tirto.id - “Kenapa pakai baju itu, Yah?” Bryce heran kenapa ayahnya memakai seragam formal upacara petugas pemadam kebakaran.
“Aku akan segera balik. Jangan khawatir,” kata ayahnya.
Bryce melihat dompet sang ayah tinggal di atas meja, lalu mengejarnya ke arah mobil. “Ayah. Dompetnya ketinggalan.”
“Enggak perlu kok. Sampai ketemu lagi, Nak,” sahut sang ayah.
Malam itu, 15 Oktober lalu, David Dangerfield, ayahnya Bryce mengemudi di jalan raya terisolasi yang jauh dari rumahnya, menabrakan diri ke semak-semak dan mengakhiri hidupnya. Sesat sebelum itu, ia menuliskan status di Facebook:
“PTSD bagi pemadam kebakaran nyata adanya. Kalau orang yang kau sayangi mengalami gejalanya, segera bantu mereka. Dua puluh tujuh tahun melihat mayat dan bayi-bayi sekarat di tanganmu adalah memori yang takkan lepas darimu, terus menghantuiku sampai sekarang. Kasihku untuk semua kruku. Hati-hati, jaga diri. Aku sayang kalian semua.”
Alis Leslie Dangerfield menukik ke atas, matanya berkaca-kaca saat menceritakan kembali kisah ini pada WGN TV. “Dia (David) ingin dunia tahu. Ketika pergi, dia memakai seragam resmi […] dan begitulah kenangan terakhir anakku atas ayahnya: melihatnya pergi.”
David menderita PTSD alias Post-Trauma Stress Disorder sejak empat tahun lalu. Awalnya, ia sendiri tak mengira bisa menderita gangguan kesehatan jiwa ini. Tapi gejala-gejala yang dialaminya, seperti kepayahan tidur, merasa dirinya tak penting, dan depresi berkelanjutan membuat ia akhirnya berkonsultasi ke pakar. Obat dan konseling membuat ia lebih baik sementara waktu. Tapi, David ternyata tak kuasa menghadapi PTSD dan memilih jalan kematian.
Dalam jurnal yang dirilis National Center for Biotechnology Information, ilmuan menemukan kalau orang-orang dengan PTSD memang lebih dekat dengan perilaku bunuh diri, dibandingkan yang mengalami gangguan kesehatan lainnya seperti gangguan kegelisahan, dan orang-orang temperamental.
Celakanya, siapa saja bisa terkena PTSD di umur berapa pun. Termasuk veteran perang bahkan anak-anak. Menurut National Center for PTSD, sekitar 7 dari 8 orang dalam tiap 100 orang berpotensi mengalami PTSD dalam satu titik di hidupnya. Sementara, korban PTSD lebih banyak perempuan daripada pria. Dan salah satu penyebab seseorang terkena PTSD bisa jadi keturunan genetik.
Artinya, apa yang ditimpa David bisa dialami siapa saja.
Dalam kasus David, PTSD dipicu oleh rasa bersalahnya dan traumanya karena tak berhasil menemukan bocah yang hilang tenggelam. Ia dan krunya hanya menemukan potongan tubuh bocah yang rupanya tewas dimakan hiu.
Lain dengan Luis Carlos Mantolvan, seorang bekas tentara AS juga mengidap PTSD. Ia mengidap penyakit itu karena trauma akibat perang Irak, tempatnya bertugas. Namun, Luis berhasil bergulat dengan PTSD-nya dibantu Golden Retriever yang ia namai Tuesday. Ia juga menjadi aktivis PTSD yang membantu rekan veteran lainnya yang punya masalah kesehatan macam dirinya. Sayangnya 2 Desember lalu, Luis ditemukan tewas di kamar hotel tempatnya menginap. George Mantolvan, ayahnya, bilang kalau Luis meninggal karena masalah jantung. “Tapi pikiran pertama kami yang muncul adalah dia mungkin bunuh diri,” kata George pada New York Time. Ia tak sangka putranya akan mati di usia 43. Terlalu dini, menurutnya.
Lima hari kemudian, PTSD jadi topik populer setelah Lady Gaga mengaku mengidapnya dalam wawancara dengan Today Show.
Dalam acara itu, Gaga mengunjungi panti khusus penampung LGBTI muda yang terlantar. Di sana, ia membagikan banyak hadiah, dan memberi sesi konseling sebagai bentuk tindakan menyebar kebaikan yang belakangan digetolinya. Gaga mengatakan, kegiatan macam itu adalah terapi paling ampuh yang dijalaninya agar sembuh dari PTSD.
“Aku sudah mencari macam-macam cara untuk menyembuhkan diriku. Dan kutemukan kebaikan hati adalah adalah cara terbaik,” ujarnya tersenyum.
Gaga sendiri mengalami PTSD setelah tragedi perkosaan yang dialaminya di umur 19. Ia juga mengalami gejala serupa seperti David dan Luis: kepayahan tidur, sulit konsentrasi, gampang kaget dan marah, selera makan terganggu, tak percaya pada orang sekitar, gampang lelah, turunnya kepercayaan diri, sering memilih menarik diri dari sosial, bahkan gampang sakit.
Menurut National Center for PTSD, penyebab gangguan ini tak hanya muncul dari korban pelecehan seksual macam Gaga, kekerasan saat perang seperti Luis, atau melihat peristiwa mengerikan yang terjadi pada orang lain seperti David. Gangguan ini juga bisa muncul akibat bencana alam, kecelakaan, atau bahkan perasaan ditinggal orang yang dicintai.
PTSD juga tak hadir sekonyong-konyong selepas peristiwa tersebut terjadi. Bisa saja baru muncul setelah tiga bulan, enam bulan, atau bahkan dua tahun setelah peristiwa traumatik itu berlalu. Sehingga banyak orang tak sadar kalau sedang mengalami PTSD.
National Institutes of Health di AS memprediksi sekitar 7,7 juta orang dewasa di atas 18 tahun punya PTSD.
Saran David untuk mengenali gejalanya jadi penting, jika tak mau orang yang kita sayangi atau bahkan diri kita sendiri terkena gangguan kesehatan jiwa ini. Sanjay Gupta, Psikiater Amerika mengatakan dalam video CNN, pengalaman traumatik melukai otak lebih parah ketimbang tubuh kita. Dalam kondisi kronis, PTSD bahkan mengubah struktur otak kita.
Hippocampus, salah satu bagian orak yang menyimpan memori bisa menyusut pada orang dengan PTSD. “Ini membuat mereka agak susah membedakan masa depan dan sekarang,” kata Gupta. Korteks otak depan, tempat mengatur emosi negatif manusia, seperti ketakutan juga dapat menyusut jika terkena PTSD. Ini membuat perasaan-perasaan buruk lebih dominan ketimbang perasaan senang.
Kondisi otak tersebut, kata Gupta, dapat diperbaiki dengan obat-obatan medis dan terapi. “Sains bahkan menemukan cara membuat otak kembali tenang, bahkan merapikannya lagi,” tambah Gupta.
Tak heran, Gaga berhasil melewati PTSD dengan selamat. “Kebaikan dari para dokter, dan keluargaku.. itulah yang menyelamatkan hidupku,” katanya. “Satu cara untuk menolong seseorang melewati trauma adalah dengan menginjeksikan sebanyak mungkin pikiran-pikiran positif pada mereka.”
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti