inti.
Di balik wacana sinergi tersebut, risiko besar juga mengintai. Alih-alih menjadi solusi untuk menyelamatkan Garuda yang masih terbelit utang dan ekuitas negatif, merger ini justru berpotensi memindahkan beban tersebut ke pundak Pertamina.
Perusahaan energi nasional itu, yang saat ini sedang fokus mengonsolidasikan bisnis hilir dan membersihkan portofolio dari anak usaha non-migas, bisa terjebak dalam kubangan masalah keuangan maskapai.
Dengan kondisi Garuda yang masih sangat rapuh, seperti terlihat dari laporan keuangan kuartal I-2025 yang mengalami rugi bersih 75,48 juta dolar AS atau Rp1,2 triliun dan ekuitas negatif 1,43 miliar dolar AS atau Rp23,4 triliun, masuknya Pelita Air ke dalamnya bagai mencampur minyak dan air.
Direktur Next Indonesia Center, Herry Gunawan, memandang langkah ini sebagai kebijakan yang paradoks, terutama bagi masa depan Pertamina dan kesehatan persaingan di industri aviasi nasional.
Ia menyoroti niat awal Pertamina yang ingin melepas bisnis non-inti, dalam hal ini Pelita Air, justru bisa buyar jika mekanisme yang dipilih adalah merger. Dalam skenario itu, Pertamina akan menjadi pemegang saham Garuda, sehingga bukannya terbebas, malah mendapat tanggungan baru.
“Kalau langkah ini yang diambil, berarti Pertamina akan memiliki saham di Garuda, sehingga niat awalnya melepas bisnis non-inti justru tidak tercapai. Ini sama saja minta Pertamina menggendong Garuda yang sedang rugi akibat beban keuangan yang besar,” kata Herry saat dihubungi Tirto, Selasa (16/9/2025).
Konsekuensinya sangat jelas. Pertamina akan dapat pelimpahan beban dari keuangan Garuda Indonesia yang terluka. Karena itu, Herry mendesak Danantara untuk mencari mekanisme yang paling minim dampak negatifnya dan tidak membebani Pertamina.
Opsi akuisisi sepenuhnya oleh Garuda Indonesia terhadap Pelita Air atau penempatan Pelita langsung di bawah Danantara dinilai lebih masuk akal.
“Danantara sebagai pengelola dan pemegang saham BUMN harus mencari mekanisme yang paling rendah dampak negatifnya dan paling efisien. Terutama, dapat melepaskan Pertamina dari beban konsolidasi tersebut,” ujarnya.
Menurutnya, konsolidasi harus dilakukan dengan cermat, tidak dengan cara membebani BUMN lain yang justru sedang dalam proses pemulihan dan fokus pada bisnis inti.
Esensinya, seperti disimpulkan Herry Gunawan, adalah menciptakan bisnis penerbangan pemerintah yang sehat dan terkonsentrasi tanpa menimbulkan beban berantai.
“Yang terpenting saat ini adalah membuat bisnis penerbangan milik pemerintah sehat dulu dan terkonsentrasi. Namun jangan bebankan persoalan Garuda ke BUMN lain seperti Pertamina,” tuturnya.
Penolakan keras juga disuarakan oleh Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman. Ia menegaskan bahwa merger adalah ide yang buruk. “Saya tegas menolak ide ini!” ucapnya melalui unggahan di akun X pribadinya @GerryS.
Menurutnya, merger justru akan mengganggu kompetisi, melemahkan pemulihan Garuda, dan menghilangkan posisi strategis yang selama ini dipegang oleh Pelita Air yang kinerjanya lebih solid.
Baginya, Pelita telah menjadi alternatif dari penyediaan layanan penerbangan yang berkualitas jika ternyata Garuda gagal bangkit dari krisis yang membelitnya.
“Pelita berfungsi sebagai cadangan strategis jika Garuda gagal pulih. Jika merger terjadi dan Garuda tidak kunjung membaik, apa jadinya? Apakah Pertamina harus membangun ulang Pelita dari nol untuk penerbangan berjadwal? Kan konyol,” ujarnya.

Tak hanya itu, ia pun mempertanyakan logika keuangan dari rencana merger ini. Baginya, konsolidasi anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saling terlibat utang-piutang ini terasa aneh.
“Garuda punya utang besar, termasuk ke Pertamina. Jika Pelita dimerger dengan Garuda, bagaimana logika keuangannya? Masa perusahaan A (Garuda) yang berutang ke B (Pertamina) ‘diberi’ perusahaan C (Pelita) untuk pemulihan?” tanyanya.
Ia memperingatkan bahwa hal ini bisa membuat ekuitas Garuda semakin negatif dan justru kontraproduktif. Gerry berpendapat opsi terbaik adalah menjual mayoritas saham Pelita ke swasta atau menempatkannya langsung di bawah Danantara, sehingga setara dengan Garuda.
Dengan kondisi keuangan yang masih terpuruk saat ini, menurutnya Garuda harus berbenah terlebih dahulu, menguatkan manajemen dan menata bisnisnya. Apalagi, BUMN penerbangan ini sudah mendapatkan suntikan modal dari Danantara hingga 1 miliar dolar AS atau setara dengan Rp16 triliun.
“Garuda harus fokus memperbaiki diri sendiri, tanpa campur tangan pemerintah yang mengorbankan dinamika pasar,” ucapnya.
Ancaman Eksodus Pelanggan
Sementara itu, dari sisi branding dan pasar, Pengamat Penerbangan Alvin Lie memperingatkan akan hilangnya nilai merek dan basis pelanggan setia jika merger dipaksakan.
“Jika merger dengan Garuda, otomatis Pelita hilang, dilebur jadi Garuda. Izin usaha dan izin rute yang dimiliki juga akan hilang, dicabut. Demikian pula Brand Value, Identitas Karakter dan customer base yang telah dibangun selama ini jadi mubazir. Lenyap,” katanya kepada Tirto.
Masing-masing maskapai, menurutnya, telah memiliki positioning, karakter, dan segmen pelanggan loyalnya sendiri. Garuda untuk layanan full services, Citilink untuk layanan berbiaya murah atau low-cost carrier, dan Pelita yang tumbuh dengan pendekatan nilai dan mementingkan kualitas.
Alih-alih merger, Alvin mengusulkan pendekatan aliansi strategis antar ketiga maskapai BUMN, mirip dengan aliansi global seperti SkyTeam atau Star Alliance.
“Aliansi memberikan potensi pelayanan yang lebih baik, seperti koneksi penerbangan yang mulus (seamless connection), kemudahan connecting flight, hingga kolaborasi dalam pemasaran,” ujarnya.
Dengan cara ini, sinergi dapat tercapai tanpa harus menghilangkan identitas dan menimbulkan risiko eksodus pelanggan.
“Dengan mempertahankan kekuatan masing-masing dan membentuk sinergi strategis, tiga maskapai ini dapat menjadi fondasi penting dalam menghubungkan Indonesia secara efisien, kompetitif dan berkelas baik secara nasional maupun di kancah internasional,” ucapnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id






































