tirto.id - Pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah oleh pemerintah pada Agustus lalu menuai polemik. Persisnya, pada klausul umrah mandiri, yang mulai 2026 legal dilakoni oleh jemaah, alih-alih hanya melalui penyelenggara perjalanan ibadah umrah atau PPIU.
Perdebatan setidaknya berkutat pada dua hal, yakni soal jaminan perlindungan dan keamanan para jemaah umrah mandiri. Di sisi lain, umrah mandiri juga menjadi ancaman kelangsungan bisnis yang dikhawatirkan asosiasi dari PPIU.
Dalam hal perlindungan dan keamanan jemaah umrah mandiri, ketentuan soal nasib para jemaah memang dibedakan dalam Undang-Undang anyar itu. Merujuk Pasal 96 termaktub bahwa jemaah umrah mandiri dikecualikan mendapatkan perlindungan hukum dan keamanan. Seturut itu, mereka tidak disebutkan mendapat layanan akomodasi, konsumsi, dan transportasi hingga tidak dijamin saat kondisi adanya ancaman jiwa, kecelakaan dan kesehatan.
“Yang dimaksud dengan 'perlindungan jiwa, kecelakaan, dan kesehatan' adalah jaminan finansial bagi Jemaah Umrah yang meninggal dunia atau mengalami cacat tetap akibat penyakit atau kecelakaan, termasuk menanggung biaya perawatan medis akibat penyakit atau kecelakaan, namun dikecualikan bagi Jemaah Umrah mandiri,” petik penjelasan pasal tersebut.
Namun, Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengklaim dilegalkannya umrah mandiri justru merespons ekosistem umrah selama ini. Dia merujuk pada jemaah umrah mandiri dari seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Dari legalnya umrah mandiri disebutnya perlindungan bagi jemaah otomatis dijamin negara.
“Peran Kementerian Haji, peran Kementerian Luar Negeri, peran para Atase akan secara otomatis memiliki tanggung jawab melindungi mereka. Mekanismenya nanti, mereka harus terdaftar melalui sistem Nusuk (sistem administrasi haji dan umrah oleh pemerintah Arab Saudi), yang terintegrasi antara Kementerian Haji Indonesia dan Kementerian Haji Arab Saudi, sehingga kami bisa lakukan perlindungan,” kata Dahnil dalam keterangan resminya, Tirto kutip Senin (27/10/2025).
Mantan juru bicara Prabowo Subianto saat menjabat Menteri Pertahanan ini, juga menepis isu bahwa pengusaha travel umrah akan bangkrut gegara kebijakan umrah mandiri. Dahnil bilang bakal memastikan tidak boleh ada penyimpangan dalam pelaksanaan umrah mandiri untuk memastikan kelangsungan bisnis para PPIU.
“Artinya di luar perusahaan travel [umrah], itu tidak boleh menghimpun para calon jemaah umrah. Kalau ada yang menghimpun calon jemaah umrah mandiri, seolah atas nama PPIU, itu tentu melanggar hukum dan kita akan memastikan perlindungan terhadap usaha travel yang legal,” tuturnya.
Kemenhaj akan siapkan aturan turunan
Kepada Tirto, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Badan Penyelenggara Haji (yang bertransformasi menjadi Kementerian Haji dan Umrah), Noer Alya Fitra, mengatakan revisi UU Haji dan Umrah masih bersifat aturan global.Ke depan, akan ada regulasi turunan yang mengatur teknis pelaksanaan tentang umrah mandiri. Perdebatan soal kelangsungan bisnis yang dikhawatirkan pengusaha PPIU bakal turut diakomodir.
“Untuk penyusunan regulasi turunan, kami akan meminta masukan dan usulan dari asosiasi PPIU,” kata Noer kepada Tirto, Selasa (28/10/2025).
Adapun soal mekanisme perlindungan dan keamanan bagi calon jemaah yang berangkat mandiri, Noer bilang keselamatan jemaah telah diatur.
Kendati tidak ada penjelasan resmi soal bagaimana pengaturan perlindungan jemaah, Kementerian Haji dan Umrah tetap merujuk aspek keselamatan pada mekanisme yang berbasis reguler.
“Telah disebutkan bahwa persyaratan jemaah mandiri sudah diatur secara ketat. Di aturan aplikasi Nusuk, sebelum menerbitkan visa, harus telah memesan dan membayar paket layanan dasar umrah. Di mana harus ada hotel dan layanan lainnya. Sehingga, jemaah yang akan berangkat mandiri harus memenuhi persyaratan tersebut sebelum berangkat,” kata dia.
Dalam aplikasi Nusuk itu, semua data jemaah haji, yang mandiri sekalipun akan tercatat mendetail. Kalau-kalau ada musibah menimpa, seharusnya akan teridentifikasi oleh sistem.
“Dengan melakukan pemesanan melalui sistem informasi Kementerian Haji dan Umrah Indonesia, maka yang bersangkutan akan tercatat: kapan berangkat, kapan pulang, hotelnya di mana. Sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah dapat segera melakukan penanganan untuk membantu mengatasi masalah jemaah umrah mandiri tersebut,” imbuhnya
Di sisi lain, umrah mandiri yang berpotensi menambah kuantitas calon jemaah umrah juga diperhitungkan Kementerian Haji.
Noer juga tidak menafikan bahwa sebelum UU Haji dan Umrah diubah, memang ada realitas jemaah yang telah melaksanakan umrah secara mandiri dalam jumlah terbatas. Kebanyakan berasal dari kalangan usia muda yang melek literasi digital dan sering bepergian ke luar negeri.
Dari data Kemenhaj, jumlah jemaah dengan kategori ini tidaklah banyak. Sebab, hampir 90 persen jemaah umrah masih berangkat menggunakan PPIU.
“Memang ada pangsa pasar tersendiri untuk jemaah umrah mandiri. Tidak perlu dirisaukan jika ada lonjakan, karena memang pangsa pasarnya kecil dan pemerintah akan melakukan pengawasan ketat jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan regulasi ini untuk memberangkatkan jemaah umrah secara ilegal,” ujarnya.
Dia menekankan kebijakan umrah mandiri ini benar-benar hanya untuk individu, bukan kemudian perorangan mengorganisir jemaah umrah untuk bisa berangkat. Setiap pelanggaran yang ditemukan, katanya, bakal diproses pidana sesuai aturan Pasal 122 UU 14/2025.
Travel Haji dan Umrah Menjerit
Dari pengamatan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI), selama dua dekade belakang, ekosistem ekonomi penyelenggaraan ibadah umrah tumbuh menjadi salah satu sektor jasa keagamaan terbesar di Indonesia. Realitasnya, sektor ini juga menyerap ribuan tenaga kerja dan menggerakkan rantai ekonomi yang panjang: biro travel, perbankan syariah, transportasi, hotel, kuliner, asuransi, logistik, hingga digitalisasi layanan jemaah.
Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP AMPHURI Ulul Albab mengatakan, kebijakan umrah mandiri bakal perlahan menggerus ekosistem ekonomi yang selama ini terbentuk. Sebab, selama ini pihak penyelenggara alias PPIU adalah tulang punggung ekosistem ini. Mereka menjadi simpul koordinasi antara jemaah, pemerintah, dan otoritas Arab Saudi.
“Dengan hadirnya skema umrah mandiri, fungsi PPIU tereduksi drastis. Bahkan dalam jangka menengah dapat menghancurkan fondasi ekonomi umat yang telah lama terbentuk,” kata Ulul dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (25/10/2025).

Menurut Ulul, skema umrah mandiri bakal membawa dampak destruktif langsung pada keberlanjutan bisnis PPIU.
Setidaknya akan ada tiga dampak langsung ekonomi terhadap para penyelenggara.
Mulanya bakal terjadi penurunan volume dan margin Usaha PPIU. Ini dikarenakan jemaah yang memilih jalur mandiri bakal memangkas peran PPIU sebagai aggregator layanan.
“Akibatnya, margin usaha menurun, perputaran modal melambat, dan banyak perusahaan kecil-menengah berpotensi gulung tikar,” ujar dia.
Kemudian, akan ada disrupsi terhadap tenaga kerja dan lapangan usaha. Akibatnya, ribuan staf operasional, pemandu ibadah, dan tenaga pemasaran terancam kehilangan mata pencaharian karena hilangnya permintaan terhadap layanan terstruktur.
“Efek domino ini akan meluas ke sektor-sektor pendukung seperti hotel syariah, katering, dan transportasi,” kata dia.
Dampak ketiga terkait persaingan, Ulul mengatakan bakal terjadi ketimpangan persaingan dengan platform global. Ini tak terlepas dari jemaah mandiri yang lebih memanfaatkan platform digital global yang sebenarnya tidak terikat regulasi nasional.
Efeknya, nilai ekonomi umrah justru bocor ke luar negeri, dan itu artinya tidak memperkuat ekonomi umat di dalam negeri. “Singkatnya, kebijakan ini memperkaya platform asing, tetapi memiskinkan ekosistem domestik,” tutur dia.
Menurut Ulul, kebijakan umrah mandiri memang lahir dari keinginan memberi ruang efisiensi dan pilihan bagi jemaah. Akan tetapi dalam konteks industri keagamaan, dilakukannya deregulasi ekstrem tanpa tata kelola justru berisiko menciptakan kaos pasar.
AMPHURI juga sedang menimbang kemungkinan untuk mengajukan judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU 14/2025. Sekjen AMPHURI, Zakky Zakaria mengatakan langkah itu akan menjadi opsi terakhir kalau memang pilihan lain tak berjalan.
“AMPHURI secara resmi belum memutuskan untuk melakukan judicial review ke MK mengenai legalisasi Umrah mandiri. Baru akan melakukan rapat pengurus mengenai langkah langkah selanjutnya, tapi para Ketua Umum dan Sekjen 13 Asosiasi sudah bertemu rapat terkait isu isu terkini,” ujar Zakky kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10/2025).
Dari sisi jemaah, kata Zakky, memunculkan potensi tidak mendapatkan pembinaan manasik, bimbingan fiqih, dan perlindungan hukum semestinya. Selain itu, Zakky khawatir tidak ada kepastian pelayanan seperti pengurusan dokumen, perlengkapan, transportasi akomodasi, hingga visa.
"Potensi penipuan, dengan pengawasan yang ketat seperti sebelumnya saja penipuan banyak terjadi, bagaimana kalau dibebaskan," ungkap Zakky.
Peluang Reformasi Penyelenggara Haji
Peneliti Haji dan Umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, berpendapat kebijakan umrah mandiri sebagai titik balik yang menarik—sebuah upaya negara untuk melepaskan kendali sekaligus beradaptasi dengan rezim Saudi yang semakin digital dan berorientasi pasar.
Dadi menekankan bahwa keluhan para pengusaha travel sangat bisa dipahami. Ini seperti menyaksikan ekosistem yang telah dibangun selama puluhan tahun tiba-tiba digoyang oleh angin pasar bebas. Dia tidak bisa membayangkan ribuan PPIU yang telah investasi besar, bayar pajak, ciptakan lapangan kerja bagi jutaan orang (dari pemandu manasik hingga UMKM lokal), kini harus bersaing dengan individu yang pesan tiket via aplikasi dan hotel via penyelenggara global.
“Bagi mereka, ini bukan sekadar ancaman pasar, tapi erosi 'kedaulatan ekonomi masyarakat'. Dana umrah yang selama ini beredar di jaringan domestik bisa mengalir ke korporasi asing, seperti Flynas atau platform Saudi, tanpa jejak di Indonesia,” kata dia kepada Tirto, Senin (27/10/2025).
Namun, di sisi lain dia juga melihat umrah mandiri sebagai solusi bagi masalah struktural yang ada selama ini. “Tapi, hemat saya, jika kita coba lihat-lihat lebih dalam, umrah mandiri bukan 'pembunuh' bisnis, melainkan cermin dari kegagalan ekosistem lama yang terlalu birokratis dan mahal,” imbuhnya.
Dia mengatakan selama ini kuota visa Saudi dan biaya PPIU sering jadi gerbang emas yang eksklusif, sehingga membuat umrah terasa seperti komoditas elite daripada ibadah sunnah.
Dari perspektif politik budaya, ini mirip dengan bagaimana Saudi merevolusi haji lewat kuota nasional. “Negara pengirim seperti Indonesia terpaksa ikut, tapi justru pelaku lokal yang kena getahnya,” kata dia.
Menurutnya, sebenarnya ini bisa jadi peluang reformasi. Artinya travel umrah harus bergerak melawan arah ke layanan bernilai tambah misal paket hybrid (mandiri plus konsultasi manasik digital), atau kolaborasi dengan Nusuk untuk jadi aggregator lokal.
“Pemerintah mungkin bisa bantu dengan insentif pajak bagi PPIU yang inovatif, plus kampanye edukasi bahwa 'mandiri' tak berarti 'tanpa bimbingan spiritual'. Jika tidak, ya, gulung tikar bisa jadi kenyataan. Tapi itu bukan akhir, melainkan undangan untuk bangun ekosistem yang lebih inklusif, di mana bisnis umrah jadi mitra, bukan sekadar vendor,” kata dia.
Menyoal tidak ada aturan jelas soal jaminan perlindungan bagi jemaah umrah mandiri, Dadi bilang memang beleid teranyar masih ada lubang hitam. Ini bukan sekadar celah administratif, tapi sebuah kontradiksi mendasar dengan prinsip dasar UU itu sendiri, yaitu pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah sebagai warga negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
“Bayangkan saja kalau jemaah yang berangkat mandiri, mungkin didorong oleh semangat kemandirian atau biaya lebih murah, tiba-tiba sakit di Madinah atau terjebak overstay visa karena minim bimbingan. Siapa yang bertanggung jawab? Negara atau mereka sendiri–yang mungkin tak punya akses ke KBRI secara cepat?,” tanya retoris Dadi.

Secara antropologis, Dadi menjelaskan hal ini merujuk transformasi haji di era modern pada era sebelumnya. Dulu, dunia termasuk Indonesia membangun birokrasi kuat untuk mengamankan ibadah sebagai aset nasional, tapi kini, dengan platform seperti Nusuk Saudi, ekosistem dipaksa bergeser ke model, "self-service," yang lebih individualis.
Ihwal potensi lonjakan jemaah umrah mandiri, Dadi menekankan bakal ada gelombang kenaikan jemaah yang berangkat perorangan. Dengan aturan baru ini, diperkirakannya sekira 20-30 persen dari total, sekitar 400-500 ribu tambahan, akan pilih jalur umrah mandiri pada akhir 2025. Kelompok generasi muda, Milenial dan Gen Z, yang melek teknologi akan dominan, sebab mereka melihat umrah sebagai momen untuk hijrah secara spiritual di era media sosial.
“Ini akan masif, tapi bukan ledakan tak terkendali. Lebih seperti gelombang yang bisa dikelola jika negara sigap. Jika dikelola baik, ini bisa dorong total umrah Indonesia tembus 2,5 juta di 2026, dengan manfaat ekonomi umat yang lebih merata—bukan hanya untung segelintir travel, tapi berkah bagi seluruh jaringan ke-umrahan,” ujarnya.
Ancaman atau Peluang?
Pakar kebijakan publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, justru mempertanyakan apakah umrah mandiri ini ancaman atau peluang. Menurutnya, jawabannya tergantung pada cara memandang peran negara dan tanggung jawab warga negara di era digital.
Dia memahami realitas selama bertahun-tahun, ibadah umrah di Indonesia diatur melalui biro perjalanan resmi. Sistem ini memberi rasa aman bagi jemaah karena semua sudah diurus mulai dari tiket, hotel, transportasi, dan visa. Namun di sisi lain, sistem ini juga menciptakan ketergantungan dan biaya tinggi.
Banyak calon jemaah yang sebenarnya mampu mengatur perjalanan sendiri terpaksa membayar paket mahal hanya demi kepastian prosedural. Kini, dengan revisi undang-undang, jemaah diberi ruang untuk memilih antara berangkat melalui biro atau mengatur perjalanannya secara mandiri.
“Inilah bentuk kebijakan publik yang sejalan dengan semangat zaman—memberi kebebasan pilihan, tanpa meniadakan perlindungan negara. Membiarkan umat Islam Indonesia memilih jalannya sendiri untuk berumrah bukanlah langkah sembrono, tetapi bentuk kepercayaan negara terhadap kapasitas warganya,” kata Achmad dalam jawaban tertulisnya kepada Tirto, Senin (27/10/2025).

Perihal kekhawatiran bahwa jemaah akan kehilangan perlindungan, Achmad bilang ini isu yang berlebihan. Sebab, pemerintah masih dapat mengawasi melalui mekanisme digital. Ini karena setiap jemaah mandiri bisa diwajibkan registrasi online, membeli asuransi, dan memenuhi standar minimal perjalanan.
Semua bisa dilakukan lewat sistem terpadu Kemenag yang terhubung dengan sistem visa dan penerbangan di Arab Saudi. Dengan cara ini, negara tetap hadir melindungi, namun tidak lagi mengatur secara berlebihan. Peran pemerintah berubah dari operator menjadi regulator—menetapkan standar, mengawasi pelaksanaan, dan menindak pelanggaran.
Bahkan, pendekatan ini justru lebih efisien. Negara tidak perlu mengurus setiap detail perjalanan jemaah, tetapi cukup memastikan semua perjalanan tercatat dan terlindungi. “Inilah wujud negara modern yang tidak lagi paternalistik, melainkan fasilitatif,” ujarnya.
Bagi sisi industri travel, Achmad beranggapan kebijakan ini bukan akhir dunia, melainkan awal babak baru. Dengan adanya umrah mandiri, biro perjalanan akan terdorong berinovasi, bukan hanya menjual paket konvensional, tapi juga layanan nilai tambah mulai dari pendampingan digital, paket fleksibel, asisten perjalanan, atau layanan premium.
“Persaingan sehat justru bisa menurunkan harga dan meningkatkan kualitas layanan. Selama ini, pasar umrah di Indonesia cenderung oligopolistik; hanya segelintir biro besar yang menguasai pasar dengan harga relatif tinggi. Sekarang, persaingan akan mendorong efisiensi,” ujarnya.
Achmad mengibaratkan seperti dalam dunia penerbangan, biro travel bisa bertransformasi dari “maskapai penuh” menjadi “layanan tambahan” yang melengkapi jemaah mandiri. Lebih jauh dari aspek ekonomi, umrah mandiri mengandung pesan spiritual yang kuat, yakni menumbuhkan tanggung jawab pribadi dalam beribadah.
Penulis: Rohman Wibowo
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































