Menuju konten utama

Pahlawan Gempa Palu itu Bernama Edi Setiawan

Edi Setiawan bergumul melawan gulungan lumpur, menyelamatkan 15 nyawa, serta berupaya menemukan ayah dan adiknya.

Pahlawan Gempa Palu itu Bernama Edi Setiawan
Edi Setiawan, 32 tahun, menunjukkan jasad ayah dan adiknya yang masih terbenam lumpur, empat hari setelah gempa, di rumahya di Desa Mpanau, Kab. Sigi, salah satu wilayah paling parah terdampak gempa di Sulawesi Tengah (1/10/2018). tirto.id/Arbi Sumandoyo

tirto.id - Edi Setiawan belum tidur dua malam sejak gempa disusul gelombang tsunami menghancurkan Donggala, Palu, dan Sigi, pada magrib, 28 September lalu. Ketika gempa, Edi dalam perjalanan dari Palolo ke rumahnya di Desa Mpanau, Kabupaten Sigi—8 km dari Kota Palu. Ia sadar ayah dan adiknya masih di rumah saat itu.

Edi buru-buru berlari ke rumahnya melalui Jalan Tondei, melintasi genangan air, kemudian merangkak di atas lumpur yang terus bergerak dari arah Kelurahan Petobo ke kampungya.

Dalam gelap dan tanah berlumpur, ia berjalan merangkak agar tubuhnya tak terbenam. Ia mendengar orang-orang saling berteriak histeris. Tapi, ia terus merangkak menuju rumahnya yang telah terhempas diseret gelombang lumpur, mencari ayah dan adiknya.

“Saya tidak peduli, mau mati atau tidak, yang penting keluargaku selamat,” tutur Edi.

Sampai di kampung, Edi naik ke atap rumah yang rata tanah. Ia berteriak-teriak memanggil dua orang yang dicintainya itu. Tapi teriakannya tak berbalas.

Suara lumpur makin bergemuruh, tapi Edi tetap di atap rumahnya. Dalam kegelapan, samar-samar, Edi melihat dua lelaki terseret lumpur. Ia menarik kedua orang itu dengan tali biar terbebas dari isapan lumpur.

“Saya tarik pelan-pelan agar tidak tenggelam,” ujar Edi.

“Kondisinya parah. Korban patah."

Usai menyelamatkan kedua orang itu, Edi masih terus mencari ayah dan adiknya. Lagi-lagi usahanya gagal.

Sembari terus mencari, Edi menolong korban-korban lain yang berteriak pilu. Malam itu, hanya bemodal tali, Edi bolak-balik menyelamatkan para korban, termasuk empat bayi yang terjebak lumpur, yang tangisannya tanpa henti, rengekannya melolong panjang, meremukkan jiwanya.

Edi menggapai bayi-bayi mungil itu. Merangkak di atas lumpur yang masih bergerak. Ia membawa satu demi satu bayi-bayi itu ke sebuah masjid, sekitar 500 meter dari gulungan lumpur. Di masjid itu, sudah ada para warga yang menyelamatkan diri dari terjangan gempa dan gulungan lumpur.

Firdaus, 60 tahun, tetangga satu desa dengan Edi di Mpanau, menjadi saksi betapa sibuk Edi malam itu. Setelah berhasil menyelamatkan korban dari lumatan lumur, Edi membawa mereka ke masjid. Kemudian, ia berangkat lagi ke lokasi yang sama. Begitu terus. Bolak-balik. Seakan-akan tugasnya adalah menyelamatkan seluruh warga, menjangkau tangan-tangan yang kehabisan tenaga.

Firdaus bercerita malam itu suasana Desa Mpanau mencekam. Jalan-jalan di desa itu berongga dan menguarkan hawa panas. Orang-orang berlarian ke tempat lebih aman agar tak tersapu lumpur. Ada yang berkumpul di masjid. Ada yang berlari ke perbukitan Kabupaten Sigi.

Tapi Edi, kata Firdaus, masih mondar-mandir menuju gundukan lumpur yang bikin ciut nyali semua korban gempa itu; lumpur yang semula tanah keras tapi mencair karena digoyang gempa, melumat jalan penghubung Kabupaten Sigi dan Kelurahan Petobo.

Ia menyelamatkan korban gempa yang ia dengar meminta pertolongan. Firdaus berkata, pada malam Sabtu itu, Edi telah menyelamatkan 15 nyawa. Sayang, satu balita yang ia tolong kemudian meninggal dunia.

Edi memang orang paling sibuk malam itu, dan empat hari kemudian ketika saya menemuinya di Jalan Tondei pada Senin, 1 Oktober.

Bersama warga lain di Desa Mpanau, dengan memakai kayu, Edi memberi tanda-tanda keberadaan mayat di kampungnya. Ketika saya menemui Edi, setidaknya sudah ada puluhan patok kayu yang ia tancapkan di atas lumpur.

“Di bawah kayu-kayu itu ada korban meninggal,” ujar Edi.

Warga bahu-membahu mengangkat mayat agar mudah dievakuasi Badan SAR Nasional. Ketika saya datang ke desa itu, satu mayat telah dievakuasi di pinggir jalan. Mayat itu adalah perempuan.

Sabtu pekan lalu, 29 September, ketika matahari benderang, Edi masih saja sibuk mencari korban yang meminta pertolongan. Ia masih terus mencari ayah dan adiknya yang belum ditemukan.

Ketika lumpur mulai mengeras, ia kembali mendatangi bangunan rumahnya yang porak-poranda terseret badai lumpur. Di sanalah, di bawah jendela, di balik reruntuhan beton dan rendaman lumpur, Edi menemukan Suryansyah dan Thea Friska Saskia, ayah dan adiknya, dua orang yang ia cintainya sebesar dunia, dalam kondisi tak bernyawa.

“Ayah dan adik saya berpelukan,” ujar Edi.

Edi mengantarkan saya menengok jenazah kedua orang terkasih itu. Ia menuntun saya agar kaki saya tak terjebak ke dalam kolom tumpukan lumpur yang masih bergerak-gerak.

Edi membuka atap seng. Saya melihatnya. Suryansyah dan Saskia. Berpelukan. Dua manusia paling dicintai Edi. Dua manusia yang ingin diselamatkan Edi, muasal kekuatan dalam tubuhnya yang terus mencari-cari mereka pada malam sesudah gempa itu, yang dari sumber energi itulah ia menyelamatkan 15 orang lain, tetapi bukan ayah dan adiknya.

Ia menutupi ayah dan adiknya dengan seng biar mereka tak kepanasan. Dan Edi membungkus kepala keduanya. Seakan-akan mereka masih hidup.

Senin kemarin, saat saya menemuinya, lima anggota Basarnas gagal mengevakuasi ayah dan adiknya. Selain lumpur masih bergerak, seakan-akan lumpur itu bernyawa, posisi tubuh Suryansyah dan Saskia tak mungkin bisa dievakuasi dalam waktu singkat.

Betapapun begitu, “Saya dan keluarga sudah ikhlas,” kata Edi.

Ia melepas kepergian Suryansyah dan Saskia. Dan kedua jasad itu masih terjepit lumpur. Dan ia menutupinya dengan seng. Dan atas apa yang telah ia lakukan pada malam setelah gempa itulah Edi adalah pahlawan kita.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Agung DH