tirto.id - Sewaktu gempa membangunkan Kota Palu, Heri Muhammad Rizky tengah memasang lampu di panggung utama Festival Palu Nomoni di Pantai Talise. Pria berusia 52 tahun ini segera berlari saat air laut bergemuruh dan mengarah ke bibir pantai.
Haji Suryamud, 60 tahun, baru saja mengambil wudu. Ia begitu kaget ketika tanah bergoyang. Tembok rumah nyaris menimpanya. Atap-atap rumah seakan disedot ke dalam perut bumi. Kedua tangannya sigap menggapai-gapai tempat tinggi.
Hana, 24 tahun, masih tidur. Ia terbangun, lari keluar rumah, dan berkumpul bersama para tetangga. Saat ia melangkah, kulit bumi terbelah. Buru-buru ia melesat ke sepetak tanah lapang.
Sri Murniati gemetar melihat puluhan pohon kelapa bergerak memutar bersama gemuruh yang menyergap ketakutannya. Bergegas meninggalkan rumah, di tengah jalan yang mendadak gelap dan orang-orang lari dan panik, ia mengebut dengan sepeda motor menuju kantor Polsek Biromaru.
Di bawah reruntuhan Restoran Dunia Baru, Ida berteriak-teriak mencari pertolongan. Kaki kanannya terjepit beton.
Gempa dan tsunami Palu menyatukan mereka dalam kengerian dan keberuntungan pada Jumat sore, 28 September 2018.
*
Jumat sore itu warga Kota Palu membanjiri Pantai Talise. Kota mereka baru saja berulang tahun ke-40. Mereka bersiap menyambut hari pertama Festival Pesona Palu Nomoni, dianggap acara seni dan budaya paling meriah di Kota Palu. Sebagaimana telah berselang tiga tahun terakhir, tahun ini festival tersebut digelar di sepanjang pesisir Teluk Palu. Dari Hotel Wina Beach hingga anjungan Pantai Talise, kira-kira sepanjang 3,8 kilometer, tenda-tenda dan panggung festival telah berdiri.
Festival itu sedianya berakhir pada 30 September, sebelum ingatan warga disapu oleh gempa dan tsunami.
Heri Muhammad Rizky, salah satu warga yang memeriahkan festival Palu Nomoni, baru saja memasang lampu di panggung utama festival saat gempa bergoyang. Terguncang hebat dan hampir terjatuh, ia bergegas menjauhi pantai ketika mendengar ombak bergemuruh.
Dalam hitungan detik, orang-orang panik. Dalam hitungan menit, gelombang ombak makin mendekati bibir pantai. Ombak—ada yang menyebut setinggi enam hingga delapan meter—langsung menggulung segala kemeriahan festival itu. Arusnya terus menyapu daratan hingga 200-an meter dari bibir Teluk Palu.
Orang-orang menjerit. Orang-orang menyelamatkan diri. Sebagian besar berlari ke Jembatan Ponulele atau dikenal Jembatan Kuning. Tapi, jembatan lengkung itu ambruk dihantam arus tsunami.
"Banyak orang lari ke jembatan,” kata Heri, mengenang.
Di tengah Kota Palu yang mendadak gelap, Heri berhasil selamat setelah berlari ke daerah lebih tinggi. "Saya tidak sampai tersapu air,” katanya.
Di suatu tempat, Haji Suryamud mencoba sekuat tenaga meraih atap ketika rumahnya runtuh. Ia memukul tembok agar tak tertimbun beton. Ia buru-buru menyelamatkan istri dan anaknya dari reruntuhan.
Sore itu mantan pegawai negeri sipil Pemprov Sulawesi Tengah ini baru saja mengambil air wudu untuk salat Magrib. Namun, gempa bikin ia terguncang. Ia melihat permukaan tanah terbuka. Perumahan nasional Balaroa ambles tertelan perut bumi. Lumpur melahap seluruh kompleks itu.
“Mak.. Sara... di mana kau?” teriak Suryamud.
Dalam situasi rumah yang amblas, Suryamud mencoba menyelamatkan istri dan kedua anaknya. Ia melihat Sara, anaknya, menjulurkan tangan ke atas, menggerak-gerakan kayu. Sara tertimpa tembok, "tapi untung tidak terjepit,” ujarnya.
Ia segera menggali reruntuhan di antara lumpur yang terus berputar menyedot rumah makin melesak ke perut bumi. Sara akhirnya bisa diselamatkan setelah ia menggali pasir dengan kedua tangan kosong. Namun, ia harus kehilangan istrinya, yang tertimpa reruntuhan.
“Saya dengar istri saya ngomong kepada anak saya, 'Semoga kamu sama bapakmu sehat...',” tutur Suryamud, tertegun.
Malam itu Kota Palu histeris. Orang-orang sahut-menyahut meminta pertolongan. Kota Palu gelap gulita. Orang-orang tidur di pinggir jalan. Ribuan warga bermalam di taman kota. Jalan-jalan retak. Kulit aspal terkelupas.
Hana, seorang warga di Perumnas Balaroa, terbangun saat guncangan gempa. Ia bergegas ke luar rumah. Tiba di gang, ia melihat lima warga berkumpul. Baru melangkah, tanah keburu retak.
Berjalan di antara tanah yang bergoyang dan melumat rumah demi rumah, Hana menyusuri jalan setapak demi mencari tempat lebih tinggi. Di tengah jeritan minta tolong, ia melintasi atap-atap rumah, meraba-raba jalan, menyeimbangkan badan, terhuyung-huyung, berjalan merangkak di atas tanah yang bergerak bak ombak.
Ia terus berjalan hingga kemudian bertemu warga lain.
Saat mengedarkan pandang, ia seakan tak mengenali lagi perumahan tempatnya tinggal. Perumnas Balaroa amblas. Lumpur menggulung dan melumat tanpa sisa. Udara digelayuti teriakan orang-orang minta tolong.
Orang-orang yang selamat, seperti dirinya, meyakini bahwa apa yang membuat mereka masih hidup berkat mukjizat. Seperti Hana, orang-orang ini keluar dari reruntuhan rumah, di tengah lumpur di bawah kaki mereka, memainkan nasib baik dan kematian.
Keluarga Hana selamat. Tapi, “nenek aku dua orang belum ada kabar,” katanya kepada saya, tiga hari setelah gempa.
SEKITAR 40 MENIT melewati dua Sungai Palu dari lokasi Hana, di Kelurahan Petobo, Sri Murniati gemetar saat puluhan pohon kelapa berputar-putar seperti angin topan. Dahan-Dahan bergetar, bergesekan, jatuh dan limbung.
Sore itu, menjelang magrib dicekam rasa kalut, Murniati memacu sepeda motor membelah arus orang-orang yang berhamburan ke badan jalan di Kota Palu.
Tanah yang semula padat mendadak jadi encer, menjadi lumpur, bak bubur. Ia melihat rumah-rumah berpusing terbenam. Jalan-jalan di semua hampir Kota Palu membentuk rongga. Tiang-tiang listrik bergelimpangan.
Murniati susah payah menyelamatkan diri, mencari tempat yang lebih tinggi. Di sekitarnya tanah berlumpur bergoyang, melumat seluruh rumah di Kelurahan Petobo.
“Ya Allah.... Ya Allah. Allahuakbar.”
Ia terus-menerus mengucapkan nama Tuhan, mengusir ketakutannya, bahkan selepas tiga hari dari peristiwa gempa.
Kira-kira delapan kilometer ke arah Sungai Palu dari Kelurahan Petobo, saat bersamaan ketika Heri Muhammad Rizky, Haji Suryamud, Hana, dan Sri Murniati berhasil mengemasi nyawa masing-masing, Ida terjebak di reruntuhan bangunan Restoran Dunia Baru.
Ida berteriak-teriak meminta bantuan. Orang-orang yang mendengar teriakan itu kebingungan mencari sumber suara. Barulah pada Sabtu siang, sehari setelah gempa, mereka menemukan Ida.
Beton mengimpit badannya. Kakinya tertindih tembok. Sembari mencari cara meloloskannya dari impitan itu, orang-orang menyuapinya dengan biskuit dan memberinya air minum.
"Saya yang kasih makan. Kasihan wanita itu. Kakinya terjepit," kata seorang warga yang menolongnya.
Namun, beton-beton itu tak cukup diangkat hanya dengan tangan kosong.
Rudi, ayah Ida, tak hilang harapan setelah seharian ia mendatangi setiap rumah sakit untuk mencari putrinya. Setelah diberitahu bahwa masih ada korban hidup yang terjebak di Restoran Dunia Baru, tempat Ida bekerja sebagai juru masak, Rudi segera menuju lokasi.
Kalut dan bahagia, Rudi sigap memasuki celah reruntuhan, lalu menyuapi Ida dengan makanan dan memberinya minum. Kondisi putrinya mulai melemah. Dengan sabar, Rudi menunggu ada tim penolong yang bisa segera menyelamatkan anaknya.
Pada Sabtu sore, Tim Basarnas mendatangi reruntuhan Restoran Dunia Baru di dekat Mall Tatura tersebut. Pada Minggu, tim akhirnya berhasil menyelamatkan Ida dan membawanya ke Rumah Sakit Bhayangkara.
Ida berhasil selamat setelah 48 jam dalam reruntuhan. Namun, ia harus merelakan kakinya hilang sebelah.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam