Menuju konten utama

Memetakan Dampak Gempa dan Tsunami Palu via Citra Satelit

Dengan bantuan pencitraan dari satelit, kita bisa menganalisis apa yang terjadi di Palu pasca-gempa dan tsunami.

Memetakan Dampak Gempa dan Tsunami Palu via Citra Satelit
Mobil warga rusak dampak terkena gempa Palu di Petobo, Sulawesi Selatan, Senin (1/10/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Di media sosial dan aplikasi pesan WhatsApp beredar sebuah video yang memperlihatkan rumah, pepohonan, dan bangunan bergerak amblas seakan ditelan lumpur hidup. Video berdurasi 2:05 ini tersebar pada Sabtu, 29 September, atau sehari setelah gempa dan tsunami mengguncang Kabupatan Donggala, Kota Palu, dan Kabupaten Sigi.

Video itu beredar bersamaan dengan informasi bahwa "ada banyak korban yang masih hilang terendam lumpur" di beberapa desa di Sigi, kawasan tetangga Palu, yang dikenal memiliki Danau Lindu, sebuah kawasan yang kaya flora dan fauna endemik Sulawesi.

Semula ada yang menyangsikan kabar ini. Namun, tiga hari pasca-gempa dan seiring tim pencarian dan penyelamatan bergerak ke Sigi, kabar ini sahih.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengkonfirmasi bahwa video itu terjadi di Kabupaten Sigi dan peristiwa ini lazim disebut likuifaksi. Media-media pun mulai membahasnya sebagai kejadian saintifik, bukan klenik.

Akibat getaran gempa, permukaan tanah mengencer menjadi lumpur bak bubur—inilah likuifaksi.

Kejadian itu, dengan mengidentifikasi menara dan rumah beratap merah dari detail gambar yang direkam video tersebut, lalu mencocokkan ke Google Maps, berada di sekitar Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru.

Dari objek yang terekam video tersebut, rumah dan menara seakan bergerak ke arah kiri dari si perekam. Namun, menilik arah mata angin, pijakan si perekamlah yang terseret ke arah barat. Dalam video, mata lensa si perekam terhalang pepohonan padahal di sekitarnya tak ada pohon. Video juga memperlihatkan pondasi menara masih ajek. Teranglah bahwa tempat si perekamlah yang bergerak ke arah barat.

Dari ciri-ciri atap tempat pijakan si perekam, sangat mungkin ia berjarak 400-an meter ke arah timur laut dari rumah beratap merah. Akibat peristiwa likuifaksi itu, atap rumah yang jadi pijakan si perekam bahkan bergeser hingga setengah kilometer.

Likuifaksi

Gambar 1: Sudut pandang perekam dalam peristiwa tanah amblas di Desa Jono Oge, Kab. Sigi.

Rekaman video amatir ini juga dicermati oleh Adrian Tohari, peneliti longsor dan gerakan tanah dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI. Ia berkata bahwa tanah yang bergerak seperti dalam video tersebut karena sifat tanah yang labil, lalu teraduk getaran gempa.

"Nah, topografi permukaan tanah agak curam yang membuatnya seolah-olah longsor. Jadi terseret ke bawah," ujar Adrian kepada Tirto.

Meski begitu, Adrian lebih cenderung menilainya sebagai tanah amblas atau longsor. "Kecenderungan saya, kemungkinan dulu di situ rupa bumi berupa cekungan yang terisi endapan, kemudian amblas," ujarnya.

Adrian ragu apakah peristiwa ini bisa disebut likuifaksi karena lokasi di video bukanlah daerah pesisir, "Tapi apakah itu masuk fenomena likuifaksi atau bukan? Belum bisa saya ketahui."

Peristiwa di Desa Jono Oge juga terjadi di Kelurahan Petobo dan Desa Sidera, Kota Palu. Longsoran tanah di tiga lokasi ini bergerak ke arah tanggul Sungai Palu, yang melintang dari selatan hingga ke Teluk Palu. Akibatnya, daerah-daerah ini termasuk yang rusak parah pasca-gempa.

Gelombang likuifaksi juga terjadi di Perumnas Balaroa, yang bikin rumah-rumah di daerah ini amblas sedalam lima meter. "Setelah guncangan tanah, [rumah] langsung amblas. Orang teriak-teriak," ujar seorang warga di Balaroa kepada Tirto.

Pengakuan saksi mata menyebut gempa bikin tanah bergeser ke arah Pantai Talise—keterangan yang justru cocok dengan yang diperlihatkan dalam citra satelit.

Batas tepi timur perumahan Balaroa adalah sesar Palu-Koro, satu dari empat sesar besar dan paling aktif di Pulau Sulawesi. Sesar ini membujur dari utara ke selatan sepanjang 500 kilometer, melintasi Laut Sulawesi, Kota Palu, dan Teluk Bone. Saat gempa, tanah Perumnas Balaroa di sayap kiri bergerak menubruk sayap kanan di arah timur laut, lokasi Pantai Talise.

Likuifaksi

Gambar 2: Kawasan Perumnas Balaroa yang amblas pasca-gempa. Sumber: Copernicus

Dampaknya, kawasan perumahan ini mengalami kerusakan terparah. Menilik peta efek bencana yang dilansir Copernicus, kerusakan di Balaroa yang menampung sekitar 400-an kepala keluarga terlihat seakan terisolir. Dari peta tampak tanah di permukiman sekitar Balaroa tak ikut amblas.

Valkaniotis Sotiris, ahli geologi asal Yunani, yang mendalami kajian likuifaksi dan longsor, menyebut fenomena di kawasan Perumnas Balaroa biasa terjadi pada sedimen tanah longgar yang mengandung air tanah berlimpah. Itulah mengapa air dan lumpur membuncah di lokasi ini.

Sotiris berkata bahwa proses likuifaksi dan tanah mengencer bak bubur biasanya ditandai deformasi luas (long multiple open fractures) dan keretakan parah permukaan tanah. "Ini bisa merusak bangunan yang memiliki pondasi kuat sekalipun," ucapnya.

Pemicu Tsunami dari Pencitraan Peta

"Sama seperti yang lain, saya berpikir tidak mungkin ada tsunami," ucap ahli geofisika Jasson R. Patton kepada Tirto. "Namun, segera setelah gempa, orang mulai mengunggah video tentang tsunami di media sosial. Saat itulah kami, para ahli, mulai tersadar," kata ilmuwan yang menjabat asisten profesor di Humboldt State University, California, Amerika Serikat.

Data seismik mengungkap sesar Palu-Koro adalah penyebab gempa yang bergerak secara horizontal, bukan vertikal. Kalaupun terjadi gempa, tidak akan besar. Hasil simulasi tsunami dengan memakai parameter gempa yang diulik Aditya Gusman, peneliti Universitas Tokyo, menyebut taksiran angka ketinggian tsunami relatif pendek, hanya 25 sentimeter.

Namun, gempa di Kabupaten Donggala pada Jumat sore, 28 September 2018, termasuk gempa besar dan menyebabkan tsunami. Bagaimana hal ini terjadi dan di luar perkiraan peneliti?

Berdasarkan hipotesis awal Patton, kemungkinan besar penyebab tsunami adalah tanah longsor di dasar laut. Ini terlihat dari banyak kejadian tanah longsor di darat seperti peristiwa likuifaksi di beberapa daerah di Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Sementara di wilayah pesisir, Patton menilai ada beberapa lokasi yang amblas, banyak di antaranya di daerah tambang pasir dan tanah kerikil.

Keruntuhan struktur tanah di pesisir bisa terlihat dari rekaman video yang diambil kapten Batik Air, beberapa saat sebelum ombak menerjang Teluk Palu. Video ini merekam rangkaian gelombang buih raksasa di lepas Teluk Palu.

Likuifaksi

Gambar 3: Sebagian tanah longsor di pesisir Palu pasca-gempa. Sumber: PlanetLabs

Sebagai kota yang terbentuk di atas delta sungai, menurut Patton, dua penanda di atas cukup membuatnya mengajukan hipotesis ilmiah soal apa yang disebutnya delta slope failure. "Setelah melihat tanah longsor cukup luas di garis pantai dan di darat, masuk akal untuk menganggap terjadi longsoran di lereng bawah laut," ujarnya.

Meski begitu, Valkaniotis Sotiris berkata bahwa seba-sebab tsunami di Palu amatlah kompleks. "Dengan kekuatan gempa bumi yang mencapai lebih dari 7 skala Richter, tsunami disebabkan dua kombinasi, tak hanya longsor bawah laut," ujarnya.

"Pergerakan sesar Palu-Koro yang melintang dari pantai barat ke utara pasti akan menimbulkan tanah longsor yang dipicu oleh gempa. Ini butuh penelitian lanjut untuk mengetahui sumber tsunami," kata Sotiris kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait GEMPA DONGGALA DAN PALU atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam