Menuju konten utama

Mereka yang Bertarung di Gelanggang Buku Era Demokrasi Terpimpin

Perayaan Hari Buku Nasional di era Demokrasi Terpimpin selalu panas. Sejumlah partai politik bertarung di Gelanggang Buku.

Mereka yang Bertarung di Gelanggang Buku Era Demokrasi Terpimpin
Header Mozaik Hari Buku Nasional. tirto.id/Ecun

tirto.id - Hari Buku Nasional tanggal 17 Mei mulai diperingati sejak tahun 2002 yang didasari momentum berdirinya Perpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980.

Puluhan tahun sebelumnya, tepatnya sejak 1958 di era Orde Lama, perayaan yang berkaitan dengan buku digelar dengan nama Gelanggang Buku. Perhelatan ini digagas oleh organisasi pengusaha Persatuan Toko Buku Indonesia (PTBI). Acara ini menjadi arena para penerbit dan toko buku untuk memperkenalkan diri sekaligus menunjukkan kepada khalayak buku-buku apa saja yang mereka jual.

Pada Juni 1964, menurut surat kabar Ekonomi Nasional, Hari Buku Nasional diselenggarakan pada tanggal 21 Mei dengan tema "Buku Alat Revolusi Jang Djitu". Gelaran diisi oleh 24 peserta (penerbit dan toko buku) yang terdiri dari penerbit nasional di Jakarta dan Bandung, Departemen Penerangan, dan lima perwakilan negara NEFO (New Emerging Forces), yakni Polandia, Uni Soviet, Cekoslovakia, China, dan Korea Utara.

Sementara pengunjung mayoritas adalah para pelajar dan mahasiswa. Sisanya kalangan pejabat pemerintah, tokoh partai politik, tokoh militer, dan pengusaha.

Bertarung di Gelanggang

Gelanggang Buku mulai digelar setahun sebelum Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Sebuah era saat Presiden Sukarno memegang kendali penuh terhadap jalannya pemerintahan.

Ideologi Demokrasi Terpimpin dinamakan Manipol/USDEK (Manifesto Politik/Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia).

“Sukarno menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, dan pelengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Dalam praktiknya, segala aspek harus diselaraskan dengan Demokrasi Terpimpin. Hal-hal yang berbau politik imperialis barat dan dianggap tidak sesuai dengan langkah revolusi mesti disingkirkan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam buku bacaan.

Menurut Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan menulis dalam Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (2008), "Dalam asas Manipol, pengarang-pengarang, penerbit-penerbit, toko buku-toko buku dituntut tanggung jawabnya yang besar. Karena itulah muncul tuntutan agar memenangkan manipolis di bidang penulisan, pertokobukuan, dan bidang-bidang perbukuan yang terkait lainnya."

Pada iklim Demokrasi Terpimpin itulah gelanggang buku digelar sehingga menjadi arena pertarungan ideologis antar penerbit: yang mendukung Manipol dan yang dianggap bertentangan dengan jalan revolusi.

Pada 1958, Gelanggang Buku diikuti oleh 23 peserta. Sejumlah penerbit yang ikut antara lain Balai Pustaka, Soeroengan, Djambatan, Jajasan Pembaruan, Pembimbing, dan Indira. Bahan bacaan yang dipamerkan cukup beragam, mulai dari buku pelajaran sekolah hingga buku-buku impor.

Setahun berikutnya sekitar 16 penerbit dan toko buku turut serta. Masing-masing penerbit memiliki produk andalannya sendiri. Penerbit Soeroengan mengandalkan buku Prof. Soekanto, yakni Hubungan Diponegoro-Sentot. Penerbit Djambatan mengandalkan karya Ajip Rosidi berjudul Tjerpen Indonesia, dan karya Slamet Muljana berjudul Politik Bahasa Nasional. Jajasan Pembaruan tampil dengan produk andalannya, yaitu Pilihan Tulisan DN. Aidit Jilid I yang tebalnya mencapai 450 halaman.

Pada kesempatan ini, Jajasan Pembaruan tampil sebagai pemasok tunggal karya-karya terjemahan klasik Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Terdapat juga karya sastra orang-orang Lekra, seperti Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih karya Hr. Bandaharo, Lagu Subuh karya Zubir AA, puisi terjemahan Iramani, dan Ho Chi Minh Sadjak 2 karya Agam Wispi. Selain itu, stan mereka juga dipenuhi berbagai majalah yang rutin mereka terbitkan.

Selain stan-stan besar, Gelanggang Buku juga diisi oleh beberapa penerbit dengan stan kecil, seperti Bulan Bintang (penerbit yang dekat dengan partai Masyumi), dan Pustaka Rakjat (dekat dengan Partai Sosialis Indonesia).

Infografik Mozaik Hari Buku Nasional

Infografik Mozaik Hari Buku Nasional. tirto.id/Ecun

Penerbit Kiri Tumbang

Gelanggang Buku terus diadakan setiap tahun. Pada 1960, terdaftar sebanyak 16 peserta. Sementara setahun berikutnya hanya 13 peserta. Pada 1962 sempat jeda karena krisis.

"Tahun lalu (1962) tidak ada Gelanggang Buku tetapi hanjalah Bursa Buku jang diikuti oleh sedjumlah ketjil penerbit," tulis Harian Rakjat pada salah satu edisi Mei 1963. Gelaran buku ini kembali dihelat pada 1963 dengan jumlah peserta sebanyak 23.

Dari tahun ke tahun tensi politik di Gelanggang Buku semakin panas. Penerbit Jajasan Pembaruan milik Partai Komunis Indonesia (PKI) mulai melakukan konfrontasi. Mereka mempermasalahkan Bulan Bintang yang menerbitkan buku karya M. Natsir seperti Capita Selecta I dan karya Sjafruddin Prawiranegara yang terbit tahun 1961 dan 1962. Mereka menganggap buku-buku tersebut tidak sesuai dengan Manipol dan semangat revolusi.

Bagi Jajasan Pembaruan, tidak ada buku yang netral. Pilihannya hanya berpihak pada Manipol atau tidak. Dan itu tidak hanya berlaku untuk buku ekonomi-politik, melainkan seluruh buku.

"Tidak ada buku jang netral. Buku selalu mengabdi salah satu: mengabdi jang lama dan kolot, atau mengabdi jang baru dan madju; mengabdi retrogress, atau mengabdi progress; mengabdi musuh2 tanahair dan rakjat; atau mengabdi tanahair dan rakjat," tulis Harian Rakjat Mei 1963 mewakili sikap Jajasan Pembaruan.

Setelah gempa politik 1965, penerbit-penerbit kiri dilarang dan dibubarkan seiring kehancuran PKI dan bergantinya penguasa.

Baca juga artikel terkait HARI BUKU NASIONAL atau tulisan lainnya dari Rifaldi A

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Rifaldi A
Penulis: Rifaldi A
Editor: Irfan Teguh Pribadi