Menuju konten utama

Menjaga Kewarasan demi Palu Kuat Pasca-Gempa

Korban bencana besar perlu dukungan psikososial sesegera mungkin.

Menjaga Kewarasan demi Palu Kuat Pasca-Gempa
Warga memandangi bangunan yang rata karena gempa Palu di Perumnas Balaroa, Palu Barat, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Hanya memakai sarung, seorang pria baya berjalan limbung. Mukanya panik. Badannya penuh goresan luka.

“Bapak kenapa?” tanya Tince Gantohe.

Ditanya begitu, kesedihan sang pria langsung pecah. “Anakku mati, Bu! Anakku mati... Istriku mati, Bu!”

Tince menirukan suara pria itu. Suaranya meninggi dan bergetar, seperti ingin menangis. “Anak dan istri bapak itu katanya habis diseret air."

Dari bapak itu, Tince tahu bahwa gempa itu ternyata membawa tsunami ke kota mereka. Air laut memang tak sampai ke rumah Tince di Jalan Hasannudin, Kota Palu. Tapi Tince dan kakaknya sempat panik. Mereka kembali ke rumah mereka berlantai tiga.

Jumat, 28 September 2018. Lima belas menit sebelum jam 6, Tince baru duduk-duduk selepas membuat jus ketika tanah bergoncang hebat dan kakaknya berteriak, “Lari! Gempa!”

“Saya sempat mau lari ke luar rumah,” kenang Tince. “Tapi saya lihat pohon di depan rumah patah-patah, tiang listrik tumbang."

Tince naik ke kamarnya di lantai tiga, sembunyi di bawah meja. Kakaknya sembunyi di kamar di lantai satu.

Sekitar sejam setelah itu, mereka keluar melihat sekitar. “Rumah di depan roboh,” tambahnya.

Ranting-ranting pohon mahoni berumur 100-an tahun depan rumah Tince patah. Listrik padam. Mereka juga merasakan belasan kali gempa susulan.

Seketika Kondisi Kota Palu kacau. Jalanan retak. Gedung-gedung roboh. Komunikasi terputus.

Saat saya menghubungi Tince pada Senin sore, tiga hari setelah gempa, ia sudah di Makassar di rumah saudaranya. Ia terdengar lelah. Suaranya parau seakan menahan tangis saat menceritakan pria tua yang dijumpainya sore itu dan kondisi kotanya.

“Dari kemarin banyak yang tanya kabar saya, teman-teman yang peduli. Tapi, saya enggak mau ngomong. Saya masih capek. Saya bersyukur saya selamat, tapi entah kenapa belum mau panjang-panjang bicara tentang ini,” ujar Tince.

Perasaan cemas macam ini sangatlah wajar menyelinap pada korban-korban bencana besar. Reaksi-reaksi spontan macam syok, takut dan cemas, apatis, mati rasa, sulit berkonsentrasi, nafsu makan kurang, atau susah tidur adalah hal biasa. Di tahap tertentu bahkan seseorang bisa depresi, merasakan sakit fisik (kepala, punggung, perut), dan menangis tanpa sebab.

Dalam bencana besar yang memporak-porandakan kota dan menelan banyak korban, umumnya mayoritas penyintas akan “stres karena kehilangan rasa aman dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka,” kata psikolog sosial Nurcahyo Budi Waskito.

Kebutuhan dasar itu tentu saja perkara makanan, tempat tinggal, dan jaminan keamanan.

Masalahnya, penanganan itu belum lancar di Palu dan daerah sekitarnya yang tertimpa tsunami dan gempa.

Lian Gogali, pendiri Mosintuwu asal Poso, berkata bahwa salah satu orang yang terus mengabarkan kondisi terkini Palu lewat akun Twitternya adalah korban gempa. Lian bersama jaringannya membentuk relawan dan terus berkomunikasi dengan posko di Tentena, Donggala, dan Palu.

Lewat percakapan via WhatsApp, Lian menceritakan kebanyakan penyintas sudah frustrasi karena makanan langka. Banyak yang kehilangan keluarganya dan masih mencari-cari.

“Masih banyak yang belum ketemu keluarga dan melihat langsung dan mendengar langsung rintihan dari gedung-gedung,” kata Lian kepada saya. “Tapi tidak bisa buat apa-apa.”

Beberapa tempat butuh pertolongan evakuasi segera mengingat masih ada kemungkinan orang-orang yang tertimbun ini selamat. Lewat Twitter, Lian membagikan foto seorang bapak dari kelurahan Mamboro yang membongkar puing-puing bekas gempa untuk mencari keluarganya.

“SOS evakuasi di Donggala, lebih dari 100 keluarga saat ini seperti ini (mencari keluarganya di reruntuhan secara manual menggunakan tangan). Meski (dilanda) kesedihan disertai putus asa tapi tetap punya harapan untuk sekadar lihat tubuh keluarga mereka, pun jika sudah tak bernyawa,” cuit Lian. Info itu ia dapatkan dari timnya di Donggala.

Lian sendiri masih mencari adiknya. “Adik saya belum ketemu, juga keluarga lain. Kami bertahan dengan jaga kewarasan,” katanya.

Infografik HL Indepth Gempa dan Tsunami Sulawesi

Menjaga Kewarasan Pasca-Gempa

"Menjaga kewarasan" adalah frasa yang terus diulang-ulang Lian. Ia membahas SOS (darurat) manajemen penanganan pasca-gempa dan tsunami. Bantuan yang belum lancar tersalurkan memang sempat memicu kekisruhan. Isu "penjarahan" tersebar.

Tince berkata kepada saya bahwa ia sempat melihat orang-orang membawa “teve-teve sebesar meja” dari toko-toko. Dalam perjalanan menuju bandara, sebelum akhirnya pergi ke Makassar menumpang pesawat Hercules, ia melihat puluhan orang "menjarah" barang selain makanan.

“Ada yang bawa ban, ada banyak anak-anak yang keluar dari Ramayana bawa baju berplastik-plastik,” cerita Tince.

Namun, menurut psikolog sosial Nurcahyo, isu "penjarahan" itu jangan mengambil panggung di pemberitaan media ketimbang apa yang sebenarnya paling dibutuhkan korban saat ini: kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.

“Seberapa sih penjarahan terjadi bila dibandingkan kematian dan kerusakan yang dialami penyintas?” tanya Cahyo, retorik.

“Yang dibutuhkan penyintas adalah energi positif, perasaan-perasaan positif yang menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian, ada banyak yang peduli, berempati, dan membantu mereka untuk bisa bangkit,” sambungnya.

Bahkan di hari keempat setelah gempa, kondisi distribusi logistik dan kebutuhan dasar lain belum sepenuhnya lancar di Palu dan Sigi. Di Donggala, masih sedikit daerah terdampak gempa dan tsunami yang bisa diakses bantuan.

Menurut Nurcahyo, berita soal penjarahan tidak memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan terlindungi yang dibutuhkan penyintas. Mereka yang sudah kehilangan harta benda, keluarga, dan masih harus bertahan hidup di masa darurat tak sepatutnya dapat berita penjarahan. “Ditambah lagi, berita itu yang (lebih) banyak dibahas dan dibumbui stigma,” katanya.

“Oh. Saya jadi teringat,” celetuk Cahyo.

Waktu tsunami Aceh 2004 silam, ada satu pandangan negatif yang beredar tentang penyebab terjadinya bencana mega dahsyat tersebut: bahwa ia hadir sebagai hukuman karena perempuan Aceh banyak "berbuat dosa."

Meski konyol, dan sangat seksis, kabar-kabar demikian tentu saja tidak jadi energi positif untuk pemulihan psikologi para penyintas. Inti dari pemulihan psikososial adalah bagaimana sikap, pandangan, perilaku, dan hal-hal yang dilakukan pihak di luar penyintas bisa memberikan energi positif, perasaan aman, nyaman, dan terlindungi secara psikologis.

Hati-hati PTSD!

Meski kemungkinannya kecil, para penyintas bencana besar punya peluang terkena Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD)—sebuah gangguan kejiwaan yang berkembang dari pengalaman keterkejutan, ketakutan, dan peristiwa bahaya, termasuk bencana besar.

Dalam jurnal yang dirilis National Center for Biotechnology Information, ilmuwan menemukan bahwa orang-orang dengan PTSD memang lebih dekat dengan perilaku bunuh diri, dibandingkan yang mengalami gangguan kesehatan lain seperti gangguan kegelisahan dan orang-orang temperamental.

Celakanya, siapa saja bisa terkena PTSD pada umur berapa pun, termasuk veteran perang bahkan anak-anak.

Menurut National Center for PTSD, sekitar 7 dari 8 orang dalam tiap 100 orang berpotensi mengalami PTSD dalam satu titik di hidupnya. Sementara, lebih banyak korban PTSD dari perempuan ketimbang pria.

Elly Misra memang tidak pernah didiagnosis PTSD. Tapi, ia sempat kena gangguan kecemasan parah setelah selamat dari tsunami Aceh 2004. Kehilangan sanak keluarga dan teman-teman bikin Elly linglung. Dalam pekan-pekan awal pasca-tsunami, ia kehilangan semangat hidup. Ia takut sekali pada pantai padahal sebelum tsunami, sebagai orang yang lahir dan besar di Aceh, Elly sangat menyukai pantai.

“Saya juga punya kecemasan yang tinggi ketika terjadi gempa, angin kencang, dan petir,” katanya.

Namun, perlahan-lahan Elly pulih dari kecemasan-kecemasannya. Tahap yang dilaluinya terjal. Kawan-kawan dari Yayasan Pulih tempatnya bekerja membantu melakukan pemulihan psikososial. Dari membangun rasa aman hingga membuatnya kembali menghargai diri sendiri dan jadi percaya diri.

“Kita dilatih untuk menggunakan kekuatan di sekitar kita untuk membangun hal-hal tersebut,” kata Elly.

Sekarang ia masih bekerja sebagai relawan yang membantu korban-korban bencana. Pekerjaan ini dianggapnya bagian dari "proses berdamai dengan luka" dari bencana tsunami, 14 tahun lalu.

“Semua butuh latihan, tidak bersifat instan. Yang penting ketika lelah dan terpuruk, selalu ingat ambil waktu untuk memulihkan diri dulu,” ujar Elly.

_______

Jika ingin membantu korban gempa dan tsunami di Sulteng, bisa menyalurkannya lewat rekening Bank Mandiri a.n Institut Mosintuwu: 151-00-1099414-0. Mereka membutuhkan makanan, minuman, dan bensin, di antara kebutuhan lain.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam