Menuju konten utama

Menyoal Pemidanaan Jurnalis JAKTV Terkait Perintangan Penyidikan

Kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik pers, bukan langsung ditangkap atau dikriminalisasi.

Menyoal Pemidanaan Jurnalis JAKTV Terkait Perintangan Penyidikan
Tersangka kasus dugaan perintangan penanganan perkara Kejagung, TB (Tian Bahtiar) selaku Direktur Pemberitaan JAKTV, duduk di dalam mobil tahanan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/4/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani

tirto.id - Langkah pemidanaan terhadap insan pers yang menjerat Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar (TB), dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice) disayangkan oleh sejumlah pihak. Proses pemidanaan yang dikenakan terhadap TB semestinya dilakukan dengan kehati-hatian dan penilaian mendalam terhadap isi konten pemberitaan yang diduga ‘menyerang’ Kejagung.

TB sebelumnya ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka bersama advokat Marcella Santoso (MS), advokat dan dosen Junaedi Saibih (JS) terkait kasus korupsi Pertamina, Timah, minyak goreng, dan impor gula dengan terdakwa Tom Lembong. Ketiga tersangka ini diduga memiliki peran tersendiri dalam perkara ini dengan membagi kepada beberapa tim untuk menjalankan misinya. Diantaranya ada tim juridis, tim non-juridis, dan tim social engineering.

Tim juridis bertugas mewakili korporasi dalam persidangan dengan melakukan penandatanganan berkas yang terkait dengan proses persidangan. Sedangkan, tim social engineering memiliki tugas untuk membentuk opini publik melalui berbagai cara. Kemudian tim non juridis bertugas melakukan teknik-teknik yang bersifat di luar hukum yang tentu dilakukan oleh baik JS, MS bersama-sama dengan TB.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan persekongkolan ini dimulai ketika tersangka MS dan JS memerintahkan tersangka TB untuk membuat narasi negatif yang menyudutkan Kejagung. Narasi negatif tersebut untuk penanganan perkara tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015–2022, tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula atas nama tersangka Tom Lembong, dan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO.

MS diduga berkomunikasi dengan hakim untuk memengaruhi putusan. Sementara itu, JS berperan menggiring opini publik dengan menggelar diskusi, seminar, talkshow, dan podcast yang menyoroti kinerja Kejagung secara negatif, seolah-olah menunjukkan bahwa perhitungan yang dilakukan Kejagung adalah tidak benar dan menyesatkan. Seluruh kegiatan tersebut, kemudian disiarkan oleh TB melalui media sosial dan program JAKTV.

“Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara a quo baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan," ujar Qohar.

Dalam kasus ini, Kejagung menemukan bukti-bukti invoice yang menjadikan tersangka TB. Bukti invoice tersebut ditemukan dari penggeledahan di beberapa tempat dalam pengembangan kasus dugaan suap putusan lepas (ontslag) terkait perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO.

Invoice pertama yang ditemukan adalah tagihan sebesar Rp153.500.000 pada periode 14 Maret 2025 untuk pembayaran 14 berita dengan topik alasan tindak lanjut kasus impor gula, 18 berita dengan topik tanggapan Jamin Ginting, 10 berita dengan topik tanggapan Ronald Lobloby, serta 15 berita topik tanggapan Dian Puji dan Romli.

Invoice kedua yang ditemukan adalah tagihan sebesar Rp20.000.000 untuk pembayaran atas pemberitaan di sembilan media mainstream dan umum, media monitoring, dan konten TikTok Jakarta untuk periode 4 Juni 2024.

Selain invoice, penyidik juga menemukan beberapa dokumen lainnya. Pertama adalah dokumen campaign melalui podcast dan layananstreaming. Kedua, dokumen kebutuhan social movement, lembaga survei, seminar nasional, bangun narasi publik, key opinion leader terkait penanganan perkara penanganan perkara tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dan kasus importasi gula oleh Kejaksaan dengan biaya sebesar Rp2,4 miliar.

Dalam kasus ini, tersangka MS dan JS memerintahkan tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif yang menyudutkan penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung dengan imbalan biaya sebesar Rp478.500.000.

“Tersangka TB ini mendapatkan keuntungan secara pribadi bukan atas nama Direktur Pemberitaan JakTV karena tidak ada kontrak tertulis JAKTV dengan para tersangka. Sehingga dia menyalahi kewenangannya sebagai Direktur Pemberitaan," ujar Qohar.

TB dkk pun diduga melanggar Pasal 21 UU 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 Jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHAP. Pasal 21 UU 31/1999 menyebut setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Narasi Negatif Tidak Harus Pidana

Dalam perkara ini, harus dilihat dari dua perspektif. Pertama, soal pemberitaan yang disebut mengkritik. Kedua, masalah suap. Jika kemudian narasi yang dibangun Kejagung adalah masalah pemberitaan, maka sangat disayangkan.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Nany Afrida, mengatakan berita dengan narasi negatif seharusnya tidak dipidana tapi diadukan ke Dewan Pers. Karena Dewan pers yang berhak menilai dan memutuskan bukan lembaga lain.

“Akan sangat berbahaya jika sebuah berita dianggap atau dikenai pasal perintangan hukum oleh lembaga selain Dewan Pers,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).

Menurut Nany, banyak media yang masih benar-benar murni melakukan liputan dengan mengkritisi kasus hukum. Apalagi media sering menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan. Oleh karenanya, narasi dibangun oleh Kejagung seperti ini dinilai akan jadi presenden buruk untuk kriminalisasi pers ke depannya.

“Kalau menggunakan cara ini, bisa-bisa mereka juga kena pasal perintangan hukum. Jadi kita fokus pemberitaan. Kalau ternyata yang difokuskan masalah suapnya, tentu bukan wewenang Dewan Pers,” ucap dia.

Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Hendry Ch Bangun, ikut menyayangkan Kejaksaan menuduh yang bersangkutan menyebarkan narasi negatif terkait penyidikan Kejaksaan Agung dalam sejumlah perkara korupsi. Menurutnya, kasus ini seharusnya diselesaikan melalui mekanisme etik pers, bukan langsung ditangkap atau dikriminalisasi.

“Menurut saya, berita itu masuk ranah etik, seberapa parah pun isinya. Kalau dianggap beritikad buruk, ya diberi hak jawab atau diminta minta maaf. Jika perlu, bisa dimintakan penilaian ke Dewan Pers. Bukan langsung ditangkap,” kata Hendry yang juga pernah menjadi Anggota Dewan Pers 2016-2019 dan Wakil Ketua Dewan Pers 2019-2022, Selasa (22/4/2025).

Hendry menegaskan, Kejagung tidak memiliki kompetensi menilai suatu karya jurnalistik. Menurutnya, lembaga yang berwenang untuk itu adalah Dewan Pers, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Penilaian terhadap berita, apakah itu negatif, beritikad buruk, atau partisan, ada di tangan Dewan Pers. Bukan lembaga lain,” tegas Hendry.

Kode Jurnalistik

Ilustrasi Kode Jurnalistik {Foto/Shutterstock]

Sementara terkait tuduhan adanya bayaran yang masuk ke rekening pribadi TB, Hendry menyatakan bahwa hal itu seharusnya terlebih dahulu diklarifikasi kepada manajemen media tempatnya bekerja. Jika terbukti menyimpang, maka sanksi administratif bisa dijatuhkan oleh atasannya, misalnya berupa skorsing.

“Kalau berita dianggap obstruction of justice, itu penilaian yang keliru. Pers punya hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Kalau pun ada itikad buruk, harus dibuktikan melalui mekanisme etik, bukan langsung diproses pidana,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Mustafa Layong, justru melihat bahwa tindakan Kejagung pidanakan TB ini justru sebagai bentuk balas dendam terhadap kritik. Di mana ketika dikritik kemudian dilawan dengan kriminalisasi.

“Jadi ini adalah tindakan yang menyalahi atau sewenang-wenang terhadap pemberitaan. Jadi kan harus dibedakan antara berita dengan tindak pidananya. Tindak pidananya apa?” ujarnya mempertanyakan kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).

Pun jika masalahnya adalah tindak pidana terkait suap, maka harus dilihat dulu apakah beritanya benar atau tidak. Kalau beritanya memang benar dan sudah dilakukan proses kerja jurnalistik dengan baik seperti melakukan wawancara atau mendapatkan dari narasumber yang berkompeten dalam kasus ini, maka tidak menjadi masalah.

“Jadi mungkin tersangka yang sudah ditetapkan dia ngomong melalui pengacaranya bahwa proses penetapan tersangka saya salah. Kemudian jurnalis meliput itu kan tidak salah ya,” ujarnya.

“Persoalannya kalau media melakukan peliputan, kemudian dia wawancara tersangka ketika dia menulis kutipan dari tersangka masih dianggap sebagai perintangan terhadap penyidikan, itu tindakan yang sangat berbahaya bagi kemerdekaan pers,” kata Mustafa.

Oleh karena itu, LBH Pers mendorong Kejaksaan untuk melakukan koreksi kepada publik apakah perkara ini dianggap sebagai tindak pidana karena ada suap atau karena beritanya. Bila yang dimasalahkan adalah beritanya harus dipertanyakan karena berita itu ada mekanismenya bukan kemudian bisa dipidanakan tiba-tiba.

“Kalau misalnya ada kemudian pemerintahan atau ada penerimaan suap, itu yang harus dicek. Kalau dia menerima suap berarti ada penyalahgunaan Penyalahgunaan profesi misalnya. Nah itu yang harus diperjelas,” pungkas dia.

Dua Sudut Pandang yang Berbeda

Pengajar hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, melihat ada yang keliru dalam penetapan tersangka TB oleh Kejagung. Meskipun dirinya sendiri tidak mendukung tindakan korupsi termasuk yang dilakukan oleh kerja-kerja pers.

Dalam perkara ini, menurutnya harus dilihat yang dijadikan sebagai objek di dalam pengusutan kasus adalah pemberitaan yang dianggap masuk dalam kualifikasi framing atau menyudutkan Kejaksaan. Kemudian berkembang seolah-olah masuk ke dalam menghalang-halangi proses penyidikan

"Kalau kemudian melihat sebagai produk jurnalistik semestinya kanal penyelesaiannya ada di Dewan Pers. Bukan langsung tiba tiba dipidanakan," ucap pria yang akrab disapa Castro kepada Tirto.

Penetapan tersangka kepada TB ini, menurutnya bentuk upaya kriminalisasi terhadap pers. Tindakan ini jelas berbahaya dan menjadi ancaman kerja-kerja jurnalistik.

Kalaupun misalnya ada perkara pidana di dalamnya, menurut Castro, tetap harus melalui Dewan Pers. Dalam hal ini, Dewan Pers menjadi pintu masuk apakah memang ada problem dengan produksi berita tersebut atau tidak.

"Kalau kemudian tiba tiba ditetapkan sebagai tersangka dengan alasan pemberitaan itu menyerang kejaksaan dan framing dan lain sebagainnya menurut saya itu jelas langkah keliru. Semestinya tetap pintu masuknya lewat Dewan Pers," pungkas dia.

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengatakan Pasal 21 UU Tipikor dapat menjerat siapa pun yang secara sadar melakukan tindakan yang menghambat proses hukum. Makna pasal tersebut, berlaku sejauh terdapat hubungan sebab-akibat dan adanya kepentingan bersama antar pelaku untuk saling melindungi, bahkan menjadi sarana serangan balik terhadap Kejagung.

"Maka, tindakan obstruction of justice dapat terjadi dalam fase penyelidikan, penyidikan , penuntutan hingga pemeriksaan persidangan," jelas dia kepada Tirto.

Dalam kasus ini, jika para penyidik kejaksaan kemudian menemukan bahwa perbuatan pelaku ada irisan konflik kepentingan yang dapat menimbulkan maupun mempengaruhi independensi dan objektifitas berita, maka bisa dianggap sebagai mengacaukan proses penyidikan. Terlebih dalam kasus ini Kejagung menemukan adanya pemesanan kegiatan -kegiatan produksi pemberitaan.

"Jika dalam kasus ini diketahui atau ditemukan bukti yang sekaligus menandakan permufakatan adanya strategi sekaligus menjadi meeting of mind dari para pihak yang sengaja menginginkan pembuatan, pemberitaan maupun opini tersebut ditujukan dalam rangka menggangu, melemahkan penegakan hukum," jelas dia.

Oleh karena itu, Azmi mengingatkan pentingnya peran jurnalis dalam menjaga integritas profesi. “Jadi kata kuncinya dari peristiwa ini, kedepan bagi jurnalis sebagai fungsi kontrol sosial perlu menjaga keseimbangan antara kewajiban dan hak jurnalis dalam menjaga integritas dan kemerdekaan pers dalam masyarakat," tegasnya.

Penjelasan Kejagung

Kejagung sendiri memastikan bahwa penetapan tersangka terhadap TB, bukan karena Kejaksaan antikritik. TB sendiri ditetapkan tersangka atas dugaan pemufakatan jahat dan perintangan penyidikan kasus impor gula, minyak goreng, dan timah.

"Bahwa harus dilihat kontekstualnya dari perkara ini sebagaimana yang sudah kami sampaikan tadi, ada permufakatan jahat yang disepakati oleh yang bersangkutan. Tiga orang ini melakukan apa? Melakukan permufakatan jahat untuk seolah-olah institusi ini busuk," kata Harli Siregar selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung dalam konferensi pers bersama Dewan Pers, Selasa (22/4/2025).

Dia menjelaskan, penyidik Kejaksaan juga mendapatkan bukti bahwa informasi yang dihasilkan sengaja dikemas untuk mempengaruhi opini publik agar hasil peradilan sesuai harapannya. Terlebih, pemufakatan jahat itu terungkap usai adanya pengembangan dari penyidikan kasus suap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

"Untuk apa? Untuk penanganan perkara supaya sesuai dengan kehendaknya. Ada peran tim non juridis karena kita tahu Pasal sangkaannya ada Rp60 miliar dari proses hukum terkait dengan dugaan suap dan atau gratifikasi," tutur Harli.

Dalam kasus ini, Dewan Pers juga ikut mendalami dugaan pelanggaran etik oleh TB yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan perintangan penanganan perkara (obstruction of justice) di Kejaksaan Agung.

“Kami akan mengumpulkan berita-berita yang selama ini digunakan, yang menurut Kejaksaan tadi digunakan untuk melakukan rekayasa pemufakatan jahat,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, usai beraudiensi dengan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin di Gedung Utama Kejaksaan Agung seperti ditulis Antara, Jakarta, Selasa (22/4/2025).

Berita-berita tersebut, kata dia, akan dinilai apakah secara substansial atau prosedural menggunakan parameter kode etik jurnalistik guna memastikan ada atau tidaknya pelanggaran etik.

“Kami ingin memastikan terlebih dahulu. Jadi, dalam konteks pemeriksaan itu bisa jadi nanti kami memanggil para pihak,” katanya.

Baca juga artikel terkait KEJAGUNG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang