tirto.id - “Minum... minum,” ujar Nurul Istikharah, 15 tahun, dengan suara pelan kepada anggota Badan SAR Nasional yang ada di depannya.
"Argh... argh..." Sesekali rintihan Nurul terdengar di balik suara mesin genset yang berada tepat di atas kepalanya.
Ia sempat tak sadarkan diri. Dengan sigap, anggota Basarnas menepuk bagian leher belakang Nurul dan memberikan minyak kayu putih agar Nurul kembali sadar. Kondisinya lemas. Tangannya putih pucat.
Sudah 48 jam Nurul tertimbun reruntuhan bangunan Perumahan Nasional Balaroa, Palu Barat, Kota Palu. Seluruh badannya tertimbun reruntuhan rumah. Tepat di sampingnya, sang ibu, Risni, 42 tahun meninggal dunia dengan posisi yang sama seperti Nurul, tertimbun reruntuhan bangunan.
Badan SAR Nasional sejak Minggu (30/9/2018) pukul 4 dini hari berupaya mengevakuasi Nurul dari reruntuhan bangunan Perumnas Balaroa. Selama itu pula, upaya Tim SAR dan para relawan belum membuahkan hasil. Kaki Nurul terjepit beton. Seluruh tubuhnya tertimbun lumpur dengan genangan air yang terus membanjiri hingga leher.
Sesekali, lantunan ayat-ayat Alquran terdengar seiring upaya Tim SAR mengangkat badan Nurul dari timbunan lumpur, di antara bangunan bangunan rumah yang roboh di komplek Perumnas Balaroa. Bau anyir jenazah sang ibu sudah tercium.
Namun, hingga Minggu sore, upaya menyelamatkan Nurul dari reruntuhan masih belum membuahkan hasil. Tangannya mulai putih dan mengeriput.
“Bismillah," teriak tim Basarnas yang berupaya mengevakuasi Nurul.
Nurul merupakan satu korban selamat dan masih hidup dari bencana gempa dan tsunami yang menerjang Perumnas Balaroa di Kecamatan Palu Selatan. Bersamaan dengan tertimbunnya Nurul, 90 orang tetangganya dilaporkan hilang dan masih belum ditemukan.
Kesaksian Sang Ayah
Yusuf, ayah Nurul, masih terlihat limbung. Sesekali, lelaki berumur 42 tahun ini mengalihkan pandangannya. Ia mencoba menghadapi kenyataan dengan mengobrol dengan para tetangganya. Kejadian Jumat sore lalu tak ia sangka sebagai pertemuan terakhir dengan istri dan anak keduanya, Istiqomah, 13 tahun.
“Semua serba cepat. Tanah langsung amblas,” kata Yusuf dengan suara parau.
Saat kejadian, Yusuf kebetulan tak ada di dalam rumah. Ia sedang berkunjung ke rumah pamannya, tepat dua bangunan dari kediamannya di Jalan Kenanga, Perumnas Balaroa.
Seketika, gempa menghantam Kota Palu. Dentuman seperti bom terdengar beriringan dengan amblesnya tanah di atas perumahan yang ia tinggali. Tanah terus bergerak berbarengan dengan teriakan tetangganya meminta pertolongan. Tiba tiba, gemuruh air disertai reruntuhan rumah datang dari arah bagian barat Perumnas Balaroa.
Yusuf mencari tanah lapang bersama dengan puluhan tetangganya yang juga ikut menyelamatkan diri. Ia berhasil selamat. Setelah gempa mereda, Yusuf berteriak mencari istri dan dua anaknya, limbung di tengah kegelapan.
“Saya menemukan anak saya tertimbun reruntuhan dan genangan air,” kata Yusuf bercerita.
Semalaman, Yusuf menunggu Nurul yang masih tertimbun reruntuhan dan hanya tinggal kepala yang terlihat. Ia menggali lumpur bercampur serpihan tembok agar anaknya bisa selamat. Ahad dini hari, Yusuf memanggil Tim SAR. Dua jam setelahnya, Basarnas mendatangi lokasi Nurul tertimbun.
Namun, hingga saat berita ini ditulis (Ahad, 30/9/2018 pukul 22.24 WIB), upaya mengangkat tubuh Nurul belum membuahkan hasil meski berbagai cara telah dilakukan. Semua orang yang datang di lokasi Nurul dievakuasi berharap ia bisa diselamatkan dan cepat mendapat pertolongan tim medis.
Korban Meninggal Capai 832 Jiwa
Hingga Ahad siang (30/9/2018) pukul 13.00 WIB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan jumlah korban tewas akibat gempa sekaligus tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, sementara ini mencapai 832 orang. Sebanyak 821 korban jiwa ditemukan di Kota Palu, sementara 11 korban tewas dari Donggala.
“Korban yang meninggal umumnya karena tertimpa bangunan dan diterjang tsunami. Untuk itu, korban meninggal akan segera dimakamkan secara layak dan massal. Ini karena pertimbangan kesehatan,” kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta pada Minggu (30/9/2018).
Menurut Sutopo, jumlah korban jiwa akibat bencana ini masih sangat mungkin bertambah. Ada sejumlah titik lokasi korban yang proses evakuasinya belum selesai. Selain korban meninggal, kata dia, BNPB mendata sebanyak 540 orang dirawat di rumah sakit. Sementara jumlah pengungsi hingga Minggu siang tercatat 16.732 jiwa yang tersebar di 24 titik.
Sementara kebutuhan mendesak yang diperlukan oleh para pengungsi, antara lain:
- BBM, solar, premium
- Air minum
- Tenaga medis, obat-obatan, rumah sakit lapangan
- Tenda, terpal, selimut, veltbed
- Water tank
- Bahan makanan
- Alat penerangan
- Genset
- Dapur umum
- Kantong mayat, Kain kafan
- Makanan bayi dan anak
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Abdul Aziz