Menuju konten utama

Menunggang Kuda ke Curug Citambur, Catatan Vakansi Orang Belanda

Sejak dulu, orang-orang Belanda telah menjadikan Curug Citambur sebagai salah satu objek wisata di daerah Priangan.

Menunggang Kuda ke Curug Citambur, Catatan Vakansi Orang Belanda
Header Mozaik Curug Citambur. tirto.id/Tino

tirto.id - Curug Citambur belakangan sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Keindahan air terjun ini bisa dinikmati dari halaman rumah masyarakat setempat bernama Abah Jajang. Sejumlah pihak mencoba membeli tanah yang ia miliki. Namun, petani yang hidup sederhana ini menolak untuk menjual propertinya.

Karena tersebar secara luas, terutama di TikTok, rumah Abah Jajang kemudian diserbu pengunjung, termasuk Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Secara administratif, Curug Citambur berada di Desa Karangjaya, Kecamatan Pasirkuda, Kabupaten Cianjur. Lokasinya berjarak 85 km dari pusat Kota Cianjur dan sekitar 70 km dari pusat Kota Bandung.

Air terjun ini merupakan bagian dari sungai Ci Tambur yang berhulu di Gunung Kendeng dan bermuara di Sungai Ci Buni, salah satu sungai besar yang bermuara di Samudra Hindia.

Sejak dulu, Curug Citambur telah menjadi salah satu objek wisata yang cukup terkenal di Priangan. Lokasinya yang tersembuyi di tengah hutan dan sulit dijangkau, membuat curug ini menjadi objek wisata favorit orang-orang Belanda.

Pada mulanya orang-orang Belanda mencatat air terjun setinggi 130 meter ini sebagai yang tertinggi di Pulau Jawa. Namun catatan terkini menyatakan bahwa air terjun tertinggi di Pulu Jawa adalah Air Terjun Madakaripura di Jawa Timur.

Empat Catatan Perjalanan

Keberadaan Curug Citambur tidak diketahui banyak orang sampai awal abad ke-20. Orang Belanda menggambarkan, hutan belantara di Bandung bagian selatan merupakan hutan yang lebat dan sulit dijelajahi. Keberadaan Curug Citambur akhirnya berhasil diketahui setelah proses pembukaan lahan untuk perkebunan, khususnya perkebunan teh.

Perkebunan teh Citambur I sampai V dimiliki oleh perusahaan Algemeene Belgisch-Javasche Cultuur Maatschappij dan mulai terdaftar di tahun 1905-1906. Teh yang dihasilkan dari perkebunan Citambur merupakan teh berkualitas baik dan menarik perhatian pembeli saat dipasarkan di Amsterdam dan London.

Selain dijadikan sebagai objek wisata, Curug Citambur memiliki potensi untuk dijadikan sebagai penghasil energi listrik. Potensi ini pernah menarik perhatian perusahaan Wijnkoopsbaai Exploratie Maatschappij (WEM).

Perusahaan kereta api swasta ini mempunyai rencana untuk mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Citambur. Pembangunan PLTA dilakukan untuk mendukung rencana pembangunan jalur kereta api listrik antara Bandung dan Ciletuh yang diajukan WEM kepada pemerintah, sekitar tahun 1907.

Setidaknya ada empat catatan perjalanan yang menginformasikan bagaimana orang-orang dulu mencapai Curug Citambur. Tulisan-tulisan itu adalah catatan Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp tahun 1908, Fransen van de Putte tahun 1920, S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland tahun 1927, dan sebuah tulisan di majalah Mooi Bandoeng tentang satu rombongan yang melakukan ekskursi ke Citambur pada tahun 1933.

Sekitar tahun 1908, Wijnand Nieuwenkamp mencatat dalam buku Gids voor Bandoeng bahwa Dusun Cipelah bisa dijadikan sebagai tempat transit bagi para pengunjung yang akan menikmati Curug Citambur, Cipelah, dan Cisabuk. Dengan uang sejumlah 2 gulden, para pengunjung dapat menyewa kuda dari Ciwidey ke Cipelah yang berjarak 23 pal, melewati Ranca Walini, Situ Patengang, dan Sukaati.

Dalam buku hasil kerja sama dengan Hotel Homann tersebut, Nieuwenkamp memberi tip bagaimana perjalanan yang aman dan nyaman menuju Cipelah dan air terjun di sekitarnya. Para pengunjung dapat bermalam di rumah-rumah yang disediakan oleh para penduduk pribumi di Cipelah. Syaratnya, para pengunjung harus berkoordinasi dahulu dengan pemerintah daerah untuk penyewaan rumah, penyediaan kuda, dan akomodasi lainnya.

Infografik Mozaik Curug Citambur

Infografik Mozaik Curug Citambur. tirto.id/Tino

Lain lagi dengan catatan Fransen van de Putte yang tertuang dalam majalah Op de Hoogte tahun 1920. De Putte yang berkerja di sektor produksi gula di Jawa bagian timur mengunjungi Citambur saat mencari sahabatnya waktu mereka bersekolah di Belanda.

De Putte berhasil menemukan alamat sahabatnya dari sebuah buku telepon. Ternyata, sahabatnya yang telah lama hilang tersebut menjadi manajer di perkebunan teh di Citambur. Kunjungan ke Perkebunan Citambur dimanfaatkan oleh De Putte untuk melihat air terjun.

Dengan menggunakan mobil, De Putte bergegas menuju Bandung Selatan. Setelah bertemu dengan sahabatnya, mereka melanjutkan perjalanan sampai Perkebunan Sukaati. Di sana, kuda-kuda sudah disediakan untuk mereka yang akan mengunjungi Curug Citambur.

Sementara dalam buku Gids van Bandoeng en Midden Priangan terbitan 1927, Reitsma dan Hoogland memberi tip lain buat para pengunjung Curug Citambur dan sekitarnya. Mereka disarankan untuk menginap di satu pesanggrahan yang berada di Rancabali, dekat Danau Patengan. Pesanggrahan itu milik Bupati Bandung dan dapat dipakai oleh para wisatawan untuk melepas lelah selama perjalanan.

Sebelum mencapai air terjun, Reitsma dan Hoogland menulis bahwa mereka harus berjalan kaki selama satu jam dari Perkebunan Citambur menuju air terjun. Ini pula yang dilakukan oleh para peserta ekskursi ke Curug Citambur yang ditulis dalam majalah Mooi Bandoeng tahun 1933.

Kiwari, mengunjungi Curug Citambur tentu sudah sangat mudah. Para pengunjung tinggal menyusuri jalan raya yang menghubungkan Ciwidey dan Pagelaran, Cianjur, yang melewati Cipelah.

Sepanjang perjalanan, mereka akan disuguhi pemandangan alam berupa pergunungan, sungai, dan perkebunan teh. Para pengunjung juga dapat berhenti dan bersitirahat sekaligus menikmati kue balok panas di Pasar Sinumbra.

Baca juga artikel terkait AIR TERJUN atau tulisan lainnya dari Hevi Riyanto

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Hevi Riyanto
Penulis: Hevi Riyanto
Editor: Irfan Teguh Pribadi